Perppu Cipta Kerja Hambat Percepatan Transisi Energi
Perppu Cipta Kerja dipandang dapat menghambat percepatan transisi energi. Aturan tentang perubahan iuran royalti produk hilirisasi batubara menjadi nol persen juga berpotensi merugikan negara hingga Rp 33,8 triliun.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pasokan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Oktober 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya terkait percepatan transisi energi dapat terhambat oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Aturan tentang perubahan iuran royalti produk hilirisasi batubara menjadi nol persen dalam Perppu ini juga berpotensi merugikan negara hingga Rp 33,8 triliun per tahun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan, salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja ialah adanya suatu kegentingan memaksa, yakni kenaikan harga energi dan pangan serta perubahan iklim. Namun, sejumlah ketentuan dalam Perppu ini justru tidak konsisten dengan alasan penerbitan tersebut, khususnya terkait dengan upaya pengendalian perubahan iklim.
”Dari segi ekonomi, seharusnya Perppu ini ada koherensi dan integrasi antara masalah perubahan iklim dalam pasal per pasal. Akan tetapi, yang kami temukan banyak sekali pasal dalam Perppu ini yang sama buruknya dengan Undang-Undang Cipta Kerja terkait ekonomi berkelanjutan,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Rabu (1/2/2023).
Dari hasil riset ini menunjukkan bahwa Perppu Cipta Kerja ternyata tidak memberikan efek positif bagi keuangan negara dan lingkungan hidup.
Celios kemudian mengkaji sejumlah ketentuan dalam Perppu Cipta Kerja guna melihat implikasinya terhadap upaya pengendalian perubahan iklim khususnya di sektor transisi energi. Salah satu ketentuan dalam Perppu Cipta Kerja yang secara spesifik disorot, yaknitentang pemberian insentif royalti nol persen untuk hilirisasi batubara.
Bhima menjelaskan, kajian ini diperlukan karena Celios melihat ada semacam strategi jalan keluar dari pengusaha di sektor industri ekstraktif khususnya batubara untuk melanjutkan kegiatan industrinya. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya antisipasi bagi industri ekstraktif tersebut apabila semua kegiatan di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara resmi dihentikan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tambaklorok di Kota Semarang, Jawa Tengah, Februari 2017.
”Industri ekstraktif mengantisipasi hal ini dengan cara masuk ke hilirisasi atau gasifikasi batubara. Mereka meminta banyak insentif dari pemerintah dan ternyata pemerintah memberikan insentif tersebut dalam Perppu Cipta Kerja,” katanya.
Dalam melihat implikasi Pasal 128A tersebut, Celios juga mengkaji sejumlah data produksi batubara dan kontribusinya terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Setelah dihitung, beberapa proyek yang sudah dan akan berjalan terkait gasifikasi batubara mengambil porsi sekitar 23 persen dari total produksi batubara dan diperkirakan pengembangan ke depan jauh lebih besar.
Apabila diasumsikan sekitar 23 persen proyek gasifikasi batubara tersebut tidak membayar royalti, akan membuat negara kehilangan pendapatan sebesar Rp 33,8 triliun per tahun. Kehilangan pendapatan negara akan semakin besar hingga Rp 676,4 triliun seiring dengan pemberlakuan kebijakan yang bisa mencapai 20 tahun.
”Angka ini baru spesifik untuk fiskal atau pendapatan negara dan belum mencakup seluruh kerugian negara. Apabila diperluas menjadi kehilangan ekonomi, angka ini bisa dua hingga tiga kali lipat lebih besar dari Rp 676,4 triliun jika berlanjut selama 20 tahun ke depan,” ucapnya.
Menurut Bhima, Rp 676,4 triliun merupakan angka yang sangat besar untuk merealisasikan berbagai program pembangunan. Nilai tersebut dapat digunakan untuk membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Angka ini seharusnya juga bisa digunakan untuk insentif energi terbarukan sehingga mempercepat upaya transisi energi.
”Angka ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan agar pemerintah melakukan penelusuran. Jadi, dari hasil riset ini menunjukkan bahwa Perppu Cipta Kerja ternyata tidak memberikan efek positif bagi keuangan negara dan lingkungan hidup,” tuturnya.
Kajian lingkungan
Peneliti hukum Celios Muhammad Saleh mengatakan, Perppu Cipta Kerja masih memiliki masalah esensial mulai dari dasar pembentukan hingga pelemahan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perppu ini juga tidak memiliki basis kajian lingkungan dalam naskah akademik dan tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan.
Menurut dia, lingkup kajian naskah akademis dalam pembuatan regulasi di Indonesia secara substantif hanya mencakup aspek teoretis, empiris, evaluasi, landasan filosofis, sosiologi, dan yuridis. Aspek ini sebenarnya belum merepresentasikan uji tuntas lingkungan hidup dalam sebuah dokumen regulasi.
”Cukup sulit bagi kita untuk mengharapkan analisis lingkungan secara komprehensif yang bisa dilakukan oleh perumus undang-undang. Konsep uji tuntas lingkungan hidup ini merupakan bentuk pengelolaan risiko secara proaktif dan untuk mencegah pengeluaran yang tidak perlu dengan mengakses potensi kewajiban lingkungan,” katanya.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menyatakan, Greenpeace melihat saat ini semakin banyak regulasi yang sangat kontraproduktif terhadap isu lingkungan dengan upaya menghentikan krisis iklim. Tata juga sepakat bahwa ketentuan dalam Perppu Cipta Kerja dapat menghambat percepatan transisi energi.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Aktivitas penambangan batubara di salah satu wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10). Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu wilayah yang paling banyak menerbitkan izin tambang. Eksploitasi batubara banyak menyebabkan degradasi lingkungan karena banyak perusahaan tambang yang enggan merehabiltasi lahan bekas tambang.
”Perppu Cipta Kerja dan seluruh kebijakan saat ini harus menunjukkan sinyal yang jelas, yakni memberikan insentif untuk sektor hijau dan disinsentif untuk sektor pencemar. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menaikkan royalti batubara dan mengimplementasikan pajak karbon untuk PLTU batubara yang selalu tertunda,” ujarnya.
Secara terpisah, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif, beberapa waktu lalu, menyebut bahwa aturan pemberian insentif royalti nol persen untuk hilirisasi batubarasudah tertuang dalam peraturan sebelumnya. Ketentuan tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang ESDM.
Menurut Irwandy, nantinya beberapa perusahaan sudah ada yang tercatat akan menerima kebijakan insentif royalti nol persen ini. Perusahaan tersebutberencana mengembangkan proyek hilirisasi batubara di dalam negeri dan telah mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).