Kasus Jambi, Perempuan Pencabul atau Anak Pemerkosa?
Meski jarang, perempuan tetap bisa jadi pelaku pelecehan seksual, termasuk menjadi pedofil. Adapun anak yang sudah puber, meski berumur di bawah 18 tahun, sudah bisa melakukan aktivitas seksual; termasuk yang tak sehat.
Kasus saling lapor antara perempuan dewasa yang dituduh mencabuli belasan anak dan anak-anak dalam kasus yang sama yang dituding memerkosa sang perempuan sedang bergulir di Jambi. Meski proses hukum kasus ini tengah diselidiki kepolisian setempat, kasus ini menunjukkan adanya masalah besar dalam kesehatan mental masyarakat kita, bukan soal hukum semata.
Kasus bermula ketika YSA (21), ibu seorang bayi berumur 11 bulan, melapor ke Kepolisian Resor (Polres) Kota Jambi pada Jumat (3/2/2023) karena telah diperkosa dan dilecehkan oleh delapan anak berumur 8-15 tahun di rumahnya di Kota Jambi, Provinsi Jambi. Tak terima dengan laporan itu, orangtua anak-anak balik melaporkan YSA ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas tuduhan pelecehan anak.
Seperti dilaporkan pihak YSA, perkosaan terjadi pada Kamis sore (2/2) saat suami YSA tidak ada di rumah. Rumah YSA selalu ramai anak dan remaja laki-laki karena menjadi tempat penyewaan video gim yang dikelola suami YSA dan tempat usaha YSA berjualan makanan dan minuman.
Ketika itu, YSA hendak menyapu rumah. Salah satu anak paling besar, berumur sekitar 15 tahun, mendorong YSA ke dalam kamar dan diikuti beberapa anak yang lain. Saat anak terbesar itu menindih dan memperkosa YSA, anak-anak yang lain memegangi tangan dan kaki YSA agar tidak berontak.
Banyaknya kasus seks tidak sehat menunjukkan adanya persoalan besar dalam kesehatan mental masyarakat.
Saat perkosaan berlangsung, seorang anak perempuan sempat melihat kejadian itu dan langsung berlari memanggil suami YSA agar segera pulang. Setiba di rumah, suami YSA sempat memarahi anak-anak tersebut. YSA dan suaminya pun melaporkan kejadian itu ke ketua rukun tetangga (RT) setempat. Ketua RT pun sempat mengumpulkan anak-anak yang dituding sebagai pelaku beserta orangtuanya dan anak-anak mengakui perbuatannya.
Keesokan paginya, upaya damai dilanjutkan kembali. Sebagian orangtua anak menolak meminta maaf kepada YSA, padahal YSA sudah mau memaafkan tindakan anak-anak. Karena tidak ada kesepakatan, YSA dan suaminya akhirnya melaporkan perkosaan yang dialaminya ke Polres Kota Jambi.
Setelah melaporkan kasus yang dialaminya, YSA hanya menjalani visum tubuh bagian atas. Setelah kuasa hukum YSA mempertanyakan hal itu, YSA akhirnya menjalani visum tubuh bagian bawah pada 6 Februari 2023 atau tiga hari setelah pemerkosaan. Hasil visum yang disampaikan penyidik menunjukkan tidak ada tanda kekerasan seksual kepada YSA, tetapi ada bekas luka di leher, tangan dan sekitar payudara yang diduga akibat kekerasan fisik.
Pada saat bersamaan, orangtua anak-anak pun melaporkan YSA ke Polda Jambi atas tuduhan mencabuli anak-anak. Kasus kedua ini berproses lebih cepat hingga YSA ditetapkan sebagai tersangka dan ditempatkan di rumah sakit jiwa (RSJ) untuk observasi selama 14 hari. Adapun 8 anak dari 17 anak-anak yang mengaku dipaksa melayani YSA secara seksual dibawa ke Balai Rehabilitasi Sosial Anak Alyatama, Kota Jambi, untuk pemulihan psikis.
Sementara kasus ini diselidiki polisi dan belum terungkap apa yang sesungguhnya terjadi, stigma negatif telanjur dilekatkan kepada YSA. Tak hanya lebih cepat berproses, kasus kedua juga lebih cepat menyebar ke media massa di Jambi karena sebagian orangtua anak-anak yang dituduh memerkosa YSA memiliki jaringan dengan pewarta di Jambi.
Akibatnya, informasi yang beredar cenderung tidak berimbang. Banyak media menuding YSA sebagai penjahat seksual, pedofil, hingga hiperseksual yang kerap memaksa remaja dan anak di sekitar rumahnya melayani kebutuhan seksualnya. Stigma terhadap YSA itu juga membuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Jambi dan Provinsi Jambi belum memeriksa YSA karena mereka lebih mengutamakan penanganan anak.
