Evaluasi Program Merdeka Belajar Masih Menekankan Pencapaian Kuantitatif
Merdeka Belajar diyakini Kemendikbudristek jadi terobosan dalam transformasi pendidikan. Namun, evaluasi optimistis untuk sembilan program prioritas pemerintah dipertanyakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
DOKUMENTASI KEMDIKBUDRISTEK
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim (kanan) berswafoto bersama perwakilan komunitas guru, mahasiswa, dan orangtua yang mendukung Merdeka Belajar untuk mentransformasi pendidikan berkualitas di acara Rembuk Komunitas Merdeka Belajar: Bergerak Bersama Berdaya Bersama di Jakarta, Selasa (24/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi pendidikan melalui Merdeka Belajar diklaim pemerintah telah berjalan dengan baik. Namun, evaluasi internal yang dilakukan pemerintah dinilai masih menitikberatkan pada pencapaian kuantitatif dan belum mengevaluasi dampak program secara mendalam.
Dalam acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk ”Membedah Sembilan Program Prioritas Kemendikbudristek”, Minggu (15/1/2023), Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Ferdiansyah, mengatakan, para wakil rakyat di DPR meminta pemerintah menyerahkan hasil evaluasi program prioritas terkait kebijakan Merdeka Belajar tahun 2022.
Namun, dalam evaluasi yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk setiap program prioritas, tidak dicantumkan besarnya anggaran. Selain itu, evaluasi lebih menekankan pada target jumlah sasaran yang tercapai.
”Kami dari Komisi X DPR mencoba berpikir positif dengan evaluasi yang disampaikan pemerintah. Namun, tidak terlihat jelas bagaimana dampak sembilan program prioritas Merdeka Belajar ini berkontribusi pada pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2022-2024,” kata Ferdiansyah.
Sementara Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti, dalam surat pengantarnya kepada Ketua Komisi X DPR, pada 15 Desember 2022, memaparkan, evaluasi sembilan program prioritas Kemendikbudristek Tahun 2022 dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek.
Laporan evaluasi ini mencakup platform digital pendidikan (platform merdeka mengajar, platform sumber daya sekolah SIPLah dan ARKAS, platform profil, rapor pendidikan, manajemen data, dan infrastruktur.
Selain itu, laporan evaluasi tersebut meliputi platform Kampus Merdeka, asesmen nasional, guru penggerak, sekolah penggerak, Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, literasi, tiga dosa pendidikan, dan badan layanan umum (BLU) museum.
Secara umum, evaluasi berbagai program dilakukan kepada pengguna, seperti kepala sekolah, guru, pengawas, hingga dinas pendidikan, dan diklaim menunjukkan hasil baik. Kinerja tiap program di atas 80 persen hingga lebih dari 90 persen.
Dengan platform digital pendidikan, seperti pelaporan digital, misalnya, dana Rp 51 triliun potensi anggaran fungsi pendidikan tahun anggaran 2022 dikelola lebih transparan dan akuntabel melalui dukungan platform ARKAS, SIPLah, dan TanyaBos.
Evaluasi program Implementasi Kurikulum Merdeka dilakukan di tiga provinsi dan 18 kabupaten atau kota. Responden terdiri dari dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten atau kota, kepala sekolah, siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas yang jadi sekolah penggerak.
Hasil evaluasi dampak terhadap siswa disebutkan bahwa peserta didik telah mengetahui Kurikulum Merdeka; dan siswa mengikuti asesmen pembelajaran sebelum memulai pembelajaran.
Selain itu, hasil evaluasi menunjukkan siswa antusias terhadap metode pembelajaran Proyek Penguatan Pembelajaran Pancasila (P5); siswa mampu mengekspresikan ide atau gagasan secara terbuka di kelas, serta siswa lebih mudah mengikuti dan memahami materi pembelajaran.
Bias tinggi
Pakar Kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, Said Hamid Hasan, mempertanyakan laporan Kemendikbudristek terkait penerapan Kurikulum Merdeka, apakah evaluasi atau penemuan fakta.
