Guru seharusnya menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Namun, sejumlah guru justru melakukan perbuatan bejat kepada siswanya. Hukumannya harus diperberat karena pelaku adalah seorang pendidik.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
ERIKA KURNIA
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (kanan) didampingi Kapolres Metro Kota Depok Komisaris Besar Imran Edwin Siregar (kiri) menginterogasi A (49), pelaku kekerasan seksual terhadap anak kandungnya, DN (11), di Kantor Polres Metro Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (1/3/2022).
Kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi. Seolah kini tidak ada lagi tempat aman bagi anak-anak. Kekerasan seksual bisa saja terjadi di mana saja, baik di dalam maupun di luar rumah. Sekolah yang menjadi ruang bagi anak mendapatkan bekal ajaran dan pendidikan pun tak luput dari ancaman kekerasan seksual.
Sejumlah pelaku kekerasan seksual justru adalah guru. Sosok yang harusnya menjadi pendidik dan mengajarkan anak-anak berperilaku baik malah menjadi pelaku yang menghancurkan masa depan anak-anak didiknya.
Sepekan terakhir, publik dibuat prihatin, menyusul terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual di sekolah. Di Bengkulu, misalnya. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengecam keras kekerasan seksual yang dilakukan Kepala SMP di Rejang Lebong, IM (56), terhadap DPS (15), salah satu siswi SMP dari sekolah lain.
Bersetubuh dengan anak di bawah umur tidak ada istilah suka sama suka atau atas persetujuan. Bersetubuh dengan anak adalah pelanggaran UU Perlindungan Anak karena masuk delik pidana.
Bahkan, IM diduga melakukan persetubuhan dengan anak korban sebanyak dua kali di ruang kerjanya. Kasus tersebut terbongkar setelah orangtua korban mencurigai percakapan telepon antara anak korban dan pelaku. Ketika telepon genggam sang anak diperiksa orangtua, ditemukan percakapan tidak senonoh pelaku dan korban. Kepada orangtuanya, korban kemudian mengaku sudah disetubuhi oleh pelaku.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
BA (42), pelaku tindak pelecehan seksual terhadap anak, berjalan keluar gedung Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Orangtua korban langsung melaporkan oknum kepala sekolah tersebut ke Kepolisian Resor Rejang Lebong. Polisi telah memeriksa pelaku dan menyita barang bukti serta menetapkan IM sebagai tersangka.
Atas peristiwa tersebut, FSGI mengapresiasi sikap orangtua yang memiliki kepekaan dan segera melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. ”Tindakan (orangtua) seperti ini amat sangat patut dicontoh oleh para orangtua lain yang anaknya juga jadi korban kekerasan seksual,” kata Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI, dalam keterangan pers, Senin (20/2/2023).
Retno mengatakan, FSGI meminta agar kasus tersebut harus diproses hukum. Sebab, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak jelas dinyatakan bahwa bersetubuh dengan anak adalah tindak pidana.
”Bersetubuh dengan anak di bawah umur tidak ada istilah suka sama suka atau atas persetujuan. Bersetubuh dengan anak adalah pelanggaran UU Perlindungan Anak karena masuk delik pidana,” kata Retno.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Orangtua mengantar anak mereka hingga ke gerbang sekolah di SD Negeri Joglo 05, Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (31/1/2023).
Perbuatan kepala sekolah menyetubuhi anak didik di bawah umur atau belum berumur 18 tahun memenuhi kriteria untuk proses hukum, dengan delik kejahatan kekerasan seksual, walau anak menghendakinya. Hal ini seperti diatur dalam UU No 12/2022 Pasal 6 huruf c dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Selain mengapresiasi orangtua korban, Sekjen FSGI Heru Purnomo menyatakan, pihaknya juga mengapresiasi Polres Rejang Lebong. Kepolisian setempat dinilai telah bertindak cepat setelah menerima laporan orangtua korban.
FSGI juga mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) setempat segera memulihkan psikologi korban. Tak hanya itu, pendidikan anak korban tidak boleh terabaikan. Dinas Pendidikan Kabupaten Rejong Lebong pun agar memastikan anak korban tidak dikeluarkan dari sekolahnya.
