Babak Baru Transplantasi Otak
Transplantasi otak sudah dirintis seabad lebih lalu. Hingga kini, perkembangannya jauh tertinggal dibanding cangkok organ lain. Kehadiran sel punca memberi harapan bahwa cangkok organoid otak bisa terwujud di masa depan.
Transplantasi organ manusia sudah berjalan cukup maju. Jantung, lever, wajah, tangan, hingga rahim sudah pernah dipindahkan antartubuh manusia dan organ yang dicangkokkan berfungsi dengan baik. Namun, transplantasi otak sepertinya masih jauh dari harapan meski beberapa kemajuan telah berhasil dicapai, termasuk cangkok organoid otak manusia.
Populasi dunia makin menua. Keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial telah meningkatkan usia harapan hidup manusia di semua negara. Di satu sisi, panjangnya usia hidup menunjukkan kemampuan manusia bertahan mengatasi tantangan zaman. Namun, seiring menurunnya fungsi organ manusia, umur panjang juga meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan neurodegeneratif.
Salah satu cara yang dianggap bisa mengatasi berbagai penyakit neurodegeneratif dan menyelamatkan nyawa manusia, baik akibat cedera traumatis, stroke, maupun parkinson (kehilangan kontrol gerakan dan keseimbangan tubuh), adalah cangkok otak. Meski secara teoretis memungkinkan untuk dilakukan, cangkok otak memiliki lebih banyak tantangan hingga perkembangannya tertinggal dibandingkan cangkok organ lain.
Otak adalah organ lunak, licin, dan rapuh sehingga mudah rusak saat dikeluarkan dari satu tengkorak dan dimasukkan ke tengkorak lain. Mencangkokkan otak sebagai organ tunggal juga membutuhkan penyambungan kembali dengan sumsum tulang belakang dan banyak saraf sehingga kesulitan dan risikonya pun sangat besar dan kompleks.
Kalaupun berbagai kendala teknis cangkok otak, kepala, atau tubuh bagian atas itu bisa diatasi, ada masalah etika yang harus dijawab.
Karena itu, hingga kini cangkok otak sebagai organ tunggal belum pernah dilakukan pada hewan, apalagi manusia. Cangkok otak yang dilakukan pada binatang selama ini, seperti dikutip dari Livescience, 7 November 2022, sejatinya adalah transplantasi kepala atau tubuh bagian atas.
Sejarah mencatat, orang pertama yang mentransplantasikan kepala binatang adalah ahli fisiologi Alexis Carrel (Perancis) dan Charles Guthrie (Amerika Serikat). Mereka mencangkokkan kepala anjing ke leher anjing yang lain pada 1908. Pencangkokan kepala dengan pembuluh darah dan organ ini menghasilkan anjing berkepala dua, mirip Kerberos, anjing berkepala tiga dalam mitologi Yunani.
Namun, seperti dikutip dari CNS Neuroscience & Therapeutics, Agustus 2015, anjing berkepala dua itu hanya sanggup bertahan hidup beberapa jam. Carrel pun dianugerahi Nobel Kedokteran/Fisiologi pada 1912 atas keberhasilannya menyambungkan kembali pembuluh darah, teknik yang di masa selanjutnya berperan besar dalam transplantasi organ.
Berikutnya, Vladimir Demikhov dari Uni Soviet berhasil menyambungkan tubuh bagian atas anjing ke leher anjing lain pada 1954 dan anjing berkepala dua itu mampu hidup hingga 29 hari. Ada pula ahli bedah saraf AS Robert White yang sukses mencangkokkan kepala monyet rhesus (Macaca mulatta), bukan tubuh bagian atas, ke kepala monyet lain pada 1960-an-1970-an dan membuat monyet berkepala dua itu hidup selama 36 jam.
Baca juga: Transplantasi Organ Hewan pada Manusia Masih Menimbulkan Polemik
Dari sejumlah eksperimen itu, tantangan terbesar pencangkokan kepala adalah terjadinya penolakan imunitas tubuh binatang yang dicangkokkan hingga terputusnya hubungan otak dengan sumsum tulang belakang yang membuat tubuh lumpuh karena otak tidak bisa mengirimkan pesan ke tubuh.
Persoalan penyambungan sumsum tulang belakang itu juga dihadapi Xiaoping Ren dari Universitas Kedokteran Harbin China yang menyambungkan dua kepala tikus pada 2015. Meski dia sudah mengatur pemotongan sumsum tulang belakang sedemikian rupa hingga tikus tetap bisa bernapas tanpa ventilator selama operasi, fungsi sumsum tulang belakang pascaoperasi tetap tidak bisa pulih.
Jika teknik serupa dilakukan pada manusia, tantangannya akan jauh lebih rumit. Dibanding tikus, otak manusia berukuran lebih besar dan bagian tubuh yang harus dipindahkan jauh lebih kompleks. Cangkok otak manusia juga hanya menoleransi sangat sedikit kesalahan karena sel otak akan mati dalam lima menit setelah kehilangan oksigen.
Kalaupun berbagai kendala teknis cangkok otak, kepala, atau tubuh bagian atas itu bisa diatasi, ada masalah etika yang harus dijawab. Berbagai kesulitan teknis dan lemahnya bukti keberhasilan yang dicapai membuat European Association of Neurosurgical Societies (EANS) pada 2016 menyatakan transplantasi kepala manusia tidak etis.
