Ditemukan Antibodi Baru Manusia untuk Menetralkan Neurotoksin Berbagai Jenis Ular
Temuan antibodi baru manusia untuk menetralkan neurotoksin berbagai jenis ular menjadi harapan baru untuk mengatasi gigitan ular berbisa.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengurus Taman Belajar Ular (Tabu) Indonesia, Elang, menunjukkan cara menangkap ular berbisa dengan aman di kawasan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Desember 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Ular berbisa telah menjadi salah satu binatang mematikan yang menelan banyak korban jiwa. Tingginya jumlah korban disebabkan pengobatan sangat tergantung pada serum antivenom yang ketersediaannya terbatas. Karena itu, temuan antibodi baru manusia untuk menetralkan neurotoksin berbagai jenis ular menjadiharapan baru untuk mengatasi gigitan ular berbisa.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 5,4 juta orang di seluruh dunia digigit ular, sebanyak 81.000 hingga 138.000 orang meninggal dan lebih banyak lagi yang mengalami cacat permanen. Karena ukurannya, anak-anak sering mengalami efek paling parah.
Di Indonesia, menurut data Presiden Toxynologi Indonesia Tri Maharani, Jumat (24/2/2023), sepanjang Januari 2020 sampai awal Januari 2021 ada 627 kasus gigitan ular di Indonesia yang dilaporkan dan 62 orang di antaranya meninggal. Tingginya tingkat fatalitas gigitan ular di Indonesia ini, menurut Tri, di antaranya karena keterlambatan dan kesalahan penanganan darurat,selain karena keterbatasan antivenom.
Sekalipun antibodi tidak dapat mencegah kematian akibat racun mamba hitam, kelangsungan hidup dapat diperpanjang beberapa jam. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi memberikan netralisasi parsial racun.
Tri menyebutkan, dalam dua bulan terakhir, terjadi delapan kasus gigitan ular yang dilaporkan dan tiga orang di antaranya meninggal. Kasus terbaru, pendiri sekaligus Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia, Aji Rachmat Purwanto, meninggal setelah digigit ular king cobra pada Selasa (14/2/2023). Aji meninggal setelah dipatuk king cobra ketika mengisi acara pelatihan tentang penanganan ular berbisa ini di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 12 Februari 2023.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Tri Maharani
Tingginya angka korban dikarenakan pengobatan sangat tergantung pada serum antivenom yang ketersediaannya terbatas. Selama ini, pengobatan utama terhadap gigitan ular menggunakan campuran antibodi poliklonal yang berasal dari darah hewan atau serum yang diimunisasi. Meskipun terbukti efektif, obat-obatan ini dapat menyebabkan reaksi merugikan yang terkadang parah. Selain itu, tiap ular memiliki antivenom yang berbeda-beda sehingga menyulitkan penanganan.
Baru-baru ini, tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh Line Ledsgaard dari Department of Biotechnology and Biomedicine Technical University of Denmark (DTU) berhasil mengembangkan pengobatan prototipe modern baru yang terbukti efektif melawan racun ular elapid Afrika dan Asia, seperti beberapa spesies kobra, mamba, dan krait. Temuan ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
”Kami sebelumnya telah mengembangkan antibodi terhadap racun dari satu spesies ular. Namun, hasil baru kami menunjukkan bahwa teknologi kami memiliki potensi besar dalam menetralkan racun dari berbagai spesies, bahkan dari benua yang berbeda. Kapasitas netralisasi silang yang diperluas ini sangat menjanjikan, dapat memberikan dasar untuk perawatan yang lebih efektif bagi korban gigitan ular di masa mendatang,” kata Andreas Hougaard Laustsen-Kiel, profesor di DTU Bioengineering, yang terlibat dalam kajian ini.
Melawan beberapa neurotoksin
Pendekatan baru para peneliti DTU ini adalah mengembangkan antibodi yang sepenuhnya berasal dari manusia, yang menawarkan reaksi merugikan lebih sedikit, biaya kompetitif, dan, jika disesuaikan, kemanjuran yang unggul. Mereka menggunakan phage display technology, yaitu metodologi in vitro yang populer dalam penemuan obat untuk memilih antibodi yang mengikat dengan baik racun dalam racun sehingga memungkinkan netralisasi luas.
”Telah terjadi revolusi dalam teknologi antibodi rekombinan selama tiga dekade terakhir. Saya senang terlibat dalam upaya ini untuk mengarahkan phage display technology ke penyakit bisa gigitan ular,” kata John McCafferty, penemu phage display technology, yang membentuk kelompok antiracun baru di University of Cambridge.
Para peneliti dengan sengaja memilih ratusan kandidat antibodi dan menguji yang paling menjanjikan melawan racun dalam bisa ular yang berbeda. Mereka menemukan bahwa satu di antaranya, yaitu antibodi 2554_01_D11, sangat kuat dan menetralkan secara luas. Antibodi itu terikat pada berbagai neurotoksin yang terdapat dalam bisa ular kobra bermata satu, kobra hutan, kobra berkacamata, kobra raja (king cobra), mamba hitam, dan ular berpita banyak.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pelatih memberikan contoh menghadapi ular kobra di pos penanganan reptil pada sesi kemampuan kepramukaan dalam Jambore Nasional Gerakan Pramuka di Buperta Cibubur, Jakarta, Jumat (19/8/2022).
Studi in vivo selanjutnya menunjukkan bahwa antibodi mencegah atau menunda kematian akibat racun. Khusus untuk kobra bermata satu, antibodi sepenuhnya mencegah kematian pada tikus yang terkena racun.
”Mengingat hasil positif mengenai netralisasi racun dari kobra, kami menirukan situasi penyelamatan yang sebenarnya, menyuntik tikus dengan racun kobra dan kemudian memberikan antibodi. Dan tentu saja, kami dapat mencegah kematian ketika antibodi disuntikkan cepat setelah meracuninya,” kata José María Gutiérrez, profesor emeritus Instituto Clodomiro Picado Universitas Kosta Rika, yang terlibat dalam kajian.
Sekalipun antibodi tidak dapat mencegah kematian akibat racun mamba hitam, kelangsungan hidup dapat diperpanjang beberapa jam. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi memberikan netralisasi parsial racun. ”Ini adalah hasil yang luar biasa,” kata Andreas Hougaard Laustsen-Kiel.
”Antibodi yang kami gunakan bekerja melawan neurotoksin berbeda yang berasal dari spesies ular berbeda dari berbagai belahan dunia. Racun ini jauh dari identik, tetapi memiliki beberapa kesamaan penting dalam strukturnya,” katanya.
Para peneliti mengharapkan antibodi 2554_01_D11 akan sangat membantu saat merancang terapi melawan bisa atau racun di masa depan. Namun, pada saat yang sama, mereka menekankan bahwa jalur penemuan mereka dapat berguna dalam mengembangkan antibodi penawar luas lainnya terhadap racun dari hewan lain, bakteri, virus, dan parasit atau bahkan dalam mengembangkan terapi kanker.