Sumber Pencemar Pangan dan Cara Mengurangi Risikonya
Tingginya kasus penyakit bawaan pangan menandai besarnya beban kesehatan masyarakat yang seharusnya bisa dihindari. Selain kesadaran masyarakat, negara juga dituntut hadir untuk menjamin keamanan pangan.

Petugas kesehatan melakukan perawatan terhadap siswa SD 29 Gunung Sarik yang mengalami keracunan jajanan bakso bakar di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Rasidin Padang, Sumatera Barat, Selasa (11/1/2022). Total ada 30 siswa SD 29 Gunung Sarik dan lima orangtua siswa dan warga sekitar yang keracunan makanan yang dijual di sekitar sekolah tersebut.
Makanan tidak aman yang mengandung bakteri, virus, parasit, atau zat kimia berbahaya bisa menyebabkan lebih dari 200 penyakit, mulai dari diare, tipus, hepatitis, hingga kanker. Tingginya angka kasus penyakit bawaan makanan di Indonesia menandai besarnya beban kesehatan masyarakat yang seharusnya bisa dihindari dengan tata kelola yang baik.
Diare merupakan penyakit endemis yang menjadi salah satu penyumbang utama kematian di Indonesia, terutama pada anak berusia di bawah lima tahun atau balita. Makanan atau minuman yang terkontaminasi merupakan penyebab utama sakit perut ini. Tak hanya diare, pangan yang terkontaminasi juga bisa menjadi sumber penyakit kronis dan jangka panjang.
Winiati P. Rahayu, ahli keamanan pangan dari IPB University, Jumat (24/2/2023), mengatakan, sesuai saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus yang dilaporkan dalam kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan fenomena puncak gunung es. Sebagian besar orang yang keracunan pangan tidak tercatat karena tidak berobat di fasilitas kesehatan. ”Jika mengacu pada WHO, jumlah kasus sesungguhnya minimal 100 kali dari laporan KLB,” tuturnya.
Bahaya keracunan pangan bisa bersumber dari fisik, kimia, dan mikrobiogis. Selain dari bahan pangannya, potensi pangan yang tidak aman juga bisa berasal dari pencemaran saat masak dan penyimpanan.
Sebagai negara tropis yang lembap, Indonesia sangat kaya dengan mikroba patogen yang berpotensi mencemari makanan jika salah penanganan. ”Makanan yang disimpan terlalu lama di suhu ruang, itu yang sering kali menyebabkan keracunan. Biasanya ini terjadi di katering atau acara pesta-pesta,” ungkapnya.

Beberapa patogen yang kerap menjadi sumber penyakit itu, antara lain, Shigella dysenteriae, Salmonela Typhi dan S. paratyphi, Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Entamoeba histolytica, Hepatitis A, Escherichia coli, Clostridium perfringes, Bacillus cereus, Toxoplasma gondii, dan Norovirus.
Bakteri Shigella dysenteriae sangat mudah tumbuh di daerah tropis dan menjadi penyebab paling umum pada penyakit disentri. Biasanya, kuman disebarkan oleh serangga terutama lalat yang hinggap pada feses penderita disentri dan disebarkan pada makanan dan minuman.
Sementara Salmonella Typhi dan S. paratyphi merupakan bakteri penyebab demam tifoid yang bisa mengancam jiwa jika terlambat ditangani. Indonesia memiliki insiden demam tifoid tertinggi ketiga di antara negara-negara di dunia dengan angka kesakitan per tahun mencapai 157 per 100.000 populasi pada daerah semirural dan 810 per 100.000 populasi pada daerah urban, dengan kecenderungan meningkat.
Bakteri lain yang menular lewat air dan makanan yang tidak higienis adalah Vibrio cholerae yang memicu infeksi usus akut atau kolera. Dampaknya berupa diare hebat dengan tinja cair dan sering disertai muntah sehingga bisa memicu dehidrasi dan kematian. Sekalipun relatif jarang, KLB kolera pernah melanda Indonesia, terakhir terjadi di Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, Papua, pada 2008 yang menewaskan 172 orang.
Bakteri E. Coli termasuk yang paling sering mencemari makanan atau minuman di Indonesia. Pada umumnya, bakteri ini tidak menimbulkan keparahan, tetapi beberapa varian, seperti E. Coli tipe O157:H7 dapat mengakibatkan keracunan makanan yang serius dengan gejala diare berdarah.

