Anak dan remaja rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual di dunia maya. Untuk mengantisipasi itu, modul perlindungan anak di dunia maya pun disusun dan diuji coba.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ghifari Arkanata (8), anak dari Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, memainkan ponsel pintarnya, Sabtu (25/2/2023). Ia salah satu anak yang mengenal gawai sejak usia dini. Orangtuanya memberi gawai untuk mengatasi Ghifari yang rewel saat masih kecil. Kebiasaan menggunakan gawai berlangsung hingga sekarang dengan pengawasan dari orangtua.
WONOSOBO, KOMPAS — Sejumlah lembaga pemerhati anak menyusun modul perlindungan anak dari risiko kekerasan dan eksploitasi seksual di dunia maya. Modul yang terdiri dari lima bagian itu akan dievaluasi dan direvisi. Modul diharapkan selesai disusun pada Februari 2023.
Modul tersebut disusun antara lain oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Yayasan Setara, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Klaten, dan pemerintah daerah. Penyusunan modul ini bagian dari program Lingkungan Aman dan Ramah untuk Anak (SAFE4C), serta program Eksploitasi Seksual dan Kekerasan terhadap Anak secara Daring (OCSEA).
Modul diuji coba di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (25/2/2023). Ada dua lokasi uji coba, yaitu Desa Keseneng di Kecamatan Mojotengah dan madrasah di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah 6. Uji coba menyasar remaja berusia 15-18 tahun.
”Modulnya ada lima tahap. Pertama, kita mengenalkan eksploitasi (seksual) dan kekerasan gender berbasis online. Modul kedua tentang apa saja kejahatan online seperti grooming, sexting, dan sextortion. Modul ketiga membedah risiko dan manfaat internet. Modul keempat tentang upaya pencegahan. Modul kelima tentang ke mana kita melapor jika terjadi kejahatan,” kata pendamping Yayasan Setara, Bintang Alhuda.
Sebelum diuji coba, modul diajarkan ke 30 remaja berusia 17-21 tahun yang kemudian bertugas sebagai fasilitator lapangan. Mereka semua adalah pengurus Forum Anak dari lima kabupaten/kota, yaitu Wonosobo, Sragen, Blora, Surakarta, dan Pekalongan.
Para fasilitator diharapkan dapat menyampaikan modul dengan bahasa yang dipahami sesama remaja. Mereka juga disiapkan untuk menyebarkan modul ini di daerah masing-masing.
Salah satu fasilitator remaja, Cita (16), mengatakan, modul ini membantunya paham ”rambu-rambu” penggunaan internet. Ia juga jadi paham bentuk-bentuk kekerasan dan cara melindungi diri di dunia maya. Ini penting mengingat remaja kian akrab dengan internet. Potensi kekerasan hingga eksploitasi pun mengintai.
”Aku pernah dapat telepon jam dua pagi. Kukira penting, jadi kuangkat. Ada suara banyak anak dan remaja. Namun, si remaja tiba-tiba mendesah. Aku takut dan teleponnya langsung kumatikan,” kata Cita yang mengaku trauma dengan kejadian itu.
Pengalaman tersebut membuat Cita berhati-hati dengan nomor tak dikenal. Hal ini juga mendorong dia untuk mengedukasi sesama remaja tentang risiko kekerasan dan eksploitasi seksual di dunia maya.
Risiko dunia maya
Menurut Profil Anak Indonesia 2021, sebanyak 29,5 persen pengguna internet adalah anak-anak. Tanpa pengawasan orang dewasa, anak-anak rentan terpapar konten yang tidak semestinya hingga mengalami berbagai kekerasan.
Hal itu sesuai Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada akhir November 2022. SNPHAR mencatat 21 dari 100 anak laki-laki dan 27 dari 100 anak perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun selama setahun terakhir.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021 mencatat 21 dari 100 anak laki-laki dan 27 dari 100 anak perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun selama setahun terakhir.
Survei yang dilakukan di 178 kabupaten/kota di 33 provinsi ini juga menemukan dua bentuk kekerasan seksual, yaitu kekerasan seksual kontak dan nonkontak. Kekerasan seksual kontak antara lain sentuhan yang tak diinginkan, dipaksa berhubungan seks, diajak berhubungan seks, serta hubungan seks dengan tekanan dan ancaman. Perempuan lebih berisiko (6,42 persen) daripada lelaki (2,66 persen).
Sementara itu, kekerasan nonkontak antara lain dipaksa menyaksikan kegiatan seksual, dipaksa terlibat dalam gambar/foto atau video seksual, serta diminta mengirim teks, gambar/foto atau video kegiatan seksual. Ada 2 dari 100 anak lelaki maupun perempuan yang pernah mengalami ini dalam setahun terakhir (Kompas, 21/12/2022).
Untuk mengantisipasi ini, pendampingan dan pengawasan orangtua dibutuhkan. Warga Desa Keseneng, Dwi Hendrawan (34), misalnya, memberi akses ponsel pintar ke anaknya yang berusia 8 tahun dengan beberapa syarat. Salah satu syaratnya ialah Dwi mesti tahu seluruh kata sandi di ponsel sang anak. Anaknya juga hanya boleh mengakses ponsel setelah pulang sekolah dan mengaji. Dwi juga kerap mengecek riwayat pencarian anaknya di internet.
”Sejauh ini saya tidak menemukan konten-konten negatif,” kata Dwi.
Walau begitu, anaknya seakan telah ”berkawan baik” dengan ponsel. Sang anak kadang bahkan minta disuapi saat makan karena asyik bermain ponsel. Hal ini meresahkan Dwi. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak karena anak-anak di lingkungan sekitar pun jarang bermain bersama dan lebih memilih bermain gawai.