Jumlah penduduk lanjut usia dan penderita penyakit neurodegeneratif terus meningkat. Namun, penyakit yang muncul akibat penuaan itu belum bisa disembuhkan. Karena itu, riset dan terapi yang baik perlu terus dikembangkan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Meningkatnya usia harapan hidup manusia adalah bukti keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesehatan. Namun, usia yang panjang nyatanya juga meningkatkan risiko munculnya berbagai penyakit neurodegeneratif. Penyakit otak yang banyak dialami warga lanjut usia itu hingga kini belum ada obatnya hingga memberi beban balik bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Setelah tahun lalu divonis menderita afasia, kerusakan otak yang memicu penurunan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan, kini aktor Bruce Willis (67) didiagnosis mengalami demensia frontotemporal (FTD). Kesulitannya dalam memahami dan memproduksi kata-kata itu, seperti dikutip dari Livescience, 16 Februari 2023, ternyata hanya gejala awal dari FTD.
FTD adalah bentuk paling umum dari demensia yang banyak ditemukan pada orang berumur kurang dari 60 tahun, meski bisa juga dialami orang dengan umur lebih dari itu. Prevalensi penderita penyakit ini sulit dipastikan karena gejalanya menurut University of California San Francisco (UCSF) Health Amerika Serikat sering tersamar dengan gejala depresi, skizofrenia, atau alzheimer.
Gejala awal FTD ditandai dengan perubahan kepribadian dan suasana hati, menarik diri dari lingkungan, muncul perilaku obsesif, dan kesulitan berbahasa. Semakin lama, gejala penyakit berkembang hingga memicu gangguan memori dan hilang ingatan seperti penyakit alzheimer. Pada tahap lanjut, penderita bisa mengalami penyakit sklerosis lateral amiotrofik (ALS) atau pelemahan otot hingga membuat mereka sulit bergerak, menelan, berbicara, dan bahkan bernapas.
Alzheimer, parkinson, dan ALS adalah sebagian dari banyak penyakit neurodegeneratif yang dipicu oleh kerusakan dan kematian sel-sel otak hingga memicu berbagai gangguan fungsi tubuh. Gangguan ini umumnya dialami warga lanjut usia berumur lebih dari 60 tahun. Karakter utama penyakit ini adalah makin memburuk seiring bertambahnya waktu karena penyakit tersebut belum bisa diobati.
Meski umumnya dialami warga senior, sejumlah penyakit degeneratif bisa dialami anak-anak dan biasanya disebabkan oleh persoalan genetika atau turunan. Adapun gangguan degeneratif pada warga lanjut usia terjadi karena penurunan fungsi tubuh seiring bertambahnya usia atau proses penuaan.
Repotnya, sebagian besar penyakit neurodegeneratif itu memicu disabilitas penderitanya hingga mereka sangat bergantung pada orang di sekitarnya untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti makan, buang air, mandi atau bangun dari tempat tidur. Akibatnya, penyakit ini tidak hanya berdampak pada penderitanya, tetapi juga keluarga, masyarakat sekitar, hingga beban pembiayaan kesehatan negara.
Penyakit neurodegeneratif telah jadi ancaman negara-negara maju dengan usia harapan hidup lebih dari 80 tahun. Di negara-negara berpendapatan menengah bawah, jumlah penderita penyakit ini akan meningkat seiring pergeseran struktur penduduk dan meningkatnya ekonomi masyarakat.
Meski penyebab kematian terbesar warga lansia masih didominasi penyakit kardiovaskular dan kanker, G7 Academies’ Joint Statements, 2017 menyebut alzheimer, parkinson, ALS, dan sejumlah penyakit neurodegeneratif lain masuk 10 besar penyakit yang berakhir dengan kematian dan tidak bisa disembuhkan. Terapi yang dilakukan hanya bisa menahan perburukan kondisi dan mempertahankan kualitas hidup penderitanya.
Di Indonesia, penanganan penyakit neurodegeneratif menghadapi tantangan berbeda. Bukan hanya isu penyakit neurodegeneratif kurang teperhatikan, tetapi juga adanya anggapan bahwa demensia itu adalah hal yang wajar seiring datangnya proses penuaan.
Alzheimer merupakan penyakit paling umum yang memicu demensia, yaitu kerusakan otak yang memicu hilangnya memori, kesulitan berpikir dan memecahkan masalah, hingga berbahasa. Alzheimer’s Association pada 2015 menengarai sepertiga hingga separuh penduduk berusia lebih dari 85 tahun mengalami alzheimer atau setara 40 juta orang di seluruh dunia. Penderita alzheimer diperkirakan mencapai 135 juta orang pada 2050 dan beban ekonominya di AS saja ditaksir mencapai 1 triliun dollar AS per tahun atau setara Rp 15.000 triliun dengan kurs saat ini.