Sebanyak 55 pelajar SMP dan SMA Marsudirini Kabupaten Bogor mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Sentosa karena mengalami keracunan makanan, Senin (20/3/2023).
Norovirus adalah jenis virus yang dapat menyebabkan muntah dan diare parah saat terinfeksi. Penyakit ini sangat umum terjadi dan terbilang sangat menular. Beberapa orang menyebut serangan virus ini dengan flu perut atau muntaber.
Winiati memaparkan, bahaya kimia bisa berasal dari racun alami yang ada di makanan. Beberapa makanan diketahui memiliki racun alami mematikan yang membutuhkan proses pengolahan dengan benar untuk menghilangkan racunnya. Beberapa di antara sumber pangan beracun ini adalah singkong dan beberapa umbi lain yang mengandung sianida, hingga ikan buntal.
Pencemar kimia
Bahaya kimia pada pangan juga bisa berasal dari kontaminan. Beberapa di antaranya yang kerap mencemari pangan di Indonesia adalah pestisida, obat hewan, mikotoksin, dan logam berat. Pencemaran kimia juga bisa dari penggunaan bahan tambahan pangan berlebihan, seperti pewarna, pemanis, antioksidan, hingga emulasi. Selain itu, juga kerap digunakan bahan berbahaya yang disalahgunakan, seperti boraks dan formalin untuk mengawetkan ikan dan daging.
Etty Riani, ahli ekotoksikologi dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, IPB University, mengutarakan, cemaran kimia berbahaya pada bahan pangan dan air di Indonesia sangat tinggi. Namun, selama ini cemaran tersebut jarang menjadi perhatian karena keterbatasan pemeriksaan dan efeknya yang jangka panjang sehingga tidak cepat terdeteksi.
Ia beberapa kali melaporkan cemaran bahan berbahaya, termasuk logam berat, dalam produk perikanan air tawar maupun air laut di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2017, Etty memublikasikan temuannya beberapa biota laut yang tercemar logam berat di Teluk Jakarta, antara lain kerang hijau (Perna viridis) dan ikan barakuda. Hasil riset itu menunjukkan, konsentrasi merkuri pada kerang hijau 27,86-45,41 mg/kilogram (kg). Padahal, baku mutu yang ditetapkan hanya 1 mg/kg.

”Sejak beberapa tahun lalu, saya sudah mengingatkan cemaran logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta pada tingkat tak aman untuk dikonsumsi. Padahal, konsentrasi logam berat di Teluk Jakarta semakin tinggi karena terakumulasi,” ujarnya.
Yuyun Ismawati, senior advisor di Nexus3 Foundation, berulang kali menyampaikan temuan timnya tentang cemaran merkuri dalam pangan di Indonesia. Sebagai contoh, cemaran merkuri pada beras di Cisitu merupakan yang tertinggi, 1.800 bagian per miliar (part per billion/ppb). Padahal, standar aman kandungan merkuri dalam beras dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) adalah 30 ppb dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 50 ppb.
Merkuri yang bersifat anorganik bisa berubah di tanah dan di air menjadi metilmerkuri (MeHg) sehingga bersifat organik. Dengan karakteristik ini, MeHg bisa terserap tanaman dan ikan secara lebih mudah.
”Beberapa kali ekspor ikan Indonesia yang ditolak ke luar negeri karena adanya cemaran MeHg ini. Tetapi, lab yang bisa meriksa MeHg di Indonesia sangat terbatas, biasanya harus antre sampai dua mingguan. Hal sama juga terkait cemaran pestisida pada makanan, kemampuan lab kita sangat terbatas,” ungkapnya.
Etty pernah memeriksa residu pestisida pada sedimen tanah, air, hingga ikan pada hulu Daerah Aliran Sungai Citarum di Jawa Barat. ”Kami bawa ke laboratorium di Indonesia, tetapi residu pestisidanya tidak terdeteksi. Saya bawa sampelnya ke Jepang, ternyata pestisidanya tinggi dan jauh di atas ambang,” katanya.