Hak atas pendidikan anak korban tetap wajib dipenuhi oleh pemerintah/negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan Anak, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Kasus di Minahasa Selatan
Di Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara, Kementerian PPPA kini tengah mengawal kasus pencabulan terhadap 19 pelajar laki-laki yang dilakukan guru di daerah tersebut. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar menyatakan, kasus pencabulan oleh guru di Minsel dilakukan di sekolah dan di rumah pelaku dengan modus menahan korban saat pulang sekolah dan mengajak korban bermain gim video.
Pelaku memegang alat kelamin korban, hingga melakukan sodomi kepada tiga korban. Selain itu, pelaku juga mengancam korban tidak akan memberikan nilai bagus jika korban tidak mengikuti kemauannya. Beberapa anak mengaku mendapat kekerasan seksual lebih dari sekali.
Nahar menegaskan, pemerintah tidak akan menoleransi segala bentuk kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan. ”Kami mengecam segala bentuk kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan. Kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru kepada 19 murid menimbulkan trauma yang mendalam dan menyakiti perasaan keluarga korban,” ujarnya.
Saat ini, Kementerian PPPA terus mengawal kasus tersebut. Hal ini untuk memastikan perlindungan serta pemenuhan hak dan keadilan bagi korban terpenuhi, serta memberikan efek jera bagi pelaku melalui sanksi hukum yang tegas. Melalui Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) pada Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) berkoordinasi dengan Dinas PPPA MiInsel.
Nahar menyampaikan, jika terbukti melakukan tindak kekerasan seksual, khususnya pencabulan terhadap anak, sesuai Pasal 82 Ayat (1), (2), dan (4) UU No 17/2016 tentang Penetapan Perpu No 1/2016 Perubahan Kedua UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pelakunya dapat dikenai sanksi pidana maksimal 15 tahun penjara dan dapat diperberat sepertiga dari ancaman pidananya karena terduga pelaku adalah seorang pendidik, dan korbannya lebih dari seorang.
Begitu juga dalam kasus di Rejang Lebong, Nahar meminta kepolisian menggunakan UU No 17/2016 khususnya pasal 81 dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun dan dengan pemberatan karena terduga pelaku adalah pendidik.
Kekerasan seksual terhadap anak harus dihentikan karena dampaknya sangat besar bagi tumbuh kembang anak. Ika Putri Dewi, psikolog anak dan remaja di Yayasan Pulih, dalam beberapa kesempatan mengungkapkan dampak secara psikologis yang dialami anak laki-laki tidak jauh berbeda dengan ketika perempuan yang menjadi korban.
Peristiwa kekerasan terutama kekerasan seksual atau perundungan merupakan peristiwa yang bersifat traumatis. Hal ini tentu akan menimbulkan respons traumatis bagi korban yang mengalaminya, siapa pun korban, baik laki-laki maupun perempuan. Respons traumatis mulai dari perasaan sedih, takut, cemas, hingga rasa tidak aman yang dirasakan secara kuat bagi korban yang mengalaminya.
Jika tidak dikelola, dampak psikologis bagi para korban kekerasan akan lebih serius dan dapat memengaruhi self esteem, penilaian korban akan dirinya. Perasaan sedih yang mendalam, ketakutan yang kuat, kecemasan yang kuat, serta tidak merasa aman, kemarahan yang kuat juga akan menjadi bagian yang dirasakan korban.
Jika berlanjut mengarah pada gangguan psikologis yang lebih serius , post-traumatic stress disorder (PSTD), complex-PTSD, gangguan kecemasan, depresi, hingga keinginan bunuh diri.
Dampak lain berupa gangguan fungsi aktivitas keseharian, prestasi kerja, sekolah, makan, tidur, relasi dengan orang lain, serta kecenderungan untuk kemungkinan mengarahkan kemarahannya pada subyek atau obyek yang tidak tepat/yang dianggap lebih lemah darinya.
Karena itulah, melawan kekerasan seksual di semua ranah kehidupan harus dilakukan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Bahkan, semua, terutama para pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, agama, dan sosial, harus berperan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Bukan, malah menjadi pelakunya.