Perguruan Tinggi Optimalkan SDM untuk Manfaatkan Bonus Demografi
Perguruan tinggi merupakan institusi penting untuk menyiapkan SDM unggul guna mengoptimalkan bonus demografi Indonesia. Persoalan akses, kualitas, dan relevansi harus ditingkatkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
KOMPS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Ilustrasi. Mahasiswa Unika Atma Jaya memperagakan kuliah dengan memanfaatkan teknologi metaverse.
JAKARTA, KOMPAS — Bonus demografi Indonesia sudah mulai berjalan, tetapi penyiapan sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi, masih belum optimal. Meskipun jumlah perguruan tinggi di Indonesia dinilai memadai, persoalan akses, kualitas, dan relevansi perguruan tinggi masih membutuhkan penyelesaian serius.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam mengatakan, akses ke perguruan tinggi, yang dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) usia 19-24 tahun, pada 2022 mencapai 39,37 persen. Pencapaian ini sudah melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 sekitar 37 persen.
”Namun, untuk pengembangan SDM unggul, akses itu juga harus beriringan dengan kualitas dan relevansi. Sebab, jumlah PT yang banyak tidak serta-merta meningkatkan SDM jika tidak berkualitas dan tidak relevan. Di Indonesia, untuk pendidikan tinggi masih berat karena anggarannya masih jauh dari memadai, baik untuk mendukung PTN maupun PTS,” ujar Nizam dalam rapat dengar pendapat Panitia Kerja Perguruan Tinggi Komisi X DPR di Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Dari sisi kuantitas masih ada penyerapan yang belum sempurna dari lulusan perguruan tinggi.
Di bawah pembinaan Kemendikbudristek, sebanyak 125 perguruan tinggi negeri (PTN) menampung 3,379 juta mahasiswa. Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) yang berjumlah 2.982 institusi memiliki 4,495 juta mahasiswa.
Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, daya tampung PTN yang hampir menyaingi jumlah mahasiswa di PTS ini sempat dikeluhkan. Ada tudingan penerimaan mahasiswa baru PTN membuat jumlah mahasiswa di PTN semakin besar yang mengakibatkan PTS semakin kekurangan mahasiswa.
”Kami di Komisi X DPR terus mendorong komitmen pemerintah untuk menguatkan pendidikan tinggi. Berbagai stakeholder (pemangku kepentingan) dimintai masukan agar kami dapat merumuskan masukan yang dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah,” kata Dede.
Terkait akses kuliah, Nizam memaparkan masih ada kesenjangan, bahkan di Pulau Jawa. Sebagai contoh, Jawa Barat hampir 23 persen dan Jawa Tengah sekitar 25 persen, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 199 persen, Banten 133 persen, dan DKI Jakarta 91 persen. Akses kuliah terendah terdapat di Bangka Belitung sekitar 14,7 persen dan Kalimantan Tengah sekitar 20 persen.
Dari segi akreditasi, PTN yang masuk kategori unggul 34 persen dan yang baik sekali 48 persen. Di PTS baru 2 persen yang berakreditasi unggul, baik sekali 23 persen, baik 36 persen, dan belum terakreditasi 40 persen.
”Program-program yang disediakan Diktiristek ini terbuka untuk PTN maupun PTS secara kompetitif. Sebenarnya bantuan pemerintah untuk PTS tetap ada. Namun, kami berharap agar yayasan PTS mampu menyediakan dana abadi di luar dari pendapatan dari mahasiswa dan pemerintah untuk pengembangan kampusnya,” ujar Nizam.
Dari sisi kepesertaan mahasiswa Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di program unggulan Kemendikbudristek, jumlah mahasiswa PTS sebanyak 44,51 persen. Pembiayaan MBKM 2022 sebanyak 36 persen PTS dan 64 persen PTN. Dari bantuan pemerintah di Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, justru kucuran ke PTS mencapai 63 persen.
Masalah relevansi
Dari sisi relevansi, ujar Nizam, masih ada keluhan dari dunia kerja tentang lulusan PT yang tidak siap kerja. Lewat terobosan MBKM, mahasiswa diberi peluang untuk meningkatkan kompetensinya sesuai passion dan aspirasi tentang masa depannya. Hal ini dilakukan dengan memberi mahasiswa hak belajar di luar kampus/prodi selama tiga semester.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati mengatakan, tantangan bonus demografi harus mampu dicarikan solusi lewat peningkatan SDM unggul. Dari 72,72 persen penduduk usia produktif di Indonesia, hanya 13 persen yang mengenyam pendidikan tinggi. Ada tantangan tingkat pengangguran, berdasar data Sakernas Agustus 2022 sebanyak 8,42 juta pengangguran.
Setiap tahun ada 1,65 juta lulusan perguruan tinggi. Setiap tahun pula ada 1,8 juta lulusan SMA/SMK sederajat. Artinya, ada sekitar 3,45 juta pencari kerja setiap tahun.
Menurut Kiki, penguatan pendidikan tinggi vokasi menjadi penting. Namun, jumlah mahasiswanya baru hampir 15 persen dari total mahasiswa. Peningkatan mutu penyelenggara pendidikan vokasi juga masih menghadapi tantangan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Instruktur memberikan arahan kepada peserta praktik kerja lapangan dari sejumlah SMK di pabrik PT Akebono Brake Astra Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (6/2/2023).
Secara terpisah, Sabda PS, perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan, dari sisi kuantitas masih ada penyerapan yang belum sempurna dari lulusan perguruan tinggi. Dari sisi kualitas, ada 87 persen mahasiswa yang merasa salah jurusan dan 72 persen pekerja tidak sesuai dengan jurusan. Bahkan, 52 persen yang bekerja dinilai underqualified. Hal ini membuat tingkat kepuasan industri masih rendah.
Menurut Sabda, mismatch yang terjadi dari lulusan PT bukan sekadar kompetensi teknis, melainkan kekurangan softskill atau fundamental skills. Karena itu, perlu penetapan standar bersama antara perguruan tinggi dan industri untuk menunjang keterserapan tenaga kerja.
Pembelajaran di perguruan tinggi, lanjut Sabda, perlu memastikan beberapa standar yang ditetapkan, yakni foundational skill (cara berpikir) dan soft skill (keterampilan personal dan interpersonal serta kemampuan belajar dan beradaptasi). Selain itu, specific skill (keterampilan tertentu/teknis yang berkaitan dengan suatu bidang ilmu) dan multidiciplinaryskill (kemampuan penguasaan beberapa bidang untuk ilmu/keterampilan memperkaya konteks).