Kekerasan seksual ini bukanlah yang pertama terjadi di kampung tempat YSA tinggal. Kampung itu adalah permukiman baru yang tak tertata serta banyak dihuni anak jalanan, termasuk anak-anak yang diduga memerkosa YSA. Tahun lalu, di kampung itu ditemukan bocah 4 tahun tewas dengan luka-luka yang mengindikasikan kekerasan fisik dan seksual. Namun, hingga kini, kasus itu juga belum terungkap.
Kondisi kejiwaan
Psikiater konsultan kesehatan mental perempuan yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair)-RSUD Dr Soetomo Surabaya, Nalini Muhdi, mengingatkan pentingnya menangani kasus di Jambi itu secara komprehensif dengan memeriksa kondisi kejiwaan pelaku ataupun korban oleh psikiater dan psikolog.
”Ini bukan persoalan hukum semata, melainkan juga masalah kesehatan mental masyarakat serius,” katanya.
Intervensi kesehatan mental itu diperlukan bukan untuk meringankan hukuman pelaku, melainkan guna melihat secara utuh kondisi kejiwaan pelaku dan korban. Gambaran mental pelaku dan korban itu bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam penanganan kasus serta untuk mempromosikan, mencegah, mengobati, dan merehabilitasi mental mereka agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Peneliti psikologi forensik yang juga dosen Fakultas Psikologi Unair, Margaretha, menambahkan, dari dua laporan yang berbeda dalam kasus ini, baik YSA maupun anak-anak memiliki peluang yang sama untuk menjadi pelaku atau korban atas kejahatan yang terjadi. Pelaku pada kasus pertama adalah korban dalam kasus kedua, sebaliknya korban dalam kasus pertama adalah pelaku di kasus kedua.
”Ini masalah kompleks yang saling terkait. Karena itu, penting menyikapi kasus ini berdasar asas praduga tak bersalah,” katanya. Meski prevalensinya dalam populasi umum kecil, perempuan dan anak tetap bisa menjadi pelaku tindak kriminal.
Baca Juga: Sejumlah Kejanggalan di Balik Kasus Ibu Muda di Jambi
Kasus perempuan menjadi pelaku pelecehan seksual, apalagi pedofil, memang ada meski sangat jarang terjadi. Proses evolusi, budaya, dan pola asuh menempatkan perempuan sebagai sosok yang penuh welas asih, apalagi terhadap anak-anak. Karena itu, sulit memahami bagaimana seorang ibu yang memiliki anak bisa melakukan pelecehan kepada anak-anak lain.
Pedofilia adalah kelainan seksualitas orang dewasa yang ketertarikan seksual utamanya justru kepada anak-anak di bawah usia pubertas, bukan sesama orang dewasa. Menurut Margaretha, pedofil biasanya mengincar anak berumur kurang dari 12-13 tahun dan belum mengembangkan tanda kelamin sekunder, seperti pembesaran payudara, kumis tipis, atau jakun.
Baca Juga: Kasus Pemerkosaan Ibu Muda di Jambi Mulai Diselidiki
Jika korban adalah anak remaja setelah masa pubertas hingga 18 tahun, ketertarikan seksual itu disebut hebefilia. Dari penelitian Margaretha di lima penjara di Jawa Timur pada 2019-2020, sebagian besar pelaku kejahatan seksual anak adalah hebefil dan pelaku umumnya adalah laki-laki.
Pedofilia merupakan gangguan mental sehingga orang yang memiliki gangguan itu tidak serta-merta bisa dikriminalkan. Artinya, sepanjang pengidap pedofilia tidak melecehkan anak-anak, dia tidak bisa dihukum. Di sini psikiater dan psikolog berperan besar dalam membantu pedofil untuk bisa mengendalikan dan mengelola hasratnya secara aman dan sehat.
Perempuan pedofil adalah kelompok minoritas di dalam kelompok minoritas pedofil. Mereka sering didiskriminasi oleh laki-laki pedofil sehingga kurang mendapat layanan kesehatan mental. Secara sosial, mereka juga mendapat tekanan atau sanksi lebih berat di masyarakat dibandingkan dengan laki-laki pedofil. Padahal, laporan Daily Mail, 19 Januari 2021, menyebut, jumlah perempuan pedofil di Inggris naik 84 persen antara tahun 2015 dan 2019.
