Pemanasan Global Membuat Nyamuk Menyebar ke Daerah Lebih Tinggi
Pemanasan global telah membantu memperluas penyebaran nyamuk yang membawa berbagai penyakit menular.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas Puskesmas Pasar Minggu melakukan pengasapan di kawasan perumahan mewah di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (9/4/2022). Pengasapan tersebut dilakukan untuk pengendalian kasus setelah ditemukan penderita DBD atas laporan warga.
JAKARTA, KOMPAS — Pemanasan global telah membantu memperluas penyebaran nyamuk yang membawa berbagai penyakit menular. Penelitian terbaru di Afrika menunjukkan, populasi nyamuk Anopheles yang menyebarkan malaria telah bermigrasi ke daerah tinggi. Temuan ini memperkuat fenomena meluasnya sebaran demam dengue yang dibawa nyamuk Aedes ke daerah lebih tinggi di Indonesia.
Penelitian yang dipublikasikan di Biology Letters pada Rabu (15/2/2023) ini menunjukkan, populasi Anopheles bertambah ke area dengan ketinggian rata-rata 6,5 meter per tahun dan perluasan jangkauan ke selatan khatulistiwa sejauh 4,7 kilometer per tahun. Temuan didapatkan dari analisis data selama 120 tahun oleh para ilmuwan di Pusat Medis Universitas Georgetown yang menemukan bahwa nyamuk pembawa parasit malaria ini menyebar lebih dalam ke Afrika bagian selatan dan ke tempat lebih tinggi daripada yang tercatat sebelumnya.
”Perubahan iklim membantu spesies (nyamuk) mencapai bagian benua yang lebih dingin,” kata Colin Carlson, asisten profesor riset di Pusat Ilmu Pengetahuan dan Keamanan Kesehatan Global di Pusat Medis Universitas Georgetown dan penulis utama studi ini, dalam keterangan tertulis.
Menurut Carlson, jika nyamuk menyebar ke daerah-daerah baru untuk pertama kalinya, maka hal ini membantu menjelaskan beberapa perubahan baru dalam penularan malaria yang sulit dilacak kembali.
Nyamuk memiliki kemampuan adaptasi tinggi. Perubahan pola iklim akan mengubah sebaran vektor di daerah tersebut.
Kondisi suhu di Bumi saat ini rata-rata 1,2 derajat celsius lebih hangat daripada periode pra-industri, sekitar tahun 1850. Hal ini menyebabkan risiko penyebaran nyamuk yang sangat tergantung pada suhu dan telah meningkat ke daerah yang sebelumnya dianggap tidak berisiko.
Dalam kajian ini, para peneliti berfokus pada nyamuk dalam genus Anopheles karena kemampuannya menyebarkan malaria dan karena kumpulan data sejarah unik yang melacak pergerakan mereka. Carlson mencatat bahwa spesies lain mungkin bergerak dengan cara yang sama, tetapi upaya penelitian di masa depan harus memahami apa yang terjadi di wilayah berbeda atau dengan penyakit berbeda untuk mendapatkan gambaran paling komprehensif.
”Kita cenderung berasumsi bahwa perubahan ini terjadi di sekitar kita, tetapi basis buktinya cukup terbatas. Jika kita menata ulang bio-surveilans untuk kehidupan di planet yang lebih panas, sebagian besar dari itu harus mengawasi pergerakan hewan,” kata Carlson.
Carlson mencatat bahwa timnya telah belajar banyak tentang perubahan keanekaragaman hayati jangka panjang berkat catatan sejarah kesehatan masyarakat yang mendalam. ”Kami hanya tahu sedikit tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi keanekaragaman hayati invertebrata. Kesehatan masyarakat memberi kita jendela langka tentang bagaimana beberapa serangga dapat berkembang biak dalam iklim yang berubah—bahkan jika itu adalah berita buruk bagi manusia,” paparnya.
Petugas dari Pusat Pengendalian Malaria Mimika menyemprotkan obat insektisida dalam program indoor residual spraying (IRS), Kamis (28/2/2019), di Jalan A Yani, Timika, Papua. IRS dilakukan enam bulan sekali untuk memutus rantai penularan malaria oleh nyamuk Anopheles betina yang biasa beraktivitas pada malam hari, yaitu pukul 18.00 hingga 06.00.
Penyebaran DBD
Temuan mengenai meluasnya penyebaran nyamuk malaria di Afrika ini juga terjadi dengan nyamuk lain, termasuk di Indonesia. Kajian Sukmal Fahri di jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases (2013) menemukan keberadaan virus dengue pemicu DBD di dataran tinggi Jawa Tengah dengan ketinggian 1.001 meter dari permukaan laut.
Nyamuk memiliki kemampuan adaptasi tinggi. Perubahan pola iklim akan mengubah sebaran vektor di daerah tersebut. Sebaran vektor nyamuk secara global meluas. Namun, komposisi vektor di daerah tropis yang makin panas berubah.
Beberapa kajian lain yang juga mengaitkan perubahan pola penyakit ditularkan nyamuk dengan fenomena cuaca seperti La Nina dan El Nino. Dari studi di Provinsi Guandong, China, oleh J Fan (2014), misalnya, ditemukan kaitan antara El Nino dan transmisi DBD. Kajian Chen (2010) mendapati peningkatan kelembaban udara di Kaoshiung, Taiwan, disebabkan El Nino pada 2005, memicu pembiakan nyamuk lebih cepat.