Sesekali menanyakan kabar teman, mendengarkan mereka, dan saling berbagi kabar diasosiasikan dengan kebahagiaan. Hal tersebut rupanya membantu seseorang mengelola stres.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tiga mahasiswa berbincang di kampus Universitas Budi Luhur, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Penelitian menemukan bahwa berbincang dengan teman setidaknya sekali dalam sehari berhubungan dengan kebahagiaan. Walau tampak sepele, bertukar kabar dengan teman, bercanda, atau sekadar mengobrol dapat menurunkan tingkat stres.
Penelitian ini dilakukan antara lain oleh profesor di bidang komunikasi dan pertemanan University of Kansas, Amerika Serikat, Jeffrey Hall. Penelitian berjudul ”Quality Conversation Can Increase Daily Well-Being” tersebut dipublikasikan di Sage Journals pada 27 Januari 2023.
Penelitian melibatkan 900 orang dari lima universitas. Perilaku komunikasi mereka dipantau sebelum, saat, dan setelah pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Para responden diminta melakukan satu dari tujuh perilaku komunikasi dalam sehari.
DWI BAYU RADIUS
Warga mengobrol di Jalan Kenari 1, Jakarta, Selasa (27/4/2021).
Ada tujuh perilaku yang diamati peneliti. Ketujuhnya adalah bertukar kabar, melakukan pembicaraan bermakna, bercanda, menunjukkan kepedulian, mendengarkan, memberi pujian tulus, serta menghargai orang lain dan pendapat mereka.
”Penelitian ini adalah upaya mendefinisikan komunikasi berkualitas dalam konteks relasi,” kata Hall seperti dikutip dari laman University of Kansas, Senin (6/2/2023). ”Tipe komunikasi yang kami teliti adalah yang muncul di penelitian sebelumnya untuk membuat orang merasa lebih terikat melalui percakapan,” ujarnya.
Setelah berinteraksi dengan temannya, pada malam harinya, para peserta penelitian diminta melaporkan kondisi mentalnya. Kondisi itu mencakup antara lain perasaan yang mereka alami, stres, kecemasan, kesepian, hingga kualitas hari mereka.
Hasilnya, peserta yang melakukan percakapan berkualitas dengan seseorang mengalami ”hari yang baik”. Percakapan berkualitas yang dilakukan sekali dalam sehari dinilai cukup membuat seseorang bahagia. Jika dilakukan lebih dari sekali, hasilnya pun akan lebih baik lagi.
Semakin Anda mendengarkan teman Anda, menunjukkan kepedulian, meluangkan waktu untuk menghargai pendapat orang lain, maka semakin baik pula perasaan Anda pada akhirnya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa percakapan berkualitas membantu menjaga kesehatan mental seseorang. Hall mengatakan, perspektif atau perasaan terhadap sesuatu dapat diubah melalui komunikasi. Percakapan seperti ini juga membantu seseorang mengelola stres.
”Semakin Anda mendengarkan teman Anda, menunjukkan kepedulian, meluangkan waktu untuk menghargai pendapat orang lain, maka semakin baik pula perasaan Anda pada akhirnya,” ujar Hall.
Percakapan berkualitas dapat dilakukan secara daring dan luring. Namun, menurut Hall, percakapan antarteman yang dilakukan secara tatap muka diasosiasikan dengan kesehatan mental yang lebih baik dibandingkan percakapan daring.
Percakapan dengan orang lain dibutuhkan untuk menekan risiko kesepian. Sebab, kesepian diasosiasikan dengan risiko gagal jantung. Hal ini sesuai penelitian American College of Cardiology yang menyatakan bahwa isolasi sosial dan kesepian adalah faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Isolasi sosial dimaknai ketika seseorang sendirian atau tidak memiliki hubungan sosial yang cukup. Sementara itu, kesepian dimaknai sebagai perasaan menyakitkan karena kurangnya interaksi sosial.
Penelitian dilakukan dengan menyusuri data dari UK Biobank yang mencatat rekaman kesehatan publik selama lebih dari 12 tahun. Peneliti mempelajari rekaman kesehatan 400.000 warga paruh baya dan yang berusia lebih tua dari itu.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Simon Pare (47, kiri) bercanda dengan Latif Toisi (47), pertengahan April 2022, selagi berjualan tisu dan kacang di Jalan Sam Ratulangi 3, Wenang Utara, Manado, Sulawesi Utara.
Hasilnya, isolasi sosial dan kesepian dapat meningkatkan risiko rawat inap atau kematian akibat gagal jantung sebesar 15-20 persen. Namun, kesepian dianggap faktor penentu yang lebih signifikan dari isolasi sosial.
”Hasil ini menunjukkan bahwa ketika kesepian hadir, isolasi sosial tidak lagi penting dalam kaitannya dengan gagal jantung. Kesepian mungkin adalah stresor psikologis yang lebih kuat daripada isolasi. Ini karena kesepian biasa terjadi pada individu yang tidak ramah atau punya hubungan sosial penuh tekanan,” ujar Jihui Zhang, penulis senior penelitian ini sekaligus peneliti di Guangzhou Medical University di China, seperti dikutip dari Sciencedaily.
Menurut Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia DKI Jakarta Anna Surti Ariani, orang di segala kelompok usia mengalami tekanan. Namun, dampak tekanan itu berbeda-beda, tergantung ketahanan atau resiliensi setiap orang. Ketahanan yang baik diasosiasikan dengan kesehatan jiwa yang baik pula.
”Ketahanan itu tergantung banyak hal, misalnya inteligensi. Semakin banyak wawasan seseorang terkait penyelesaian masalah, ketahanannya pun semakin tinggi. Ketahanan juga dipengaruhi stabilitas emosi, kepercayaan diri, dan lingkungan sekitar,” ujar Anna (Kompas.id, 11/10/2022).