Kemunduran demokrasi telah terjadi secara global, dan semakin banyak orang yang hidup dalam otokrasi tertutup.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Mulai dari kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang mewajibkan anak-anak sekolah masuk pukul 05.00 pagi, hingga aktivis yang dijadikan tersangka karena mengkritik pejabat negara, kita bisa melihat otoritarianisme yang menguat di negeri ini. Ternyata, fenomena ini juga terjadi secara global.
Kemunduran demokrasi telah terjadi secara global, dan semakin banyak orang yang hidup dalam otokrasi tertutup. Laporan demokrasi tahun ini dari Varieties of Democracy Institute (V-Dem Institute) di Universitas Gothenburg, Swedia, menunjukkan, untuk pertama kalinya dalam dua dekade terdapat lebih banyak otokrasi tertutup daripada demokrasi liberal di dunia.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa tren ini terus berlanjut, dan dunia tidak menjadi lebih anti-demokrasi dalam 35 tahun. ”Tingkat demokrasi yang dinikmati rata-rata warga dunia pada 2022 kembali ke level 1986. Artinya, 72 persen penduduk dunia, 5,7 miliar orang hidup di bawah pemerintahan otoriter,” ujar Direktur V Institut-Dem Staffan I Lindberg saat merilis laporan ini pekan lalu.
Kemajuan global otokrasi tertutup juga disorot dalam laporan tahun ini. Untuk pertama kalinya dalam dua dekade, dunia memiliki lebih banyak otokrasi tertutup daripada demokrasi liberal. ”Sebanyak 28 persen populasi dunia, 2,2 miliar orang, sekarang hidup dalam otokrasi tertutup dibandingkan dengan 13 persen, 1 miliar orang, yang hidup dalam demokrasi liberal,” ujar Lindberg.
Kemunduran demokrasi paling dramatis terjadi di kawasan Pasifik, Eropa Timur, Asia Tengah, Amerika Latin, dan Karibia. Tetapi, jumlah negara di dunia yang saat ini mengalami kemunduran demokrasi atau otokratisasi telah meningkat pesat selama 10 tahun terakhir, yaitu dari 13 menjadi 42 negara antara tahun 2002–2022. Ini merupakan angka tertinggi yang diukur oleh V-Dem hingga saat ini.
Indonesia juga termasuk negara yang dilaporkan mengalami penurunan indeks demokrasi selama 10 tahun terakhir secara substantif atau pada tingkat yang signifikan secara statistik. Skor demokrasi Indonesia saat ini sebesar 0,43 atau menurun 0,055 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan skor ini, Indonesia berada di peringkat ke-79 dari 179 negara yang dinilai. Skor ini masih lebih baik dari Malaysia yang berada di peringkat ke-98.
Skor demokrasi Indonesia saat ini sebesar 0,43 atau menurun 0,055 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan skor ini, Indonesia berada di peringkat ke-79 dari 179 negara yang dinilai.
Sekalipun demikian, Malaysia termasuk empat negara di Asia Pasifik yang mengalami peningkatan skor demokratisasi sejak 2012. Negara lainnya adalah Fiji, Nepal, dan Sri Lanka.
Sementara itu, sembilan negara di kawasan Asia Pasifik mengalami penurunan demokrasi. Selain Indonesia, negara lain yang juga menurun indeks demokrasinya adalah Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Hong Kong, India, Myanmar, Filipina, dan Thailand.
Salah satu yang disoroti di laporan ini terkait penurunan skor demokrasi di Indonesia adalah menurunnya kebebasan akademik dan ekspresi budaya di Indonesia. Laporan ini seperti mengonfirmasi temuan Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA).
Sepanjang 2021 ada 29 kasus terkait pelanggaran kebebasan akademik yang mereka dampingi. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 2020 sebanyak 9 kasus, dan 2019 sejumlah 6 kasus (Kompas, 3/2/2022).
Menurut laporan KIKA, ada kecenderungan otoritas kampus, yang didukung otoritas negara, semakin abai dengan nilai-nilai kebebasan akademik. Beberapa kasus yang ditemukan KIKA di antaranya teror langsung hingga serangan siber terhadap akademisi yang kritis, pembubaran diskusi akademik, represi terhadap aksi mahasiswa, hingga kriminalisasi terhadap akademisi yang menyuarakan anti-korupsi dan kebebasan akademik.
Situasi terbaru, yaitu dengan diprosesnya aktivis pembela HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena menyampaikan kritik kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dengan pasal pencemaran nama baik, besar kemungkinan skor demokrasi Indonesia di tahun mendatang bakal memburuk.
Kasus Haris dan Fatia ini juga bisa jadi preseden buruk bahwa negara-negara yang mengalami otokratisasi terjadi ketika gerakan politik otoriter mendapatkan pengaruh langsung melalui kebijakan pemerintah dan perundangan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipakai untuk membongkar institusi demokrasi, seperti kebebasan media dan akademik, serta sikap kritis masyarakat sipil. Begitu hal ini dilakukan, dalam sebagian besar kasus, pada akhirnya mengarah pada pelemahan demokrasi.
Arus balik
Sekalipun secara global terjadi tren penguatan otoritarianisme, beberapa negara berhasil kembali setelah periode pembongkaran demokrasi yang lama. Bolivia, Moldova, Ekuador, Maladewa, Makedonia Utara, Slovenia, Korea Selatan, dan Zambia semuanya berhasil membalikkan evolusi otokratis mereka.
”Fakta bahwa delapan negara demokrasi yang berada dalam masa otokratisasi telah menghentikan proses itu dan 'bangkit kembali' adalah berita yang menggembirakan bagi demokrasi. Jarang terlihat negara-negara yang dapat melakukan putar balik,” kata Staffan I. Lindberg.
Negara-negara yang berhasil melakukannya memiliki mobilisasi pro-demokrasi, mereka telah membangun kembali sistem peradilan yang obyektif, menggulingkan pemimpin otoriter, memperkenalkan pemilu yang bebas dan adil, bekerja untuk mengurangi korupsi, dan meremajakan masyarakat sipil.
Apakah arah Indonesia akan semakin menuju pada penguatan otoritarianisme atau sudah pada titik balik evolusi otokratis? Pemilihan Umum 2024 akan menjadi salah satu ukurannya....