Virus flu burung telah melompat ke mamalia dan banyak menimbulkan kematian, mulai dari cerpelai, rubah, berang-berang, singa laut, hingga beruang grizzly. Apakah bisa menjadi sumber pandemi berikutnya bagi manusia?
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
DRAWING/ILHAM KHOIRI
Ahmad Arif, wartawan Kompas
Virus influenza H5N1 mewabah dan telah membunuh puluhan juta unggas secara global. Virus ini juga telah melompat ke mamalia dan banyak menimbulkan kematian, mulai dari cerpelai, rubah, berang-berang, singa laut, hingga beruang grizzly. Apakah bisa menjadi sumber pandemi berikutnya bagi manusia?
Virus H5N1 atau dikenal sebagai flu burung ini pertama kali terdeteksi menyerang ayam di Skotlandia pada tahun 1959. Varian virus avian influenza A ini menyebabkan penyakit pernapasan dan sangat menular pada unggas. Berikutnya, virus ini muncul kembali dan menyerang angsa di China selatan dan Hong Kong pada tahun 1996.
Kasus manusia pertama yang terinfeksi virus ini dilaporkan di China dan Hong Kong pada tahun 1997. Sebanyak 18 orang tertular dari unggas, enam di antaranya meninggal.
Semakin banyak kasus flu burung yang kita miliki di suatu wilayah, semakin besar peluang terjadinya mutasi.
Sejak itu 19 negara telah melaporkan lebih dari 860 infeksi manusia H5N1 ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2003 hingga 2022. Dari jumlah tersebut, 53 persen infeksi pada manusia mengakibatkan kematian.
Laporan WHO juga menyebutkan, Indonesia merupakan negara dengan korban jiwa akibat H5N1 tertinggi di dunia. Sejak korban pertama pada manusia tercatat di Indonesia pada 2005 hingga Oktober 2017, sebanyak 200 orang terinfeksi dan korban jiwa 168 orang.
Terbaru, pada tanggal 23 Februari 2023, Cambodia International Health Regulations (IHR) National Focal Point (NFP) melaporkan satu korban jiwa akibat infeksi virus H5N1. Selain itu, ada belasan orang lainnya yang tengah dirawat karena terinfeksi virus ini.
Sekalipun memiliki tingkat kematian yang tinggi, penularan H5N1 ke manusia sebenarnya tidak mudah. Berdasarkan bukti sejauh ini, virus tersebut tidak menyebar dari orang ke orang. Hampir semua kasus infeksi H5N1 pada manusia dikaitkan dengan kontak dekat dengan unggas hidup atau mati yang terinfeksi, atau lingkungan yang terkontaminasi virus ini.
Peluang mutasi
Namun, para ahli mulai khawatir dengan perkembangan terakhir, yakni H5N1 semakin sering menjadi wabah dan penyebarannya meluas. Semakin banyak kasus flu burung yang kita miliki di suatu wilayah, semakin besar peluang terjadinya mutasi.
Sejak akhir 2021, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan dilanda wabah flu burung dalam skala terburuk yang pernah terjadi. Di Amerika Serikat saja dilaporkan lebih dari 58 juta unggas ternak dan lebih dari 6.000 unggas liar terinfeksi H5N1 dari clade 2.3.4.4, yang dianggap lebih menular.
AFP/JIM WATSON
Angsa salju di Ruthsburg, Maryland, Sabtu (25/1/2023). Virus flu burung membunuh sekitar 1.600 angsa salju di dua wilayah di Colorado sejak November.
Pada tahun 2022, virus tersebut berpindah dari burung ke cerpelai yang dibudidayakan di Spanyol. Virus itu tidak hanya menyebabkan penyakit parah pada cerpelai, tetapi juga menyebar dari hewan ke hewan, sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Deteksi baru-baru ini menemukan, virus H5N1, juga menulari beragam mamalia lain di alam luar, termasuk rubah, berang-berang, singa laut, dan bahkan beruang grizzly, sehingga WHO menyerukan kewaspadaan dan memantau lebih ketat.
Virus flu berkembang dengan cepat sehingga ada kekhawatiran bahwa evolusi cepat virus pada cerpelai dan mamalia lain akan menghasilkan virus yang dapat lebih mudah menginfeksi manusia. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena dengan meningkatnya jumlah wabah H5N1 pada unggas, selain juga sejumlah mamalia, semakin banyak peluang terjadinya mutasi adaptif. Apalagi, banyak di antaranya binatang yang terinfeksi ini hidup bersama manusia sehingga risiko paparan juga tinggi.
Jika versi H5N1 yang dapat ditularkan ke manusia benar-benar muncul, ada kemungkinan besar akan menyebar dengan cepat karena kebanyakan orang tidak memiliki kekebalan terhadap subtipe virus flu ini sehingga berpotensi mengakibatkan pandemi baru.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Anggota Unit Respons Cepat Dinas Pertanian bagian Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat, dan Veterinarian Kabupaten Bandung sedang memusnahkan itik yang telah positif flu burung di Kampung Lebak Wangi, Desa Sekar Wangi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, akhir Februari 2017.
Meski demikian, masih banyak ketidakpastian, termasuk jika H5N1 ini benar-benar bisa menjadi virus manusia, apakah virus tersebut masih mematikan? Pandemi H5N1 dengan tingkat kematian 53 persen tentu sangat mengkhawatirkan.
Dari beberapa pengalaman sebelumnya, ketika virus berganti inang dari binatang liar ke mamalia, tingkat kematiannya akan turun signifikan. Penurunan tingkat fatalitas ini juga merupakan bentuk mutasi adaptif virus karena semakin mematikan, dia akan memicu jalan buntu penularan.
Di satu sisi ini adalah kabar baik. Namun, kita tidak boleh lupa dengan pandemi Covid-19, yang tingkat fatalitas kasus 2-3 persen, dampaknya sangat besar karena tingkat penularannya sangat tinggi.
Selain itu, kita juga perlu belajar dari sejarah, saat kerabat dari virus H5N1, yaitu virus H1N1, memicu pandemi paling mematikan dalam sejarah modern pada 1918/1919. Wabah H1N1 atau dikenal sebagai flu spanyol saat itu telah menewaskan 21,5 juta-50 juta orang di seluruh dunia dan di Jawa dan Madura saja, menurut perhitungan Siddharth Chandra (2013), jumlah korban mencapai 4,26 juta-4,37 juta orang.
Laporan Michael Worobey, ahli biologi evolusi Universitas Arizona, di jurnal Nature, pada Februari 2014 menunjukkan bahwa virus H1N1 itu awalnya juga menular di antara unggas peliharaan dan burung liar di Amerika Utara, sebelum kemudian menjadi wabah pada manusia.
MT / MT
Taylor Flanagan merawat kalkun-kalkun yang diselamatkan dari peternakan di Farm Sanctuary di California Selatan, 5 Oktober 2022. Seiring migrasi burung-burung ke California Selatan, muncul kekhawatiran penyebaran flu burung.
Sekalipun lompatan varian virus unggas menjadi virus manusia pernah terjadi, hal itu tetap bukan hal mudah. Tetap saja, kita perlu waspada dengan meluasnya flu burung saat ini.
Bahkan, meskipun tidak terjadi penularan flu burung dari manusia ke manusia, efek virus di antara burung dan mamalia, baik di alam liar maupun di penangkaran, dapat menjadi bencana besar bagi manusia.