Ketimbang Penggantian Kepala BRIN, Perbaikan Tata Kelola Riset Lebih Mendesak
Komisi VII DPR merekomendasikan agar mengganti Kepala BRIN karena berbagai persoalan yang tak kunjung selesai. Namun, solusi terbaik bukanlah memberhentikan Kepala BRIN, melainkan menata riset secara keseluruhan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta Selatan, Senin (18/4/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai permasalahan terkait ekosistem dan tata kelola riset di Indonesia yang tak kunjung selesai membuat Dewan Perwakilan Rakyat merekomendasikan untuk mengganti Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN. Namun, alih-alih mengganti Kepala BRIN, substansi paling mendesak yang perlu dilakukan saat ini, yaitu memperbaiki aspek mendasar terkait tata kelola riset dan inovasi di Indonesia.
Rekomendasi penggantian Kepala BRIN ini merupakan salah satu hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR dan BRIN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2023). Selain mengganti Kepala BRIN, Komisi VII juga merekomendasikan untuk melakukan audit khusus anggaran BRIN tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam RDP tersebut, Komisi VII berpandangan, berbagai persoalan terkait tata kelola riset tidak kunjung usai sejak BRIN dibentuk pada 2021 sampai saat ini. Komisi VII juga mempertanyakan pertanggungjawaban salah satu program kerja BRIN dengan anggaran mencapai Rp 800 miliar, tetapi realisasinya hanya tercatat kurang dari Rp 100 miliar.
Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah penataan riset. Jadi, solusinya bukan pemberhentian, tetapi meminta Kepala BRIN untuk melakukan penataan riset.
Atas berbagai persoalan tersebut, Komisi VII menilai bahwa BRIN tidak berhasil mengelola anggaran yang mencapai ratusan miliar. Bahkan, banyak program dari BRIN yang dijalankan tidak berbasis kinerja atau tidak menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan.
Menanggapai rekomendasi Komisi VII DPR ini, Penasihat Senior Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Yanuar Nugroho, Selasa (31/1/2023), menyebutkan, penggantian Kepala BRIN bukan solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah terkait ekosistem riset di Indonesia. Namun, upaya yang paling mendesak untuk dilakukan saat ini, yaitu menata ekosistem riset secara keseluruhan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Jumat (25/11/2022).
”Secara substansial, tata kelola riset dan inovasi kita memang masih berantakan. Namun, hal yang perlu dilakukan saat ini adalah penataan riset. Jadi, solusinya bukan pemberhentian, tetapi meminta Kepala BRIN untuk melakukan penataan riset,” ujarnya.
Sejumlah upaya yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ekosistem riset di Indonesia di antaranya meningkatkan anggaran dan memperbaiki berbagai infrastruktur penelitian. Di sisi lain, BRIN juga harus memberikan kepastian karier dan kesejahteraan finansial bagi para peneliti, periset, ataupun perekayasa.
Selain itu, Yanuar juga menilai bahwa BRIN seharusnya tidak menjalankan tiga fungsi secara bersamaan yakni membuat kebijakan, mengimplementasikan, dan mengontrol jalannya riset. Seharusnya, BRIN hanya bertindak sebagai pihak yang mengimplementasikan jalannya riset dan inovasi. Sementara fungsi pembuat kebijakan dan kontrol riset dilakukan oleh lembaga lain.
Hal lain yang perlu dilakukan ialah mengkaji ulang sejumlah peleburan lembaga riset yang sudah memiliki ekosistem dan reputasi internasional tersendiri, seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Hal ini termasuk untuk lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) di bawah naungan sejumlah kementerian yang sudah terbangun ekosistem risetnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Penelitian yang dilakukan di ruang ekstrasi DNA di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (24/5/2017).
”Berbagai hal yang telah dilakukan Kepala BRIN saat ini tidak semuanya benar dan salah. Salah satu contoh kebijakan yang benar, yaitu membuat fasilitas laboratorium dapat diakses oleh semua pihak. Akan tetapi, melakukan birokratisasi pendanaan riset di internal BRIN sehingga peneliti susah mendapat anggaran itu juga salah,” ungkap Yanuar.
Aspek politis
Yanuar memandang bahwa desakan penggantian Kepala BRIN oleh Komisi VII ini juga memiliki sedikit unsur politisasi. Sebab, bila bertujuan memperbaiki tata kelola ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, rekomendasi DPR untuk penggantian pimpinan dan restrukturisasi BRIN seharusnya dilakukan saat lembaga ini baru terbentuk dua tahun lalu.
Seharusnya, kata Yanuar, DPR bereaksi keras terhadap BRIN sejak isu peleburan Eijkman dan sejumlah lembaga penelitian lainnya pada 2021. Namun, faktanya, Komisi VII baru bereaksi setelah pemberitaan media menyebut DPR seolah-olah turut menghabiskan anggaran BRIN dalam beberapa program yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Yanuar pun menekankan bahwa masalah penataan riset tidak bisa diselesaikan hanya dengan sesederhana mengganti Kepala BRIN. Upaya memperbaiki tata kelola dan membangun ekosisten riset juga merupakan pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan waktu selama 10-15 tahun.
”Perkembangan inovasi teknologi memang tidak akan bebas dari politik. Akan tetapi, lembaga seperti BRIN seharusnya seminim mungkin mandapat intervensi politik,” ujarnya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko saat berbincang dengan Kompas di Kantor BRIN, Kamis (11/8/2022).
Rekomendasi DPR untuk mengganti Kepala BRIN didukung oleh sejumlah pihak, salah satu Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi (MPI). Dalam rilisnya, MPI menyebutkan, rekomendasi DPR sejalan dengan banyak pandangan dari para periset, masyarakat, dan komunitas ilmiahtentang kepemimpinan Kepala BRIN yang dinilai telah menciptakan situasi yang kontraproduktif dalam penyelenggaraan riset serta merusak relasi kelembagaan iptek.
Selain itu, MPI juga berharap Komisi VII dapat mengawal langkah-langkah korektif untuk perbaikan tata kelola riset dan inovasi agar berjalan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara konsisten. MPI juga berharap anggota DPR dapat melanjutkan proses telaah yudikatif tentang BRIN melalui Panitia Kerja (Panja) untuk BRIN yang telah terbentuk.
Saat dihubungi, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan bahwa ia belum bisa memberikan tanggapan secara lengkap terkait rekomendasi DPR tersebut. Namun, saat RDP berlangsung, Handoko menegaskan bahwa BRIN akan segera melakukan investigasi internal terkait segala hal yang telah menjadi masukan dari Komisi VII.