Sementara untuk demensia yang dalam masyarakat Indonesia sering disederhanakan penyebutannya dengan pikun, pada 20 September 2022 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 55 juta orang di dunia yang mengalaminya dan 60 persennya tinggal di negara-negara berpendapatan menengah bawah. Jumlah penderita demensia akan naik jadi 139 juta pada 2050. Kondisi itu akan makin membebani negara-negara dengan akses layanan kesehatan yang terbatas.
Populasi menua
Sejak 2022, Indonesia telah menjadi negara dengan populasi yang menua dengan 1 dari 10 penduduknya adalah warga lansia berumur lebih dari 60 tahun. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2022, ada 27 juta jiwa lansia pada 2020 dan akan naik menjadi 40 juta orang lansia pada 2035.
Terus bertambahnya jumlah penduduk lansia akan meningkatkan prevalensi dan jumlah penduduk yang menderita penyakit neurodegeneratif. Meski tantangan yang dihadapi berat, nyatanya riset untuk menekan laju penurunan fungsi otak pada lansia itu sangat terbatas dan berjalan lambat.
Saat ini, riset tentang penyakit neurodegeneratif difokuskan untuk lebih memahami penyebab, mekanisme, dan perkembangan penyakit-penyakit yang mengikis kemandirian hidup penderitanya. Meski secara klinis berbeda, penyakit neuodegeneratif memiliki beberapa kesamaan dasar, yaitu adanya sel abnormal yang mengandung kumpulan protein rusak di bagian otak, sumsum tulang belakang, atau jaringan saraf tepi.
Proses vaskular dan peradangan berperan besar pada perkembangan penyakit neurodegeneratif. Namun, penemuan protein rusak itu kemungkinan merupakan mekanisme molekuler yang menyatukan penyakit-penyakit neurodegeneratif. Temuan itu juga bisa menjadi strategi penting untuk menemukan metode dan obat untuk mencegah atau mengganggu pembentukan dan akumulasi protein rusak tersebut.
Di sisi lain, riset molekuler terkait penyakit neurodegeneratif itu perlu dilakukan secara luas mengingat belum ada obat yang bisa mengobatinya dan semua negara akan menghadapi masalah tersebut. Namun, keterlibatan industri dalam riset untuk mengobati atau menahan perkembangan penyakit neurodegeneratif itu juga sangat terbatas.
Karena itu, negara-negara G7 yang beranggotakan AS, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Jepang yang kini berhadapan dengan persoalan penuaan itu menggalang pendanaan publik untuk mendorong komitmen politik global agar lebih peduli dengan masalah lansia.
Selain perawatan medis, bantuan sosial bagi penderita dan keluarganya juga penting untuk menunjang keberhasilan perawatan dan peningkatan kualitas hidup penderita. Namun, layanan ini jelas akan membebani keuangan negara.
Untuk itu, edukasi gaya hidup sehat perlu lebih kuat digaungkan. Sejak usia muda, masyarakat harus dilatih untuk memiliki pola makan, latihan fisik, stimulasi kognitif hingga pengendalian hipertensi dan obesitas yang baik. Gaya hidup sehat akan meningkatkan kesehatan kognitif masyarakat sehingga hadirnya penyakit neurodegeneratif bisa ditahan atau diundur karena menunda munculnya demensia 5 tahun saja bisa mengurangi beban penyakit alzheimer hingga 50 persen.
Hal lain yang penting dilakukan adalah deteksi dini penyakit neurodegeneratif. Terlebih, WHO menyebut 9 persen kasus demensia terjadi pada usia kurang dari 65 tahun. Deteksi dini ini masih menjadi persoalan di negara-negara berkembang yang fasilitas kesehatannya belum memadai. Padahal, semakin awal ditemukan, progesivitas penyakit ini bisa ditahan dan kualitas hidup terbaik penderitanya bisa dipertahankan.
Di Indonesia, penanganan penyakit neurodegeneratif menghadapi tantangan berbeda. Bukan hanya isu penyakit neurodegeneratif kurang teperhatikan, melainkan juga adanya anggapan bahwa demensia itu adalah hal yang wajar seiring datangnya proses penuaan.
Normalisasi kepikunan itu ujungnya justru menimbulkan perilaku-perilaku yang mendehumanisasi warga lansia akibat ketidaktahuan masyarakat bahwa demensia adalah penyakit. Meski belum bisa disembuhkan, penyakit ini bisa ditahan kemunculannya. Deteksi dini dan perawatan yang baik juga akan menjaga kualitas hidup penderitanya tetap baik di akhir kehidupannya.