”Mestinya dalam evaluasi kurikulum, ada etika yakni ketika pengembangan kurikulum boleh dilakukan internal dengan masukan dari pihak luar atau reflektif. Namun, saat sudah diimplementasikan, etikanya yakni evaluasi tidak lagi oleh pengembang atau pemerintah karena biasnya akan sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut Hamid, perlu dipertanyakan juga kenapa evaluasi implementasi Kurikulum Merdeka hanya dilakukan di tiga provinsi. Padahal, kondisi sekolah di Indonesia beragam dan ada berbagai variabel yang perlu dievaluasi.
Praktisi pendidikan, Aulia Wijiasih, mengutarakan, berbagai program prioritas yang ditawarkan Kemendikbudristek dalam bungkus Merdeka Belajar patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini seolah-olah dianggap baru, padahal sebenarnya sudah ada dalam berbagai kebijakan pendidikan, termasuk dalam Kurikulum 2013.
Terkait Platform Merdeka Mengajar (PMM) untuk pengembangan profesionalisme guru, ada ruang bagi guru untuk saling berbagi praktik baik. ”Namun, adakah validasi dari praktik baik ini berjalan baik dan berkualitas sehingga yang dibagikan itu teruji,” kata Aulia.
Selama ini, praktik yang berjalan lemah dalam pengawasan dan proses sehingga berbagai konsep baik dari pemerintah pusat tidak membawa perubahan. Validasi itu penting untuk memastikan proses dan hasilnya baik sehingga terjadi perubahan pendidikan,” ungkap Aulia.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seorang siswa merekam penampilan tarian kelompok untuk tugas proyek tema Kebhinekaan Global sebagai bagian dari pelaksanaan Kurikulum Merdeka di SDN 117, Pondok Bambu, Jakarta Timur, Kamis (17/11/2022). Kurikulum Merdeka memberikan pembelajaran intrakurikuler beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami materi.
Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Anggi Afriansyah, mengutarakan, terkait digitalisasi pendidikan, perlu dipahami juga dampak dari kesenjangan akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia.
”Jangan sampai digitalisasi memperlebar kesenjangan akses pendidikan karena lebih menguntungkan untuk sekolah, guru, dan siswa yang punya kapital digital lebih baik akan terakselerasi program pemerintah,” tuturnya.
”Evaluasi berbagai program seringkali sangat kuantitatif. Perlu juga untuk melihat bagaimana konteks kapital sekolah dan guru yang beragam, belum terlihat tingkatannya seperti apa dan imbasnya pada stakeholders (para pemangku kepentingan) bidang pendidikan,” kata Anggi.
Ketua Harmoni Pendidik Pengajar 4.0 Indonesia (Hipper) Jawa Barat Ida Rohayani merasa miris jika dana pendidikan triliunan rupiah tidak digunakan secara efisien dan efektif, terutama yang berdampak pada mutu pendidikan dan kesejahteraan guru. Kenyataannya, sejumlah program terkait guru ada yang membebani guru.
”Ada keluhan untuk PMM dan Guru Penggerak, ternyata ada paksaan dari dinas pendidikan di daerah. Para guru jadi fokus untuk mengerjakan tugas PMM. Ada juga guru penggerak yang harus menjalani pelatihan dan berjejaring sehingga meninggalkan kelas,” ungkapnya.
”Mereka memprioritaskan hal itu karena akan berdampak pada hal lain yang ditetapkan dinas atau pimpinan sekolah,” kata Ida Rohayani.
Guru Besar UPI Cecep Darmawan menilai, dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, program ada itikad untuk mengasah kemampuan, minat, bakat, dan peluang jejaring mahasiswa ke program studi lain dan mengeksplorasi keilmuan di lapangan.
”Versi pemerintah, hardskills (kecakapan teknis) dan softskill (keterampilan nonteknis) serta SKS dihargai sebagai hal positif. Namun, bagaimana program diterapkan di berbagai program. Jangan sampai kurikulum di perguruan tinggi gamang, mau memperkuat profil lulusan tetapi juga mengembangkan Kampus Merdeka,” kata Cecep.