Suara komunitas TBC dinilai belum lantang saat menyosialisasikan upaya eliminasi TBC di Indonesia. Selain itu, upaya eliminasi TBC juga bisa dilakukan oleh semua pihak seperti halnya penanggulangan pandemi Covid-19.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
KOMPAS/RYAN RINALDY
Kader Pimpinan Daerah Aisyiyah Surabaya menyosialisasikan bahaya penyakit tuberkulosis (TB) kepada warga saat hari bebas kendaraan bermotor di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2017). Penyakit yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis itu tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga menyerang organ tubuh lainnya, seperti selaput otak, kulit, kelenjar, dan tulang. Gerakan itu dilakukan dalam rangka memperingati Hari TB Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.
JAKARTA, KOMPAS — Penanggulangan penyakit tuberkulosis atau TBC harus diperkuat seperti halnya menanggulangi pandemi Covid-19 yang melibatkan semua pihak. Komunitas dan pendamping pengidap perlu dibekali dan dilindungi saat melakukan sosialisasi pencegahan hingga pengobatan. Hal ini harus dilakukan secara progresif demi mencapai target eliminasi TB di Indonesia tahun 2030.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, kasus TBC di Indonesia pada 2022 tercatat 717.941 kasus. Jumlah tersebut melonjak 61,98 persen dari tahun sebelumnya 443.235 kasus. Tingkat keberhasilan pengobatan kasus TBC pada 2022 juga turun menjadi 85 persen setelah setahun sebelumnya mencapai 86 persen.
Dokter spesialis paru dari Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan TBC (KOPI TB), Erlina Burhan, mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan capaian negatif ini adalah kurangnya komunikasi pencegahan dan pengobatan TBC. Masih banyak stigma di masyarakat, seperti menganggap TBC sebagai aib. Hal itu membuat orang malas melakukan tes dan pengobatan rutin pasien dalam jangka waktu minimal 6-12 bulan menjadi terganggu.
”Ini tantangan kita, komunitas TBC harus lebih speak up. Saya melihat komunitas HIV itu gahar-gahar sosialisasi di berbagai media jadi mereka cepat penyuluhannya. Kalau komunitas TBC itu sopan banget, tidak ada teriak-teriak, ayo libatkan media sosial,” kata Erlina dalam dialog yang diadakan oleh Stop TB Partnership Indonesia di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pedagang turun dari mobil Mobile Xray setelah menjalani pemeriksaan foto rontgen dada dalam kegiatan penjaringan tuberkulosis (TBC) secara aktif di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (14/12/2022). Penjaringan TBC secara aktif merupakan bagian penting upaya mengeliminasi penyakit tersebut di kalangan masyarakat. Jumlah pasien TBC yang ditemukan dan diobati di fasilitas layanan kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2020 tercatat 833 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 879 orang pada 2021 dan 1.154 orang pada tahun 2022.
Data Global TB Report 2022 juga menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia (969.000 kasus) setelah India (2,95 juta kasus). Jumlah ini membuat Indonesia berkontribusi terhadap 9,2 persen kejadian TBC global.
Erlina memaparkan, komunitas dapat melakukan berbagai cara, antara lain menjangkau atau menemukan kasus TBC baru, menyosialisasikan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), memantau anak-anak yang memiliki kontak erat dengan pengidap TBC, mengenalkan TBC ke sekolah-sekolah, dan mendukung pengidap untuk rutin menelan obat sampai sembuh. Upaya komunikasi ini tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh dokter.
Masih banyak stigma di masyarakat, seperti menganggap TBC sebagai aib. Hal itu membuat orang malas melakukan tes dan pengobatan rutin pasien dalam jangka waktu minimal 6-12 bulan menjadi terganggu.
Peranan ini diperkuat melalui Deklarasi PBB untuk melawan TBC tahun 2018 yang menyebut keterlibatan komunitas diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas pencapaian tujuan eliminasi TBC pada seluruh proses dari perencanaan, persiapan implementasi, implementasi program, termasuk monitoring dan evaluasi program.
Selain komunitas yang concern dengan TBC, penanganan penyakit endemi Indonesia ini juga bisa dilakukan semua pihak. Erlina mencontohkan, penanggulangan pandemi Covid-19 yang melibatkan semua pihak dalam waktu tiga tahun bisa terkendali. Hal ini seharusnya juga dilakukan untuk penyakit menular lain, seperti TBC, yang sejak dulu belum selesai.
”Saya iri dengan Covid-19, kalau untuk Covid-19 ini seluruh institusi pemerintah, tokoh masyarakat, bahkan pelaku bisnis turun tangan supaya terkontrol. Namun, kita tidak melakukan ini untuk TBC,” ucapnya.
Paran Sarimita Winarni, penyintas TBC, pernah merasakan pentingnya peran komunitas TBC. Paran mengaku sangat terbantu ketika Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) datang mendampingi dirinya menjalani pengobatan TBC RO (Resisten Obat) selama 20 bulan pada 2012. Kondisinya sangat rapuh saat didiagnosis TBC-nya kambuh setelah sembuh dengan menelan obat TBC selama dua tahun sejak 2008.
”Bagaimanapun, keberadaan komunitas itu jauh lebih sering dibanding dengan dokter atau petugas karena pendamping pasien itu biasanya orang yang pertama kali dihubungi oleh pasien ketika mereka mengalami efek samping dari obat ini,” katanya.
Setelah sembuh dari TBC RO, Paran tergerak untuk bergabung dengan Komunitas PETA, lalu mendampingi sejumlah pengidap TBC sampai sembuh. Hal seperti ini bisa dilakukan para penyintas untuk saling mendukung sebagai orang yang juga pernah mengidap TBC.
Komunitas bisa memberikan edukasi bagi para pengidap dengan bahasa klinis yang diubah menjadi mudah dimengerti dan motivasi dengan pendekatan yang lebih humanis. Di sisi lain, komunitas juga terhambat dengan dana yang terbatas untuk melakukan kerja-kerja tersebut.
”Beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, mungkin sudah bisa mengakses dana swakelola, tetapi daerah lain belum bisa. Semoga ke depannya komunitas ini bisa lebih mudah dijangkau,” tutur Paran.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas mendata warga yang akan menjalani rontgen paru dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TBC) di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023).
Beberapa contoh sukses pelibatan komunitas untuk eliminasi TBC sudah dilakukan oleh Pemerintah Ukraina yang berhasil mengurangi tingkat kejadian TBC di Ukraina hingga 7,3 persen atau di atas rata-rata global (6,3 persen). Tingkat keberhasilan pengobatannya mencapai 85 persen.
Pelibatan Komunitas TBC oleh Pemerintah Georgia juga berhasil menurunkan jumlah kasus TBC secara bertahap dari kurun waktu 2001-2021 di negara tersebut. Mereka juga mengembangkan aplikasi untuk memantau pengobatan pasien.
Oleh karena itu, perlu peran dinas kesehatan setempat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas program penanggulangan TBC secara berkelanjutan. Komunitas juga harus berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk melaksanakan program penanggulangan TBC di Indonesia.