Pengentasan Tengkes Dimulai sejak Sebelum Kehamilan
Prevalensi tengkes di Indonesia menurun cukup drastis dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 21,6 persen pada 2022. Presiden Joko Widodo menargetkan prevalensi tengkes pada 2024 sebesar 14 persen.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Acara Pernyataan Bersama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan 7 Organisasi Profesi Medis dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting, Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Sekretariat PB IDI, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian masalah stunting atau tengkes tak hanya menyoal bagaimana upaya pemenuhan gizi dan nutrisi kepada anak. Lebih jauh, upaya pencegahan justru dimulai sejak sebelum masa kehamilan, selama kehamilan, dan setelah kelahiran. Sebab, perkembangan fisik dan kecerdasan anak terjadi pada periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Salah satu permasalahan tengkes ialah masih minimnya pemahaman terkait pencegahan, seperti pentingnya kadar hemoglobin atau protein dalam sel darah merah pada ibu hamil. Kekurangan hemoglobin atau anemia dapat mengakibatkan bayi dalam kandungan berisiko terkena tengkes.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018, prevalensi remaja putri yang mengidap anemia sebesar 32 persen. Sementara hampir separuh dari total ibu hamil mengalami anemia, yakni 48,9 persen.
Ketua Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting (Pakias) di Perhimpunan Obstetri Ginekolog Indonesia (POGI) Dwiana Ocviyanti menganjurkan agar pendeteksian dini anemia sebaiknya dilakukan bahkan sebelum menikah. Itu penting demi menekan risiko tengkes.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Ketua Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting di Perhimpunan Obstetri Ginekolog Indonesia Dwiana Ocviyanti memaparkan komitmen pemerintah dalam acara Pernyataan Bersama PB IDI dan 7 Organisasi Profesi Medis dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting, Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Sekretariat PB IDI, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
”Pernikahan muda memang harus dicegah. Sekalipun tidak memungkinkan, kesehatan ibu hamil tetap harus dipastikan. Anemia tidak hanya menyebabkan tengkes, tapi juga kesulitan persalinan dan bahkan pendarahan,” ujar Dwiyana dalam acara Pernyataan Bersama PB IDI dan 7 Organisasi Profesi Medis dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting, Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Sekretariat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
Tujuh organisasi tersebut ialah POGI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesi Indonesia (Perdatin). Selanjutnya, Perhimpunan Kardiolog Indonesia (Perki), Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI), dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI).
Pentingnya memastikan kesehatan ibu dan anak (KIA) menjadi komitmen bersama PB IDI dan tujuh organisasi perkumpulan dokter di bawahnya. Untuk itu, pelayanan kesehatan dan penguatan pelayanan KIA dilakukan secara kolaboratif antarprofesi, antarfasilitas kesehatan, serta antarinstitusi.
Kami berharap, kami bisa memberikan kontribusi nyata pada negara ini dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan stunting.
Menurut PB IDI, upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, serta penanggulangan tengkes merupakan tugas bersama yang belum tuntas hingga saat ini. Oleh sebab itu, PB IDI beserta tujuh organisasi di bawahnya mendukung Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pelayanan Kesehatan Kehamilan, Melahirkan, Kontrasepsi dan Seksual.
”Kami berharap, kami bisa memberikan kontribusi nyata pada negara ini dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan stunting. Kita berharap ada sebuah hal yang dilakukan secara nyata masukan terkait scientific-based, rekomendasi, dan beberapa hal yang mungkin diperlukan,” ujar Sekretaris Jenderal PB IDI Ulul Albab.
Optimistis
Selama hampir satu dekade terakhir, prevalensi tengkes di Indonesia menurun cukup drastis dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 21,6 persen pada 2022. Namun, upaya lanjutan masih perlu dilakukan oleh pemerintah karena pada 2024, Presiden Joko Widodo menargetkan prevalensi tengkes sebesar 14 persen.
Walakin, data Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dari Kementerian Kesehatan tahun 2022 menyebut cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan secara nasional telah mencapai 86 persen dengan pertolongan oleh tenaga kesehatannya sebesar 89,8 persen. Sementara angka capaian cakupan semua provinsi di Pulau Jawa telah di atas 90 persen dengan cakupan tertinggi berada di DKI Jakarta sebesar 99,6 persen dan di Jawa Timur sebesar 95,1 persen.
”Kalau Permenkes Nomor 21 Tahun 2021 itu dikerjakan betul-betul, saya optimistis-optimistis saja. Masalahnya, siapa yang mengawasi supaya itu jalan. Indonesia suka punya rencana tapi tidak disupervisi atau monitoring dan evaluasi,” kata Dwiyana.
Adapun Permenkes Nomor 21 Tahun 2021 berisi tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, pelayanan kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual. Semua itu dilakukan sebagai upaya transformasi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas maternal dan neonatal.
Oleh sebab itu, konsistensi pemerintah sangat diperlukan untuk menangani tengkes. Kolaborasi dari berbagai kementerian juga akan sangat berdampak dalam pengentasan tengkes.
Protein hewani
Salah satu hal yang kerap kali luput dalam penanganan tengkes adalah pentingnya mengonsumsi protein hewani. Seperti dijelaskan oleh Ketua IDAI Piprim Basarah Yanuarso, protein hewani mengandung asam amino esensial yang dapat merangsang mTORC1 atau kompleks protein dalam tubuh yang bertugas mengaktifkan pertumbuhan organ-organ penting.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Ketua IDAI Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan pentingnya protein hewani pada pertumbuhan anak dalam acara Pernyataan Bersama PB IDI dan 7 Organisasi Profesi Medis dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting, Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Sekretariat PB IDI, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
”Jangan sampai ada anggapan ini sudah tengkes dibiarkan saja dan sudah tidak bisa diapa-apakan, bukan begitu. Ini masih bisa dikejar tumbuh kembangnya sehingga dia masih bisa mendekati kondisi optimalnya, yaitu dengan protein hewani,” ujar Piprim yang juga sebagai dokter spesialis anak konsultan.
Dengan keberadaan kompleks protein tersebut, anak dapat mengalami pertumbuhan tulang panjang, pertumbuhan saraf otak, usus, otot kerangka, sistem imun, dan sebagainya. Sementara protein hewani cukup terjangkau dan relatif murah, yakni terdapat pada telur, ikan, serta daging unggas.
Walakin, masih banyak para orangtua yang menganggap bahwa yang terpenting anak makan asal kenyang. Padahal, protein hewani tidak bisa digantikan dengan kacang hijau, tahu tempe, biskuit, atau apa pun itu.
Saat memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), yakni saat anak menginjak usia 6-8 bulan, anak dianjurkan mengonsumsi sebutir telur. Selanjutnya, pada rentang usia 8 bulan sampai 1 tahun, anak diberi 2 butir telur dan ati ayam. Setelah satu tahun, bisa diberikan 1 sampai 3 butir telur.
”Utamakan protein hewani dahulu, baru nanti ada sayur, ada tahu tempenya. Jangan kita jejali dengan nabati, dengan sayur-mayur sementara protein hewani terlupakan,” kata Piprim.