Kasus Kekerasan pada Perempuan ibarat Puncak Gunung Es
Beragam alasan membuat perempuan jarang melaporkan kasus kekerasan yang dialami mereka. Keberanian, keberpihakan, dan dukungan perlu diberikan kepada korban kekerasan agar semakin berani untuk melapor.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
Ilustrasi Kekerasan Perempuan
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus kekerasan pada perempuan seperti fenomena puncak gunung es. Jumlah kasus yang terjadi sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terdapat 11.266 kasus dan 11.538 perempuan yang menjadi korban kekerasan pada 2022. Dari jumlah itu, sebesar 47,52 persen merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 48,6 persen korban kekerasan fisik.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada 2021 menemukan, satu dari tiga perempuan korban kekerasan yang berusia 13-17 tahun mengalami gangguan emosional, seperti cemas, putus asa, gelisah, dan merasa tidak berharga. Lebih parah, 25 persen korban menyakiti diri sendiri, 16 persen memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan 8 persen mencoba bunuh diri.
“Jumlah ini belum menggambarkan semua kasus kekerasan pada perempuan. Dampaknya bagi korban sangat beragam, mulai dari fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan seksualnya,“ ujar Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang dalam Seminar Nasional Proteksi Diri dari Predator Seksual di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Menurut dia, sosialisasi dan penyadaran publik perlu lebih digencarkan untuk meningkatkan literasi serta pemahaman masyarakat mengenai kekerasan pada perempuan. Pada saat yang bersamaan disertai gerakan masif oleh berbagai stakeholder, terutama dalam pengembangan model desa ramah perempuan dan anak.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati mengatakan, kekerasan pada perempuan dapat terjadi di mana pun, baik di ruang privat maupun publik. Setiap orang pada dasarnya dapat menjadi korban ataupun pelaku kekerasan seksual.
Hubungan kerja atasan-bawahan, ancaman, tekanan, dan relasi kuasa menjadi alasan mengapa korban jarang melaporkan serta mengungkap kasus kekerasan seksual yang dialami mereka. Lembaga bantuan hukum dan sejenisnya perlu berpihak kepada korban dan melindungi mereka.
Oleh karena itu, butuh komitmen dari semua pihak untuk memastikan bahwa tidak ada lagi tindakan kekerasan kepada perempuan. Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) membawa harapan baru untuk menurunkan angka kekerasan pada perempuan.
“UU ini bertujuan untuk mencegah, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan. Selain itu, untuk mewujudkan penegakan hukum dan merehabilitasi mereka untuk menjamin kekerasan seksual tidak berulang,“ ucapnya.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan, kehadiran UU TPKS tidak bisa dijadikan satu-satunya jalan untuk mencegah kekerasan pada perempuan terjadi lagi. Upaya-upaya lain harus tetap dilakukan dan UU TPKS merupakan payung hukumnya.
Pengetahuan dasar tentang hak-hak yang dimiliki korban kekerasan harus ditanamkan sedini mungkin. Langkah selanjutnya adalah memberanikan diri untuk mengungkap ataupun melaporkan kasus kekerasan seksual.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan dalam Seminar Nasional Proteksi Diri dari Predator Seksual di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
“Hubungan kerja atasan-bawahan, ancaman, tekanan, dan relasi kuasa menjadi alasan mengapa korban jarang melaporkan serta mengungkap kasus kekerasan seksual yang dialami mereka. Lembaga bantuan hukum dan sejenisnya perlu berpihak kepada korban dan melindungi mereka,“ ujarnya.
Kini, setiap orang dapat mendokumentasikan dan mengabadikan hal-hal yang terlihat mencurigakan. Otto menambahkan, insting merekam, memotret, menelepon rekan, dan lainnya harus mulai ditingkatkan untuk memperkuat bukti-bukti terjadinya kekerasan.
Salah satu jenis hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual adalah kebiri. Menurut Otto, hukuman itu pantas dan mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Namun, hukuman tetap disesuaikan dengan tingkat kejahatan pelaku. Masih ada jenis hukuman lain yang cukup berat bagi para pelaku kekerasan seksual, seperti pidana penjara dan denda, serta sanksi sosial lainnya.