Sektor Pangan Meningkatkan Suhu Global 1 Derajat Celsius pada 2100
Sebanyak 75 persen dari pemanasan ini dihasilkan oleh makanan yang menjadi sumber metana tinggi, seperti daging ternak, susu, dan beras.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Buruh tani memanen padi di lahan sawah yang terendam banjir di kawasan Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (4/1/2023). Padi sawah termasuk penyumbang utama gas rumah kaca dari sektor pangan, terutama dari gas metana.
JAKARTA, KOMPAS — Sektor pangan global telah menjadi penyumbang utama gas rumah kaca dan dapat menambah hampir 1 derajat celsius penambahan suhu pada tahun 2100. Sebanyak 75 persen dari pemanasan ini dihasilkan oleh makanan yang menjadi sumber metana tinggi seperti daging ternak, susu, dan beras.
Temuan ini dilaporkan Catherine C Ivanovich dari Department of Earth and Environmental Sciences, Columbia University, dan tim di jurnal Nature Climate Change pada Senin (6/3/2023).
Sejumlah kajian sebelumnya menemukan, makanan merupakan aspek penting kehidupan yang juga menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK). Sektor pertanian bertanggung jawab atas hampir separuh emisi metana (CH4), dua pertiga emisi nitro oksida (N2O), dan 3 persen emisi karbon dioksida (CO2) dari aktivitas manusia di seluruh dunia.
Ketiga gas rumah kaca ini menyumbang 80 persen dari pemanasan global saat ini, masing-masing 29 persen, 5 persen, dan 46 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian bertanggung jawab atas sekitar 15 persen dari tingkat pemanasan saat ini.
Meski demikian, sejauh ini hanya sepertiga negara yang mereferensikan langkah-langkah mitigasi pertanian dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional pada Perjanjian Paris. Untuk mendorong lebih banyak komitmen terhadap penurunan emisi GRK dari sistem pangan dan mendukung rancangan kebijakan yang efektif, penting untuk meningkatkan pemahaman tentang peran konsumsi pangan global dalam berkontribusi terhadap pemanasan di masa depan.
Untuk memberikan data lebih rinci tentang berapa banyak makanan yang ditambahkan dunia ke pemanasan global, Ivanovich dan rekan-rekannya melihat secara terpisah pada tiga gas rumah kaca utama, yaitu CH4, N2O, dan CO2, yang bervariasi dalam potensi dan daya tahan di atmosfer. Mereka kemudian memproyeksikan cemaran ini di masa depan berdasarkan tren pola konsumsi saat ini dan proyeksi pertambahan populasi.
”Kami menemukan bahwa konsumsi makanan global saja dapat menambah hampir 1 derajat celsius pemanasan pada tahun 2100. Sebesar 75 persen dari pemanasan ini didorong oleh makanan yang merupakan sumber metana tinggi (daging ruminansia, susu, dan beras),” tulis Ivanovich.
Studi tersebut menyimpulkan, tanpa perubahan tajam dalam produksi dan pola makan, konsumsi pangan global akan meningkatkan suhu permukaan rata-rata Bumi 0,7 derajat celsius dan 0,9 derajat celsius pada akhir abad ini. Pemanasan tambahan ini saja sudah cukup untuk melampaui target pemanasan global 1,5 derajat celsius dan mendekati ambang 2 derajat celsius.
Seperti diketahui, permukaan bumi telah menghangat 1,2 derajat celsius sejak akhir 1800-an, hanya menyisakan marjin sempit untuk tetap berada di bawah tujuan inti perjanjian 2015 untuk membatasi pemanasan di bawah 1,5 derajat celsius. Ambang batas ini telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris untuk menghindari dampak iklim yang merusak dan mungkin tidak dapat diubah, termasuk banjir pesisir, gelombang panas, dan kekeringan.
”Mengurangi emisi dari sektor pangan sangat penting untuk bekerja menuju masa depan iklim yang aman,” kata Ivanovich, kepada AFP.
CATHERINE C. IVANOVICH DKK. (NATURE CLIMATE CHANGE, 2023)
Tanggapan suhu udara permukaan rata-rata global terhadap emisi gas rumah kaca dari konsumsi makanan di masa depan berdasarkan lima proyeksi populasi. Sumber: Catherine C. Ivanovich dkk. (Nature Climate Change, 2023)
Sumbangan metana
Dalam kajian ini, Ivanovich mengungkapkan pentingnya memperhitungan cemaran metana dari sektor pangan. Karbon dioksida sebenarnya bisa tetap berada di atmosfer selama berabad-abad setelah dipancarkan, sementara metana hanya bertahan sekitar satu dekade. Akan tetapi, cemaran metana pada skala waktu itu hampir 100 kali lebih merusak dalam menjebak panas Matahari di Bumi.
