Konsumsi Obat Sembarangan Picu Penyakit Ginjal Kronis
Mengonsumsi obat sembarangan dengan dosis yang berlebihan dapat memicu terjadinya penyakit ginjal kronis. Penyebab lain yang juga harus diwaspadai ialah mengonsumsi minuman berenergi secara terus-menerus.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat diimbau untuk tidak sembarangan membeli dan mengonsumsi obat. Mengonsumsi obat yang tidak tepat justru bisa berbahaya bagi kesehatan ginjal yang akhirnya dapat berujung pada penyakit ginjal kronis.
Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), yang juga dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi RS Indriati Solo Baru, Wachid Putranto menuturkan, penggunaan obat yang tidak sesuai dosis dan tidak dikonsumsi sesuai dengan resep dokter bisa berdampak pada kerusakan ginjal. Itu sebabnya, masyarakat diharapkan tidak sembarangan dalam mengonsumsi obat.
”Akhir-akhir ini banyak warga yang menggunakan analgesik atau obat pereda nyeri dalam jangka lama. Biasanya ketika merasa ada keluhan pegal linu, masyarakat memilih membeli obat antinyeri secara bebas. Itu juga pada masyarakat yang mengalami asam urat,” katanya dalam seminar daring terkait peringatan Hari Ginjal Sedunia di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Penting untuk melakukan deteksi dini. Sebab, kalau pasien gangguan ginjal masih pada stadium awal, itu bisa dicegah agar tidak masuk pada stadium penyakit ginjal kronis.
Wachid mengatakan, mengonsumsi obat antinyeri dan obat asam urat dalam jangka panjang dan dosis yang tidak tepat bisa menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronis. Selain itu, obat-obatan pereda mual dan muntah, seperti omeprazole, ranitidine, dan antasida, juga bisa berdampak pada kerusakan ginjal jika dikonsumsi sembarangan.
Ia menambahkan, kebiasaan lain yang juga perlu dihindari ialah mengonsumsi minuman berenergi. Apabila minuman berenergi dikonsumsi secara terus-menerus, hal itu bisa mengganggu fungsi ginjal. Mengonsumsi minuman berenergi sebaiknya dihindari atau setidaknya jangan sering dikonsumsi.
Kewaspadaan lain yang bisa menyebabkan gangguan pada fungsi ginjal ialah pada konsumsi vitamin yang berlebihan. ”Masyarakat harus hati-hati jika mengonsumsi vitamin, seperti vitamin C, dalam jangka waktu tertentu ditambah dengan kebiasaan kurang minum air putih. Hal itu bisa menyebabkan komplikasi batu di saluran kencing yang akhirnya dapat menjadi masalah di kemudian hari,” tutur Wachid.
Gejala
Ia mengatakan, deteksi dini penyakit ginjal amat penting untuk dilakukan. Pasalnya, ketika seseorang sudah mengalami penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal pada stadium lanjut, pasien tersebut sudah tidak bisa disembuhkan.
Persoalannya, deteksi dini tidak mudah dilakukan karena umumnya pasien dengan gangguan ginjal tidak menunjukkan gejala pada stadium awal. Gejala muncul ketika pasien sudah berada di stadium lanjut.
Itu sebabnya, pemeriksaan gula darah dan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan tersebut terutama pada seseorang dengan faktor risiko, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, obesitas, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal kronis, riwayat gangguan ginjal, serta lansia.
Wachid menuturkan, gejala yang biasa dialami pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, antara lain, lemah badan, cepat lelah, nafsu makan menurun, mual dan muntah, sering cegukan, keram, insomnia, sesak napas, libido menurun, batuk, serta nyeri perikardial atau nyeri dada. Kondisi lain yang perlu diwaspadai ialah jika air kecilnya berbusa atau berwarna merah saat buang air kecil dan adanya hipertensi.
”Penting untuk melakukan deteksi dini. Sebab, kalau pasien gangguan ginjal masih pada stadium awal, itu bisa dicegah agar tidak masuk pada stadium penyakit ginjal kronis. Jika sudah pada penyakit ginjal kronis, itu sudah tidak bisa disembuhkan,” ujarnya.
Tata laksana
Wachid menuturkan, tata laksana pada pasien gangguan ginjal kronis stadium lanjut atau gagal ginjal dilakukan untuk menghambat pemburukan serta mencegah terjadinya kematian awal. Pada pasien gagal ginjal, risiko terjadinya serangan jantung dan stroke amat tinggi sehingga berisiko mengalami kematian dini.
Tata laksana pasien ginjal kronis dilakukan dengan menghindari faktor risiko yang bisa memperburuk kondisi. Pasien harus berhenti merokok serta mengendalikan tekanan darah dan proteinuria atau kadar protein dalam urin. Gula darah pun harus terkendali.
Selain itu, pasien juga akan menjalani terapi untuk mengendalikan kadar lemak. Anemia pun perlu dicegah karena pasien ginjal kronis cenderung mudah mengalami anemia. Hal lain yang dilakukan ialah dengan mengendalikan kadar fosfat, vitamin D, dan hormon paratiroid.
”Pasien dengan stadium lanjut atau stadium kelima harus mulai melakukan terapi pengganti ginjal. Ada tiga terapi pengganti ginjal yang bisa diberikan, yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal atau cangkok ginjal,” ucap Wachid.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, prioritas upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ginjal kronis akan dilakukan melalui kegiatan promosi, prevensi, dan deteksi dini. Upaya tersebut akan difokuskan melalui pendekatan keluarga dalam siklus kehidupan.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ginjal kronis sangat penting karena angka penyakit ginjal kronis terus meningkat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, prevalensi angka ginjal kronis meningkat dari 2 permil pada 2013 menjadi 3,8 permil pada 2018. Angka gangguan ginjal kronis paling tinggi tercatat di Kalimantan Utara, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara.
”Komitmen kuat dan upaya yang terus-menerus untuk mengedukasi masyarakat harus dilakukan bersama-sama dengan kontribusi dari seluruh sektor terkait. Tujuannya agar masyarakat lebih mengenal faktor risiko dan dapat mencegah terjadinya penyakit ginjal kronis,” tutur Eva.