Novel ”Rasina”, Jembatan Mempelajari Sejarah Kelam Penjajahan
Terdengar olehku perintah dari mandor kulit hitam untuk semua rumah yang menyimpan budak. Kini, seluruh jalan dipenuhi warna cokelat tubuh-tubuh telanjang berbalur minyak yang berkilat-kilat tertimpa sinar matahari.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana peluncuran novel berjudul "Rasina" karya Iksaka Banu di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (10/3/2023) sore. Buku setebal 579 halaman itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
JAKARTA, KOMPAS – Masa penjajahan Belanda sarat dengan kekerasan dan kekejaman, salah satunya dalam praktik perbudakan. Novel “Rasina” karya Iksaka Banu menjadi jembatan kecil bagi generasi saat ini agar tidak melupakan sejarah kelam tersebut.
Rasina diceritakan sebagai seorang budak bisu. Leluhurnya menjadi korban pembantaian massal saat VOC (persekutuan dagang asal Belanda) berupaya membangun monopoli perdagangan di Banda, Maluku, pada 1621.
Novel ini mengungkap kekejaman di masa penjajahan. Sebagai pelayan rumah tangga sekaligus budak nafsu tuannya, Rasina menjadi saksi hidup banyak hal tak terduga yang mengancam jiwanya.
Pada 1755, VOC mulai goyah karena masalah korupsi dan perdagangan opium. Jan Aldemaar Staalhart, baljuw atau kepala polisi di Batavia dan seorang agen polisi bernama Joost Borstveld terlibat dalam penyelundupan budak dan opium. Rasina merupakan salah satu dari budak yang diselundupkan itu.
Penulis Iksaka Banu menghadiri peluncuran bukunya berjudul "Rasina" di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (10/3/2023) sore. Buku setebal 579 halaman itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
“Salah satu keinginan menulis fiksi sejarah adalah menjadi jembatan kecil bagi pembaca, terutama generasi muda, agar mengetahui ada peristiwa penting di masa kolonial,” ujarnya dalam peluncuran novel Rasina di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (10/3/2023) sore.
Banu konsisten mengangkat cerita dengan latar belakang kolonial. Menurut dia, sebagian orang Indonesia cenderung melupakan sejarah kolonial karena dianggap bukan bagian dari sejarah bangsa.
Padahal, era penjajahan merupakan masa yang juga dilalui oleh masyarakat Indonesia dan leluhurnya. Sejarah itu tidak boleh dilompati, tetapi digali untuk dipelajari oleh generasi sekarang.
“Dipelajari supaya tidak terulang lagi kebodohan itu bahwa kita sampai bisa dijajah sekian lama. Mengakuinya sebagai bagian dari sejarah kita sambil berhati-hati agar jangan sampai terulang kembali,” jelasnya.
Padahal, era penjajahan merupakan masa yang juga dilalui oleh masyarakat Indonesia dan leluhurnya. Sejarah itu tidak boleh dilompati, tetapi digali untuk dipelajari oleh generasi sekarang.
Novel yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu terdiri dari 579 halaman. Novel ini dilengkapi dengan penjelasan beberapa istilah jabatan di VOC serta peta Batavia dan Ommelanden pada abad ke-18 yang bisa diakses melalui kode respons cepat atau QR code.
Praktik perbudakan cukup detail diceritakan di novel tersebut. Dalam bab terakhir berjudul Pasar Budak Manggarai: Epilog, misalnya, diceritakan tentang proses lelang budak, termasuk Rasina.
“Terdengar olehku beberapa perintah dari mandor kulit hitam untuk semua rumah yang menyimpan budak. Kini, seluruh jalan dipenuhi warna cokelat tubuh-tubuh telanjang berbalur minyak yang berkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Ada sekitar tujuh puluh empat budak yang akan dilelang selama empat hari berturut-turut,” begitu bunyi salah satu paragrafnya.
KOMPAS/ ANTONY LEE
Pulau Gunung Api terlihat dari Pulau Banda Besar, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, akhir November 2016. Banda Naira merupakan pulau penghasil pala yang termasyhur pada abad ke-16.
Banu mengatakan, riset untuk menulis novel Rasina dimulai sejak 2018 ketika ia menulis cerita pendek Kalabaka. Cerpen ini ada di dalam buku berjudul Teh dan Pengkhianat.
Akan tetapi, rencananya untuk datang ke Banda harus pupus karena pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Akhirnya, ia memutuskan untuk merampungkan novel itu bermodalkan referensi dari tulisan mengenai Banda yang sudah ada.
“Saya sangat beruntung dengan adanya tulisan Des Alwi tentang Maluku dan Banda. Ada juga buku sejarah tentang orang Banda dan adat-istiadat mereka karya Usman Thalib. Dengan kualitas tulisan seperti itu, saya memutuskan untuk berani menulis tanpa ke Banda,” jelasnya.
Banu belum “bosan” menulis cerita fiksi berlatar masa penjajahan. Karya terbaru yang sedang digarap juga mengambil latar tahun 1920-an.
“Sekarang sudah masuk ke bab tiga,” ujarnya yang disambut riuh puluhan pengunjung peluncuran novel Rasina tersebut.
Novel berjudul "Rasina" karya Iksaka Banu di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Editor senior KPG Christina M Udiani menuturkan, buku karya Banu yang diterbitkan KPG selalu mengambil latar belakang sejarah kolonial. Namun, di balik cerita-ceritanya, penulis memberi pesan jika prasangka rasial tidak mengenal ras, suku, dan bangsa.
“Prasangka rasial itu mungkin masih dekat dengan kehidupan kita sekarang. Begitu juga dengan kekejaman dan kebiadaban yang ada dalam cerita,” katanya.
Menurut Christina, kisah masa lalu itu dihadirkan kembali lewat cerita untuk mengingatkan dan menjadi pelajaran di masa sekarang. Pihaknya pun berterima kasih kepada Banu yang memercayakan KPG untuk menerbitkan buku-bukunya.