Mendongeng tidak hanya bermanfaat untuk membangun kedekatan orangtua dengan anak. Mendongeng juga sarana mewariskan budi baik dan pengetahuan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Dongeng, cerita rakyat, hingga mitos adalah produk tradisi lisan yang usianya mungkin jauh di atas usia pembaca. Kisah-kisah itu diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang yang, jika ditelaah, isinya mengajarkan budi pekerti hingga ilmu pengetahuan. Hingga kini, mendongeng masih jadi jurus jitu untuk media pendidikan.
Area tengah Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (MACAN), Jakarta, pada Sabtu (28/1/2023) sore ramai oleh orang-orang dari segala usia. Ada anak-anak, pemuda-pemudi, hingga yang rambutnya beruban. Mereka melingkari panggung yang kala itu diisi oleh musisi sekaligus penyanyi Reda Gaudiamo.
Dengan gitalele, Reda mengajak audiens bernyanyi dan mendengar cerita yang dicuplik dari buku serial anak yang ia tulis, Na Willa. Buku itu ditulis dalam tiga jilid. Ketiganya berkisah tentang pengalaman masa kecil Reda yang kala itu percaya bahwa ”nama manisnya” adalah Na Willa.
”Di Sabu (NTT), tempat asal ibu saya, orang-orang memiliki nama manis. Na Willa adalah nama manis ibu saya. Karena ibu saya namanya juga Reda, saya pikir nama manis saya pun Na Willa,” kata Reda saat membuka sesi mendongeng.
Na Willa juga berisi pengalaman Na Willa saat dibacakan berbagai cerita oleh ibunya. Hal ini berangkat dari kenangan Reda yang dulu juga kerap dibacakan cerita oleh sang ibu.
”Sebetulnya saya jarang sekali dibacakan dongeng seperti legenda, folklor, atau fairy tales. Ibu membacakan apa saja yang dia mau, misalnya potongan cerita dari majalah anak,” kata Reda.
Hal serupa dilakukan Reda ke anaknya. Alih-alih membacakan cerita klasik khas anak-anak, Reda membacakan apa pun yang dirasa menarik. Pernah suatu waktu Reda membacakan buku Robohnya Surau Kami karya AA Navis. Kisah itu diingat betul oleh sang anak hingga kini.
”Ya, kadang kisah Disney atau Bawang Merah dan Bawang Putih dibacakan juga,” kata Reda. ”Tapi, yang penting anak dibacakan (cerita). Sebab, at the end of the day, ini bukan soal ceritanya, melainkan kesempatan berbagi cerita dengan anak. Ini kesempatan anak mendengar suara kita, kesempatan bonding, bahkan kesempatan anak belajar bahasa,” tambahnya.
Mendongeng atau membacakan cerita ke anak juga menumbuhkan rasa cinta terhadap bacaan. Reda mengatakan, anaknya yang kini berusia 30 tahun masih suka membaca. Anaknya—yang seorang guru bahasa Inggris di Jepang—bahkan menggunakan cerita sebagai bahan mengajar.
Kondisi sosial budaya
Menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) DKI Jakarta Yahya Andi Saputra, dongeng atau cerita rakyat biasanya mengandung nilai sejarah. Ini karena cerita rakyat mencuplik kondisi sosial dan budaya masyarakat pada periode dan tempat tertentu. Cerita rakyat pun jadi media merawat memori kolektif masyarakat.
Cerita Si Pitung, misalnya, menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat Betawi pada masa kolonial. Rakyat kala itu hidup susah karena tindakan sewenang-wenang tuan tanah dan pihak Belanda. Ibaratnya, rakyat sudah kurus kerempeng, tetapi hartanya masih diambil saja oleh penguasa.
Ini kesempatan anak mendengar suara kita, kesempatan bonding, bahkan kesempatan anak belajar bahasa.
Si Pitung yang geram dengan ketidakadilan pun berguru kepada Haji Naipin. Ilmu yang ia pelajari digunakan untuk melawan para penindas. Si Pitung lantas mencuri harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada warga miskin. Oleh rakyat, Si Pitung dianggap pahlawan.
”Dalam konteks masa kini, cerita itu mengajarkan bahwa kita tidak boleh putus harapan. Harapan akan dibawa oleh seseorang dan bisa dicapai bersama. Harapan itu macam-macam, misalnya harapan agar tidak korupsi dan harapan kebaikan,” kata Yahya.
Menurut dia, cerita rakyat merupakan salah satu produk tradisi lisan yang berlangsung sejak lama. Nenek moyang menggunakan cerita untuk mewariskan berbagai nilai baik, seperti rasa cinta terhadap lingkungan, budi pekerti, hormat kepada orangtua, bahkan identitas diri.
Edukator Museum Bahari di Jakarta, Firman Faturohman, mengatakan, cerita rakyat juga menjadi media mengenalkan tradisi masyarakat, asal-usul suatu daerah, hingga flora dan fauna. Cerita rakyat juga menjadi media mewariskan pengetahuan lokal kepada generasi selanjutnya.
”Ada cerita dari Sulawesi Selatan yang menggambarkan tata cara melaut dan melihat rasi bintang,” kata Firman.
Pengetahuan ini penting karena Indonesia memiliki identitas sebagai bangsa yang lekat dengan perairan. Adapun dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan. Namun, menurut Firman, identitas sebagai bangsa bahari baru dimaknai dari segi geografis.
”Dari cerita-cerita rakyat, kita bisa mengajarkan publik untuk mencintai Tanah Air. Tidak hanya tanahnya, tapi juga airnya,” katanya.
Terancam punah
Menurut Yahya, kebiasaan mendongeng sudah pudar karena perubahan gaya hidup masyarakat. Perkembangan teknologi membuat publik memiliki banyak pilihan hiburan. Kebiasaan mendongeng pelan-pelan pudar. Tradisi lisan pun terancam punah.
”Maestro-maestro (pendongeng) sudah lansia. Sulit mewariskan pengetahuan mendongeng karena yang mau diwarisi pun belum tentu tertarik. Ada pula maestro yang sudah meninggal dan tidak sempat mentransmisikan pengetahuannya,” ucap Yahya.
ATL DKI Jakarta kini berupaya menyelamatkan tradisi lisan yang masih bisa diselamatkan. Salah satu caranya adalah dengan mendaftarkan tradisi lisan atau cerita rakyat sebagai warisan budaya tak benda kepada pemerintah.