Baca Juga: Kasus Dugaan Pencabulan Melaju, Aduan Pemerkosaan Jalan di Tempat
Kalaupun seorang ibu tega melecehkan anak-anak atau menjadi perempuan pedofil, lanjut Nalini, kemungkinan besar dia tidak hanya mengalami gangguan pedofilia. Bisa jadi, dia memiliki masalah kejiwaan lain yang kompleks, seperti tingkat kecerdasan yang rendah dan keterbelakangan mental, gangguan kepribadian, serta gangguan psikiatrik lain.
Gangguan kepribadian yang bisa menyertai munculnya gangguan pedofilia itu antara lain gangguan kepribadian ambang (BPD) dan gangguan psikopatik atau antisosial. Adapun masalah psikiatrik lain yang bisa muncul bisa berupa bipolar atau skizofrenia.
Dalam kasus pedofil asli atau tidak ada gangguan kejiwaan lain, pengalaman traumatik masa lalu biasanya menjadi faktor risiko yang membentuk kejiwaan pelaku saat ini. Karena itu, ”Riwayat kehidupan pelaku perlu ditelusuri, apakah pernah menjadi korban kekerasan seksual, ada atau tidaknya motif dendam, hingga apakah pernah punya pengalaman ditelantarkan di masa kecil,” tuturnya.
Baca Juga: Pawai Putih
Selain janggal, perempuan pelaku pelecehan umumnya memiliki karakter berbeda dibandingkan dengan laki-laki pedofil. Mereka lebih cenderung tidak selektif dalam memilih korban, bahkan bisa menjadikan bayinya untuk memenuhi fantasi seksualnya dengan cara menjilat atau menyedotnya. Dalam pikirannya, bayinya bisa menikmati rangsangan tersebut seperti apa yang dia rasakan.
”Perempuan pelaku kejahatan seksual biasanya lebih patologis, lebih kacau pikirannya dibandingkan dengan laki-laki,” kata Nalini.
Untuk membuktikan tuduhan itu dan memeriksa segala kemungkinan yang bisa membuat YSA menjadi perempuan pedofil, Margaretha menilai tidak bisa dilakukan melalui proses kognitif lewat tanya jawab atau wawancara saja karena masih ada potensi berbohong. Pembuktian akan lebih efektif jika memakai pendekatan biopsikologis, seperti dengan pemindaian otak melalui pencitraan resonansi magnetik (MRI).
Pendidikan seksualitas
Dalam kasus pertama yang menjadikan anak-anak sebagai pemerkosa dan pelaku pelecehan seksual, banyak pihak meragukan mereka bisa melakukannya. Sebagian anak-anak yang menjadi pelaku pelecehan itu sudah memasuki usia remaja atau sudah puber. Artinya, mereka sudah memiliki dorongan seksual dan bisa melakukan aktivitas seksual, baik menggunakan alat kelaminnya atau bermasturbasi.
”Anak-anak yang sudah puber itu sudah memiliki kematangan seksual, tetapi umumnya tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar dan sehat tentang seksualitas,” kata Margaretha.
Meski demikian, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) masih dianggap tabu, baik di lembaga pendidikan maupun di masyarakat. Saat bersamaan, paparan pornografi yang masif via internet menjadi tempat anak-anak belajar tentang seksualitas.
Baca Juga: Kebijakan Orangtua Tentukan Perilaku Anak terhadap Gawai
Akibatnya, anak-anak justru belajar tentang seksualitas yang tidak sehat dan menyimpang hingga menganggapnya sebagai kenormalan. Perilaku seks menyimpang anak itu juga perlu ditelusur, dari mana mereka mendapatkan ide untuk melakukan pelecehan seksual. Ide dan fantasi seksual yang tidak normal bisa menghasilkan perilaku seksual menyimpang.
”Seks seharusnya memberikan kebahagiaan yang dilakukan sesuai norma yang berlaku. Jika seks justru menyakitkan, dilakukan dengan paksaan, menimbulkan malu, melibatkan anak, dilakukan beramai-ramai, atau bergonta-ganti pasangan, itu bukanlah seks yang sehat,” papar Margaretha. Banyaknya kasus seks tidak sehat menunjukkan adanya persoalan besar dalam kesehatan mental masyarakat.
Peran orangtua dalam pengawasan ataupun pemberian PKRS kepada anaknya juga perlu ditingkatkan. Kemampuan anak zaman sekarang mengakses informasi, termasuk tentang seksualitas, sudah sangat canggih. Karena itu, orangtua dan masyarakat seharusnya lebih canggih membekali anak-anak dengan PKRS hingga mereka bisa menjaga diri mereka, menghargai norma masyarakat, dan memiliki perilaku seksual yang sehat.