Kasatreskrim Polres Buton AKP Dedi Hartoyo beserta tim melakukan olah TKP terkait keracunan massal yang terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara, Selasa (1/12/2020). Investigasi masih menunggu hasil uji laboratorium terhadap sejumlah sampel makanan yang telah diambil sebelumnya.
Keterbatasan laboratorium dan pemeriksaan logam berat dan residu pestisida, menurut Etty, membuat pengawasan produk pangan segar di Indonesia sulit dilakukan. ”Tidak mungkin (pemeriksaan MeHg dan pestisida) ini dilakukan di produk-produk segar yang dijual di dalam negeri. Misalnya, ikan dari nelayan di tempat pelelangan ikan langsung dibawa ke pasar, lalu ke konsumen. Akhirnya, masyarakat mengonsumsi produk pangan yang belum tentu aman,” kata Etty.
Kenali risiko
Winiati menjelaskan, sesuai dengan panduan WHO, ada lima kunci keamanan pangan. Pertama, selalu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah pangan dan menjaga sanitasi alat pengolahan pangan.
Kedua, memisahkan pangan mentah dari pangan matang. Pangan mentah dapat mengandung bakteri dan mikroba yang dapat mencemari pangan matang selama prengolahan dan penyimpanan. Ketiga, masak dengan benar. Makanan bisa dianggap matang sempurna jika dipanaskan di atas 70 derajat celsius untuk membunuh mikroba dan patogen.
Keempat, jaga pangan pada suhu aman. Disarankan pangan matang tidak disimpan di suhu ruang lebih dari dua jam. Sebaiknya, suhu pangan minimal dua derajat celsius dalam lemari penyimpanan atau dipanaskan dengan suhu di atas 60 derajat celsius sebelum disajikan kembali.
Kelima, air dan bahan baku yang dipakai harus aman. Air yang bersih dapat mengurangi kontaminasi bakteri dan bahan kimia berbahaya pada makanan, sebaliknya air tercemar juga bisa mengontaminasi makanan. Terutama cemaran kimia dan logam berat harus diwaspadai karena hal itu tidak bisa hilang dengan pemanasan.

Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darussalam saat pulang dari sekolahnya di Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022). Sebanyak 12 siswa dari MTs Darussalam dan 4 siswa dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darussalam keracunan makanan.
Sementara untuk mengurangi risiko bahaya pangan siap saji, masyarakat diharapkan bisa mengenali ciri-ciri pangan yang aman berdasarkan karakteristik ancamannya. Untuk ancaman biologis pada pangan siap saji, beberapa hal harus dipastikan konsumen, yakni kebersihannya, kemasan tak rusak, dan tidak basi. Makanan basi biasanya ditandai tesktur lunak, bau asam atau busuk. ”Jangan sayang membuang pangan dengan sensori menyimpang,” ujarnya.
Ciri-ciri makanan yang aman dari bahasa fisik, menurut Winiati, di antaranya tidak terlihat ada benda asing, seperti rambut, serpihan kayu, kerikil, dan staples. Dia juga menyarankan masyarakat untuk menghindari makanan yang dibungkus dengan stapler.
Sementara itu, ciri-ciri pangan yang aman dari bahaya kimia pada umumnya tidak terlalu kenyal, keras, atau gosong. Juga tidak berasa pahit atau getir. Pangan yang berwarna mencolok juga patut dihindari. ”Hindari juga makanan yang dibungkus kertas bekas atau kertas koran,” ujarnya.
Peran negara
Ketua Asosiasi Profesi Keamanan Pangan Indonesia (APKEPI) Roy Sparringa mengatakan, selain menuntut kesadaran masyarakat, negara harus hadir dalam menjamin keamanan pangan. Kehadiran negara ini bisa dilakukan dengan dengan pembuatan regulasi, pembinaan pelaku pangan, dan pengawasan.
Pengawasan ini menjadi penting, terutama terkait keamanan bahan-bahan pangan yang tidak bisa dipantau secara kasat mata oleh konsumen. Untuk laboratorium rujukan dan jejaringnya harus diperkuat di daerah-daerah, termasuk anggaran pemeriksaan dan pengawasan pangan. ”Ini termasuk bagaimana membangun lab rujukan untuk penyakit penting, misalnya yang disebabkan Salmonela. Sampai sekarang belum ada,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F01%2F21%2Fe5925533-7b52-4de1-957d-92fa925cdeb5_jpg.jpg)
Sebagian anak yang keracunan makanan yang dibagikan saat ini dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Anatapura Palu, Sulawesi Tengah, Senin (22/1/2019).
Pangan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat harus jadi perhatian utama. ”Salah satu fokus perhatian pada air, yang di Indonesia ini menjadi sumber masalah. Baik air ledeng maupun air sumur kita banyak yang tercemar. Cemaran mikroorganisme bisa diatasi dengan dimasak, tapi cemaran kimia dan logam berat tidak akan hilang,” katanya.
Selain itu, juga perlu ada perbaikan infrastruktur, terutama rantai dingin di pasar-pasar tradisional. ”Mayoritas pasar tradisional di Indonesia tidak memiliki rantai dingin,” katanya.