Sel punca
Di tengah keterbatasan itu, kehadiran pengobatan regeneratif dengan sel punca memberi harapan baru. Peneliti kecerdasan buatan untuk perawatan kesehatan dan bioteknologi Alex Zhavoronkov di Forbes, 22 November 2022, menulis ide dari pengobatan regeneratif adalah daripada memperpanjang umur sel dan organ yang menua dengan terapi farmakologi, lebih baik menggantikannya dengan sel dan organ baru.
Baca juga: Pemanfaatan Terapi Sel Punca Masih Terhambat Standar Pelayanan
Sel punca adalah sel induk yang belum berdiferensiasi dan dapat menjadi semua jenis sel yang ada dalam tubuh. Namun, dengan penanda kimia tertentu, ”budidaya” sel punca di laboratorium itu dapat diarahkan untuk menjadi sel organ yang diinginkan, termasuk otak manusia. Hasil budidaya organ di laboratorium atau organoid itulah yang digunakan atau dicangkokkan ke otak yang cedera atau rusak.
Penggunaan organoid otak manusia untuk dicangkokkan pada otak lain itu salah satunya dilakukan Han-Chiao Isaac Chen, asisten profesor bedah saraf di Sekolah Kedokteran Perelman, Universitas Pennsylvania, AS, dan rekan yang dipublikasikan di jurnal Cell Stem Cell, 2 Februari 2023. Mereka berhasil menambal otak tikus yang cedera dengan organoid otak manusia.
Baca juga: Bagaimana jika Otak Tikus dan Otak Manusia Disatukan?
Dalam uji itu, otak tikus mengalami cedera pada bagian korteks visual sekunder sehingga sistem pemrosesan visual di otak dan penglihatan tikus terganggu. Bagian otak tikus yang rusak itu ditutup dengan organoid yang ditumbuhkan selama 80 hari di laboratorium.
Bekas tambalan itu kemudian ditutup dengan pelindung khusus. Untuk menghindari penolakan tubuh tikus atas kehadiran organ baru, seperti ditulis Livescience, 2 Februari 2023, peneliti memberikan obat penekan sistem kekebalan tubuh tikus sepanjang dan sesudah prosedur operasi dilakukan.
Organoid otak manusia itu memiliki kemiripan dengan korteks serebral di otak manusia yang terdiri atas enam lapisan jaringan berbeda dan berfungsi untuk memproses informasi sensorik dari semua indera. Meski memiliki banyak kesamaan, organoid otak manusia itu sama sekali tidak sesempurna korteks serebral asli yang ada di otak manusia.
Hasilnya, pada tiga bulan setelah pencangkokan, pembuluh darah dari otak tikus menyusup ke organoid otak manusia. Kondisi itu membuat sel-sel organoid akhirnya saling terjalin dan menyatu dengan sistem pemrosesan visual otak tikus yang tersisa dan terkoneksi dengan retina yang ada di bola mata tikus. Namun, pembentukan sel-sel baru dan peluasan jaringan saraf membuat organoid tumbuh lebih besar dibandingkan otak tikus di sekitarnya.
Terkoneksinya retina tikus dengan bagian sistem pemrosesan visual otak tikus membuat tikus mampu menanggapi rangsangan visual yang diberikan pascapencangkokan, baik dengan cahaya lampu yang berkedip maupun garis hitam-putih pada layar. Kondisi itu juga menunjukkan bahwa organoid otak manusia yang dicangkokkan di otak tikus mampu berfungsi sebagaimana seharusnya.
Capaian ini menumbuhkan optimisme bahwa berbagai penyakit neurodegeneratif akibat kerusakan atau gangguan otak manusia ke depan bisa diatasi dengan cangkok organoid. Meski untuk bisa melakukan cangkok organoid otak manusia kepada otak manusia yang lain masih sangat jauh, proses regeneratif ini mampu mengatasi banyak tantangan teknis dan etika transplantasi kepala sebelumnya.
Saat ini, peneliti sedang melakukan uji penglihatan atau tes perilaku tikus untuk menilai sejauh mana kemampuan tikus dalam menghadapi perubahan di tubuhnya setelah mengalami cedera dan sesudah menjalani proses cangkok organoid. Peneliti juga ingin memperbaiki kualitas organoid otak yang ditumbuhkan hingga bisa makin mendekati otak asli manusia.
Baca juga: Deteksi Dini Kelainan Fungsi Otak dengan ”Brain Check Up”
Selain itu, di masa depan, ilmuwan perlu menguji apakah organoid otak yang sama juga bisa diintegrasikan dengan bagian otak yang lain, seperti korteks motor yang mengontrol gerakan tubuh serta meneliti faktor-faktor apa yang bisa mengendalikan kecepatan dan pengembangan dari integrasi organoid tersebut.
Meski proses cangkok otak manusia masih jauh dari sempurna, model pengobatan regeneratif dengan terapi sel punca menjanjikan untuk mengatasi tantangan penuaan manusia. Dengan nalar dan budi yang dimiliknya, manusia bisa mengatasi berbagai tantangan kehidupan sehingga hidup yang dimiliki tidak hanya sekadar berumur panjang, tetapi juga makin sehat dan sejahtera.