Kasus campak yang dilaporkan sepanjang 2022 meningkat 32 kali dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Cakupan imunisasi yang rendah selama pandemi Covid-19 membuat penularan campak makin meluas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2022, kasus campak yang dilaporkan berdasarkan konfirmasi laboratorium mencapai 3.341 kasus. Jumlah ini meningkat 32 kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Masyarakat diminta segera melengkapi imunisasi anak, termasuk campak, untuk mencegah penularan lebih luas.
Berdasarkan laporan yang dihimpun Kementerian Kesehatan sepanjang 2022, terdapat 55 laporan kejadian luar biasa (KLB) campak di 34 kabupaten/kota di 12 provinsi. Provinsi tersebut antara lain Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine di Jakarta, Kamis (20/1/2023), mengatakan, peningkatan kasus campak yang dilaporkan di masyarakat terjadi karena cakupan imunisasi yang menurun selama dua tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu terjadinya kasus KLB penyakit lain yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi.
”Dari kasus campak yang telah dikonfirmasi laboratorium selama 2022, tercatat sebagian besar tidak pernah diimunisasi, yakni sebesar 58 persen. Hanya 7 persen kasus yang sudah mendapatkan dua dosis atau lebih dari imunisasi campak-rubela,” katanya.
Virus campak dapat menular melalui droplet atau percikan ludah saat batuk, bersin, dan bicara ataupun melalui cairan hidung. Virus ini sangat menular pada empat hari sebelum dan empat hari sesudah munculnya bintik-bintik atau ruam kemerahan pada kulit.
Gejala lain yang juga patut diwaspadai ialah demam, batuk, pilek, dan radang mata. Sebagian besar penderita campak bisa sembuh tanpa pengobatan. Akan tetapi, jika pasien tidak segera ditangani, bisa menimbulkan komplikasi hingga kematian.
Prima menuturkan, saat ini belum ada kasus kematian akibat campak yang sudah terkonfirmasi laboratorium. Namun, tercatat ada enam kasus kematian dari suspek campak yang masih diperiksa di laboratorium. Kasus tersebut menunjukkan gejala seperti campak, antara lain demam dan ruam merah.
Menurut Prima, karena kasus campak meningkat, target eliminasi campak-rubela yang seharusnya dicapai pada 2023 sulit terealisasi. Eliminasi campak baru bisa dicapai apabila capaian imunisasi tinggi dan merata.
Prima meminta masyarakat tetap waspada terhadap KLB campak selama 2023 karena capaian imunisasi pada program Bulan Imunisasi Anak Nasional 2022 belum optimal. Capaian imunisasi campak-rubela secara nasional sebesar 72,7 persen. Jumlah itu masih jauh dari target sebesar 95 persen. Cakupan paling rendah dilaporkan di Aceh (19,4 persen), Papua (38,8 persen), Riau (46,0 persen), dan Sumatera Barat (49,8 persen).
Sejumlah upaya dilakukan untuk memperkuat pencegahan dan pengendalian campak di Indonesia. Penguatan surveilans campak-rubela dijalankan dengan melaporkan segera setiap kasus suspek. Dengan begitu, penanganan yang tepat bisa segera diberikan.
Campak merupakan penyakit yang jauh lebih menular dibandingkan dengan Covid-19. Penularan campak bisa tiga sampai empat kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan Covid-19. Itu sebabnya, cakupan imunisasi campak harus lebih dari 90 persen.
Imunisasi rutin pun perlu ditingkatkan, baik kepada bayi, anak balita, maupun anak usia sekolah. Pengetahuan masyarakat juga semakin diperkuat melalui penyediaan dan pendistribusian media komunikasi, informasi, dan edukasi. Pergerakan masyarakat dioptimalkan melalui peran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan peran kader kesehatan.
”Campak merupakan penyakit yang penularannya sangat cepat yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Oleh sebab itu, segera bawa anak-anak untuk mendapatkan imunisasi campak yang saat ini bisa diakses di fasilitas kesehatan,” ujar Prima.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, meluasnya laporan KLB di berbagai daerah sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya. Hal tersebut didasarkan pada cakupan imunisasi rutin yang menurun secara signifikan setelah terjadi pandemi. Hingga saat ini, cakupan imunisasi pun belum pulih.
”Campak merupakan penyakit yang jauh lebih menular dibandingkan dengan Covid-19. Penularan campak bisa tiga sampai empat kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan Covid-19. Itu sebabnya, cakupan imunisasi campak harus lebih dari 90 persen,” katanya.
Kasus campak yang dilaporkan, tambah Piprim, semakin diperburuk dengan status gizi buruk pada anak di Indonesia. Asupan nutrisi yang kurang membuat pembentukan imunitas tubuh anak tidak optimal. Apabila seorang anak dengan gizi buruk tertular campak, risiko komplikasi sangat besar.