Bagaimana jika Otak Tikus dan Otak Manusia Disatukan?
Organoid otak manusia yang ditumbuhkan dari sel punca berhasil dicangkokkan ke otak tikus. Hasilnya, otak tikus yang cedera bisa dikembalikan fungsinya. Namun, proses ini masih jauh untuk bisa diterapkan pada manusia.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Ilmuwan berhasil mentransplantasikan atau mencangkokkan organoid otak manusia ke otak tikus yang mengalami cedera hingga menganggu sistem pemrosesan visual mereka. Hasilnya, organoid otak manusia bisa tumbuh dan menciptakan koneksi dengan sel-sel otak tikus. Jika sukses, metode ini ke depan diharapkan bisa membantu memperbaiki kerusakan otak pada manusia.
Hingga kini, transplantasi atau cangkok otak belum bisa dilakukan baik akibat kendala teknis maupun persoalan etis. Namun, sejumlah ilmuwan mencoba mengatasi itu dengan menggunakan organoid alias miniatur otak manusia yang ditumbuhkan di laboratorium. Otak manusia yang ”dibudidayakan” dari sel punca itulah yang digunakan untuk riset ataupun dicangkokkan ke makhluk hidup lain.
Penggunaan organoid untuk menambal otak tikus yang cedera itu merupakan strategi baru untuk memperbaiki otak manusia. Meski penerapan cangkok organoid otak ini pada manusia masih butuh waktu panjang, hal ini memberi harapan untuk mengurangi dampak penyakit akibat kerusakan otak.
”Organoid (otak manusia) dapat digunakan untuk memulihkan fungsi otak setelah cedera traumatis, operasi invasif, stroke, hingga membantu memerangi efek penyakit neurodegeneratif, seperti parkinson,” kata asisten profesor bedah saraf di Sekolah Kedokteran Perelman, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Han-Chiao Isaac Chen, kepada Livescience, Kamis (2/2/2023).
Meski memiliki banyak kesamaan, organoid yang terbentuk di laboratorium itu sama sekali tidak sesempurna korteks serebral asli yang ada di otak manusia.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Cell Stem Cell, 2 Februari 2023, peneliti menggunakan organoid otak manusia itu untuk menambal otak tikus yang cedera, yaitu bagian otak yang terlibat dalam sistem pemrosesan visual tikus. Kerusakan otak tikus itu terjadi pada bagian korteks visual sehingga penglihatan tikus terganggu.
Saat cahaya mengenai retina di mata, maka sebuah pesan elektrik akan masuk ke bagian otak yang bernama korteks visual ”primer”. Otak bagian ini akan mulai mengatur fitur dasar apa yang memantulkan cahaya ke retina mata tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh akan diteruskan ke korteks visual ”sekunder” untuk proses analisis lebih lanjut informasi yang diterima.
Pada uji ini, kerusakan parah otak tikus dewasa itu terjadi bagian korteks visual sekunder hingga menimbulkan lubang besar. Lubang itu kemudian ditambal menggunakan organoid otak manusia. Dibanding studi sebelumnya, proses ini mengambil langkah maju karena pencangkokan organoid otak manusia dilakukan pada tikus yang lebih tua dan otaknya terluka.
”Transplantasi otak tikus sebelumnya dilakukan ilmuwan dengan mencangkokkan sel-sel individual otak ke otak hewan pengerat yang sehat dari berbagai usia serta mencangkokkan organoid (otak manusia) ke otak hewan pengerat yang sangat muda dan tidak terluka,” katanya.
Dalam studi ini, organoid otak yang digunakan ditumbuhkan dari sejenis sel punca manusia yang bisa menumbuhkan berbagai jenis sel. Peneliti menggunakan penanda kimia tertentu untuk membuat sel punca tersebut menghasilkan sel seperti yang ada pada korteks serebral, lapisan luar otak yang berkerut pada otak manusia, dalam jumlah banyak. Korteks serebral itu memiliki enam lapisan jaringan yang berbeda.
”Struktur ini sangat penting karena akan menentukan bagaimana organoid otak itu benar-benar berfungsi,” kata Chen.
Setelah 80 hari, organoid itu tumbuh menggumpal secara tiga dimensi dan mirip dengan jaringan korteks serebral yang ada di otak manusia. Meski memiliki banyak kesamaan, organoid yang terbentuk di laboratorium itu sama sekali tidak sesempurna korteks serebral asli yang ada di otak manusia.
Dengan diperolehnya organoid korteks serebral, langkah selanjutnya adalah mencangkokkan organoid otak manusia itu ke otak tikus. Untuk proses ini, peneliti sengaja mengeluarkan sebagian otak tikus yang terlibat dalam sistem pemrosesan visual, menambalnya dengan organoid otak manusia, dan kemudian menutupnya dengan pelindung khusus.
Untuk menghindarkan dari penolakan tubuh tikus atas kehadiran bagian organ baru tersebut, peneliti memberikan obat penekan sistem kekebalan tubuh pada tikus sepanjang dan sesudah prosedur operasi dilakukan.
Hasilnya, pada tiga bulan setelah pencangkokan, pembuluh darah dari otak tikus menyusup ke organoid otak manusia. Kondisi itu membuat sel-sel organoid otak manusia akhirnya saling terjalin dan menyatu dengan sistem pemrosesan visual otak tikus yang tersisa hingga terkoneksi dengan retina yang ada di bola mata tikus. Namun, pembentukan sel-sel baru dan perluasan jaringan saraf itu membuat organoid tumbuh lebih besar dibanding otak tikus di sekitarnya.
Saat mata tikus diberi rangsangan visual, berupa cahaya lampu yang berkedip serta garis hitam-putih pada layar, organoid yang dicangkokkan di otak tikus mampu merespons stimulus visual tersebut. Kondisi ini menunjukkan organoid korteks visual dari otak manusia bisa berfungsi sebagaimana seharusnya.
Kini, peneliti sedang melakukan uji penglihatan atau uji perilaku tikus untuk menilai sejauh apa kemampuan tikus dalam menghadapi perubahan di tubuhnya setelah mengalami cedera dan sesudah menjalani proses cangkok organoid.
Di masa depan, ilmuwan perlu menguji apakah organoid otak yang sama bisa diintegrasikan dengan bagian otak yang lain, seperti korteks motor yang mengontrol gerakan tubuh serta meneliti faktor-faktor apa yang bisa mengendalikan kecepatan dan pengembangan dari integrasi organoid tersebut.
Selain itu, tim peneliti juga berharap bisa memperbaiki kualitas organoid otak sehingga memiliki tingkat kemiripan dengan otak manusia yang sesungguhnya. ”Kami ingin memiliki organoid yang benar-benar bisa meniru otak manusia yang sebenarnya dengan lebih baik,” kata Chen.
Peningkatan kualitas organoid otak manusia hingga mirip dengan otak asli manusia itu akan memberi manfaat besar bagi manusia masa depan dalam menghadapi ancaman penyakit neurodegeneratif yang meningkat seiring dengan makin menuanya populasi dunia.