Kekerasan Seksual Mendominasi Pengaduan Kasus
Kekerasan terhadap perempuan tak pernah berjeda. Bahkan, modusnya semakin beragam. Kekerasan seksual berbasis daring pun menjadi ancaman terbesar saat ini.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F15%2Fd63b95ef-f2c8-44e4-a90b-9b6c2b280a2a_jpg.jpg)
Buruh perempuan bergabung bersama massa buruh dari berbagai serikat pekerja mengikuti unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Juni 2022. Pengaduan terbanyak ke Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan ialah kasus kekerasan seksual.
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, terutama kekerasan seksual, terus membayangi perempuan di Tanah Air. Sepanjang tahun 2022, pengaduan terbanyak ke Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan adalah kasus kekerasan seksual.
Dari 5.831 kasus kekerasan, sebanyak 2.228 kasus atau 38 persennya adalah kekerasan seksual, diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72 persen).
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat pengaduan di lembaga layanan. Pengaduan di lembaga layanan didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan paling tinggi dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38, 8 persen), diikuti dengan kekerasan seksual (4.102 kasus/26.52 persen).
Situasi kekerasan yang dialami perempuan di Tanah Air tersebut terangkum dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, yang diluncurkan, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Dari Catahu 2023 telihat pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61 persen atau 2.098 kasus. Bentuk kekerasan di ranah personal tertinggi adalah kekerasan mantan pacar (KMP) sebanyak 713 kasus (34 persen), disusul kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 622 kasus (30 persen), dan kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 422 kasus (20 persen).
”Data kekerasan terhadap perempuan di ruang daring, khususnya kekerasan seksual, menunjukkan hampir setengahnya, yakni 48 persen atau 821 dari 1.697 pelaku, adalah orang yang memiliki hubungan personal dengan korban, terutama pacar dan mantan pacar,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam sambutannya.
Baca juga: Komnas Perempuan Memperkenalkan Laporan Tahunan ke Mitra Internasional
Dalam situasi itu, Andy menegaskan, upaya penanganan perlu merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) maupun UU Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Selain di ranah personal, Catahu Komnas Perempuan 2023 menemukan kasus kekerasan seksual juga meningkat di ranah publik, tetapi proses penanganannya masih terhambat.
Karena itu, Komnas Perempuan mendorong percepatan aturan turunan dari UU TPKS, serta penguatan institusi di tingkat kepolisian dengan mendirikan direktorat terpisah untuk penanganan kasus perempuan dan anak, serta penguatan lembaga-lembaga pengada layanan.

Suasana Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Adapun di ranah negara, Komnas Perempuan mencatat lonjakan pengaduan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pengaduan oleh perempuan berhadapan dengan hukum sebagai tersangka dan terpidana mendominasi, selain kasus terkait konflik sumber daya alam dan tata ruang, serta tindak intoleransi.
Namun, penegakan hukum masih jadi tantangan utama dalam penanganan kasus di ranah negara. Padahal, penegakan hukum bertujuan, antara lain, untuk memastikan peradilan adil, mencegah dan menangani penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan lain tak manusiawi, serta menghalangi tindak diskriminasi.
Kriminalisasi masih dihadapi oleh perempuan yang melaporkan kasusnya dan para perempuan pembela HAM yang melakukan pendampingan pada korban.
Baca juga: 12 Tahun, Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat Delapan Kali Lipat
Selama lebih dari dua dekade sejak tahun 2001, Catahu Komnas Perempuan jadi satu-satunya rujukan tersedia untuk data terkompilasi tingkat nasional, pelaporan kasus kekerasan pada perempuan yang diterima lembaga pengada layanan, lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan Komnas Perempuan.
Dari data terhimpun tersebut, Komnas Perempuan mendorong semua pihak memberikan perhatian pada kondisi pelindungan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan negara, termasuk ranah personal.

Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat memberikan penjelasan pada Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Jumlah pengaduan menurun
Pada Catahu tersebut, jumlah pengaduan kasus menurun pada 2022 dari tahun sebelumnya, yaitu jadi 457.895 dari 459.094 kasus. Penurunan pelaporan dihimpun dari data lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung. Sementara pengaduan ke Komnas Perempuan naik jadi 4.371 dari 4.322 kasus.
Sebanyak 339.782 dari total pengaduan tersebut merupakan kekerasan berbasis jender (KBG), dan 3.442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan. Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99 persen atau 336.804 kasus.
Baca juga : Komnas Perempuan Soroti Kriminalisasi Pembela HAM
Laporan Catahu Komnas Perempuan 2023 bertema ”Percepatan Penguatan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Penghimpunan Data Nasional Kekerasan terhadap Perempuan” disampaikan bergantian oleh empat Komisioner Komnas Perempuan, yakni Bahruk Fuad, Mariana Amiruddin, Theresia Iswarini, dan Dewi Kanti.
Hadir sebagai penanggap Siti Mazuma (Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan), Sudharmawatiningsih (Panitera Muda Pidana Khusus, Mahkamah Agung), dan Siti Ruhaini Dzuhayatin (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden).
Terjadi peningkatan pengaduan sepanjang tahun 2022. Ini menunjukkan kepercayaan publik meningkat terhadap Komnas Perempuan dengan jumlah penerimaan pengaduan 17 kasus per hari.
Tingginya kekerasan di ranah personal berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan menunjukkan pola sama dengan tahun sebelumnya, yakni kekerasan psikis menempati urutan pertama sebesar 40 persen disusul kekerasan seksual 29 persen, fisik 19 persen, dan ekonomi 12 persen.
Peraturan-peraturan yang mendukung korban, seperti UU TPKS dan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk berani melaporkan kasusnya kepada lembaga layanan.
Selain itu, kampanye dan sosialisasi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kasus kekerasan seksual kini juga dilakukan banyak pihak di berbagai platform termasuk media sosial.
Siti Ruhaini mengapresiasi peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 tersebut. Apa yang dilakukan Komnas Perempuan menghadirkan negara karena Komnas Perempuan adalah lembaga independen yang dibentuk negara untuk melindungi perempuan dari berbagai kekerasan.
Catahu tersebut penting untuk memberikan edukasi pada perempuan tentang kekerasan perempuan. Melalui data tersebut, Komnas Perempuan meyakinkan kepada publik akan kekerasan yang dialami perempuan di Tanah Air.
”Ini menunjukkan Komnas Perempuan dari tahun ke tahun memiliki integritas dan reputasi yang sangat kuat di mata masyarakat,” ujarnya memberikan apresiasi atas kerja keras Komnas Perempuan yang meski dalam kondisi terbatas, termasuk keuangan, terus mendata kekerasan terhadap perempuan.

Karsiwen dari Kabar Bumi bertanya saat Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Siti Mazuma menyatakan, FPL, yang memiliki 115 anggota (organisasi) di 13 provinsi, mengapresiasi data yang terangkum dalam Catahu Komnas Perempuan. Ia menyatakan, jumlah kasus yang tidak dilaporkan lebih banyak dari yang dilaporkan.
”Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99 persen atau 336.804 kasus, memperlihatkan orang-orang terdekat, yang memiliki relasi personal, atau orang-orang yang seharusnya memberi perlindungan pada perempuan dan anak, justru menjadi pelaku kekerasan,” kata Mazuma.
Situasi tersebut juga menunjukkan pentingnya kehadiran UU TPKS. Karena itu, implementasi UU TPKS masih banyak hambatan. ”Catahu harapan menjadi alat advokasi kita semua, untuk membantu perubahan sistem hukum yang lebih adil jender,” tuturnya.