Dalam kajian ini, tim peneliti menemukan bahwa metana dari ternak, sawah, dan makanan busuk menyumbang sekitar 60 persen dari emisi terkait makanan. Sementara CO2 dari mesin dan transportasi pangan, bersama dengan nitro oksida dari penggunaan pupuk kimia berlebih, masing-masing bertanggung jawab atas 20 persen.
”Mayoritas pemanasan masa depan dari sektor pangan berasal dari emisi metana,” kata Ivanovich. ”Karena ini adalah polutan berumur pendek, pengurangan emisi segera dapat menghasilkan manfaat iklim dalam waktu dekat,” ujarnya.
CATHERINE C. IVANOVICH DKK. (NATURE CLIMATE CHANGE, 2023)
Kontribusi emisi dari beragam sumber pangan untuk tahun 2030, 2050, dan 2100. Diagram lingkaran di pojok kanan atas memvisualisasikan persentase kontribusi tahun 2030. Proyeksi penduduk diambil dari skenario pertumbuhan penduduk SSP3 Regional Rivalry. Sumber: Catherine C. Ivanovich dkk. (Nature Climate Change, 2023)
Variasi makanan
Para peneliti juga mengumpulkan data tentang emisi karbon untuk hampir 100 jenis makanan. Mereka menggabungkan emisi dari setiap jenis makanan ke dalam 12 kelompok makanan, yaitu biji-bijian, beras, buah, sayuran, daging ruminansia, daging non-ruminansia, makanan laut, susu, telur, minyak, dan minuman.
”Kami menemukan bahwa konsumsi susu dan daging bertanggung jawab atas lebih dari separuh pemanasan pada tahun 2030 hingga tahun 2100. Dari kelompok makanan lain, beras menyumbang sebagian besar pemanasan pada akhir abad hingga 19 persen, sedangkan sayuran, biji-bijian, makanan laut, minyak, minuman, telur, buah, dan semua makanan lain yang tidak dikategorikan masing-masing menyumbang 5 persen atau kurang,” sebut Ivanovich.
Dalam kajian ini, tim peneliti menemukan bahwa metana dari ternak, sawah, dan makanan busuk menyumbang sekitar 60 persen dari emisi terkait makanan.
Dengan temuan ini, tim peneliti menyarankan pentingnya memperbaiki metode produksi dan konsumsi untuk daging, susu, dan beras. Jika hal ini dilakukan, pemanasan tambahan dari sektor makanan bisa berkurang hingga seperempatnya.
Selain itu, dengan mengadopsi pola makan yang optimal untuk kesehatan manusia di seluruh dunia, menggunakan energi terbarukan daripada bahan bakar fosil untuk transportasi dan energi terkait sektor pangan, dan memangkas limbah makanan akan mengurangi 25 persen lagi emisi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Petugas menyemprotkan disinfektan kepada ratusan sapi kandang sebuah peternakan sapi di Rangkapan Jaya, Depok, Jawa Barat, Jumat (19/5/2022).
Temuan dari studi ini juga menguatkan kajian sebelumnya oleh Xiaoming Xu dari University of Illinois dan tim yang terbit di jurnal Nature Food, September 2021. Dalam kajian tersebut, lebih dari 17 miliar metrik ton emisi per tahun dari sektor makanan, sebanyak 57 persen di antaranya berasal dari peternakan, sedangkan makanan nabati menyumbang 29 persen.
Dalam penelitiannya, Xu dan tim menghitung perbedaan emisi antara produksi daging dan tanaman. Misalnya, untuk menghasilkan 1 kg gandum dikeluarkan 2,5 kg gas rumah kaca. Sementara untuk memproduksi 1 kg daging sapi dikeluarkan 70 kg emisi. Emiter terbesar di antara produk hewani setelah daging sapi adalah susu sapi, daging babi, dan daging ayam.
Secara keseluruhan, produksi daging sapi menjadi penyumbang emisi tertinggi dengan selisih yang lebar, terhitung 25 persen dari total. Adapun dalam kategori tanaman pangan, pertanian padi sawah menjadi kontributor utama emisi, dan merupakan kontributor tertinggi kedua di antara semua produk, menyumbang 12 persen dari total. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kg emisi untuk memproduksi 1 kg beras.
Peringkat beras yang relatif tinggi berasal dari bakteri penghasil metana yang tumbuh subur dalam kondisi anaerobik di sawah yang tergenang. Setelah beras, emisi tertinggi yang terkait dengan produksi tanaman berasal dari gandum, tebu, dan jagung.