Ombudsman RI Menilai Kebijakan Sekolah Pagi di NTT Tidak Tepat
Kebijakan masuk sekolah lebih pagi, pukul 05.30, di Nusa Tenggara Timur menjadi sorotan. Desakan membatalkan kebijakan tanpa kajian akademik yang jelas itu semakin kuat dari berbagai pihak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan masuk sekolah terlalu pagi untuk pelajar SMA/SMK di Kupang, Nusa Tenggara Timur, terus mendapat sorotan. Ombudsman Republik Indonesia akan memantau uji coba yang dilakukan dan menampung keluhan dari para pemangku kepentingan.
”Kami meminta ORI NTT untuk memantau uji coba sebulan ini. Namun, kebijakan Pemerintah Provinsi NTT ini tidak tepat karena tidak ada kajian akademik dan sosialisasi kepada publik. Selain itu, kebijakan pendidikan masuk sekolah pukul 05.30 ini terkait sektor lain, mulai dari keamanan, kesehatan, dan transportasi,” kata anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Indraza Marzuki Rais, di Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Indraza mengatakan, ada diskusi daring yang dilakukan bersama perwakilan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang melibatkan ORI, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri.
”Sudah ada keluhan dari guru dan orangtua soal kebijakan masuk pagi pukul 05.30 di NTT. Kami menilai kebijakan ini tidak tepat tanpa ada kajian akademis. Lalu, masalah ini juga terkait dengan sektor lain, yakni keamanan, kesehatan, dan transportasi. Selain itu, minim pelibatan atau partisipasi publik,” kata Indraza.
Dalam diskusi tersebut dirinya mempertanyakan tujuan kebijakan itu yang disebutkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, peningkatan mutu pendidikan tidak hanya dengan membuat masuk sekolah lebih pagi.
”Apakah ada efek ungkit dari kebijakan masuk pagi pukul 05.30 ini pada mutu? Padahal, ada masalah guru, sarana prasarana, kurikulum, dan lingkungan yang juga harus diperhatikan,” ujar Indraza.
Diskriminatif
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YGC) Muhammad Mukhlisin menyatakan, kebijakan Gubernur NTT yang mewajibkan anak masuk sekolah pukul 05.30 harus dikaji ulang. Kebijakan tersebut dinilai diskriminatif.
Kami menilai kebijakan ini tidak tepat tanpa ada kajian akademis. Lalu, masalah ini juga terkait dengan sektor lain, yakni keamanan, kesehatan, dan transportasi. Selain itu, minim pelibatan atau partisipasi publik.
”Kebijakan tersebut hanya mempersiapkan siswa-siswi dari sekolah unggulan tertentu di Kupang, NTT, untuk masuk perguruan tinggi ternama atau sekolah kedinasan di Indonesia. Bagaimana dengan siswa-siswi di luar sekolah tersebut?” ujarnya.
”Padahal, prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Sisdiknas harus berlandaskan pada prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif,” kata Mukhlisin.
Kebijakan-kebijakan pendidikan harus memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan. Keberagaman peserta didik dan keluarganya juga harus diperhatikan. Sebab, tidak semua peserta didik dan orangtua siap untuk menjalankan kebijakan masuk pukul 05.30 tersebut.
”Kondisi guru dan anak-anak di NTT beragam. Sebagian tidak memiliki kendaraan pribadi, sementara infrastruktur, seperti kondisi jalan dan kendaraan umum, belum sepenuhnya mendukung,” ujarnya.
Dengan Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang besar, pemerintah daerah bisa fokus pada infrastruktur dan dukungan sosial-emosional pelajar. ”Pengembangan karakter dengan pendekatan disiplin positif sangat luas bentuknya dan terbukti lebih efektif. Tidak dengan masuk sekolah pagi buta,” kata Mukhlisin.
Oleh karena itu, Yayasan Cahaya Guru menyerukan kepada Pemprov NTT untuk mengkaji ulang kebijakan masuk sekolah pukul 05.30. Semua pihak harus terlibat dalam kajian tersebut, termasuk masyarakat, guru, tenaga pendidik, dan ahli pendidikan.
”Kami berharap agar kebijakan pendidikan di NTT dapat berlandaskan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Kita harus memperhatikan keragaman peserta didik dan keluarganya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di NTT,” tutur Mukhlisin.