Layanan transplantasi ginjal di Indonesia masih belum optimal. Padahal, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti fungsi ginjal paling ideal bagi pasien gagal ginjal kronis. Kualitas hidup pasien bisa lebih baik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Bagi penderita gagal ginjal kronis, transplantasi ginjal dapat membantu penderitanya untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi risiko kematian, hingga pembatasan pola makan yang lebih longgar. Jika memenuhi persyaratan, transplantasi ginjal adalah pilihan yang lebih baik dibanding terapi cuci darah.
Pada Januari 2020, Rinaldi Alamsyah (38) didiagnosis gagal ginjal kronis. Saat itu, dokter menyatakan fungsi ginjalnya hanya 5 persen. Terapi harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjalnya.
Awalnya, Rinaldi mendapatkan terapi pengganti fungsi ginjal dengan hemodialisis atau cuci darah. Namun, setelah satu tahun menjalani terapi hemodialisis, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan transplantasi ginjal.
Keputusan tersebut dilakukan setelah ia melihat rekannya yang juga mengalami gagal ginjal kronis menjadi jauh lebih produktif setelah mendapatkan transplantasi ginjal. ”Setelah mendapatkan transplantasi ginjal, ternyata memang kualitas hidup saya lebih baik dibanding ketika harus mendapatkan cuci darah rutin. Bahkan, kondisi saya hampir sama seperti sebelum sakit,” katanya.
Donor ginjal didapatkan dari istrinya. Sejumlah proses dilakukannya sehingga akhirnya dinyatakan layak untuk mendapatkan transplantasi ginjal. Akhirnya, pada 2021, ia pun melakukan transplantasi ginjal di RS Siloam Hospital Asri, Jakarta.
Setelah mendapatkan transplantasi ginjal, ternyata memang kualitas hidup saya lebih baik dibanding ketika harus mendapatkan cuci darah rutin. Bahkan, kondisi saya hampir sama seperti sebelum sakit.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Endang Susalit, yang juga Ketua Tim Transplantasi Ginjal RS Siloam Asri, menuturkan, seseorang yang sudah mengalami gangguan fungsi ginjal, terutama jika fungsi ginjalnya kurang dari 15 persen, gejala gagal ginjal akan muncul. Pada kondisi tersebut, terapi pengganti ginjal pun harus diberikan.
Umumnya ada tiga terapi yang bisa diberikan, yakni hemodialisis atau yang dikenal dengan cuci darah, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal atau cangkok ginjal. Akan tetapi, sebagian besar pasien gagal ginjal kronis mendapatkan terapi hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal.
Padahal, menurut Endang, transplantasi ginjal merupakan terapi yang paling ideal bagi pasien gagal ginjal kronis. Sebab, dengan transplantasi ginjal pasien bisa memiliki kualitas dan harapan hidup yang lebih baik dibandingkan terapi lainnya. Selain itu, pola makan pun tidak seketat ketika harus menjalani hemodialisis.
Pasien hemodialisis yang disebabkan oleh diabetes melitus dinyatakan memiliki harapan hidup sekitar delapan tahun. Namun, jika pasien tersebut melakukan transplantasi ginjal, harapan hidupnya bisa meningkat menjadi 25 tahun.
Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi gangguan fungsi dan struktur ginjal menahun yang terjadi lebih dari tiga bulan dengan berbagai implikasi kesehatan. Gejala yang biasa muncul, yakni pembengkakan pada kaki, hipertensi, sesak napas, anemia, serta mual dan muntah.
Data Indonesian Renal Registry 2019 menunjukkan, insiden atau kasus baru pasien hemodialisis di Indonesia sebanyak 250 kasus per satu juta penduduk. Sementara prevalensi pasien hemodialisis mencapai 500 kasus per satu juta penduduk.
”Sebagian besar pasien gagal ginjal di Indonesia melakukan hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal. Sementara dengan transplantasi ginjal sebenarnya lebih baik. Selain kualitas dan harapan hidup, transplantasi juga lebih efisien dari sisi biaya. Meski awalnya biayanya besar, itu hanya butuh sekali dan setelah itu cukup mengonsumsi obat,” tutur Endang.
Menurut dia, praktik transplantasi ginjal di Indonesia masih belum optimal. Tantangan yang dihadapi, antara lain, ketersediaan pusat transplantasi yang terbatas serta masyarakat yang masih apatis dengan donasi organ. Saat ini, pusat transplantasi ginjal di Indonesia baru tersedia di delapan layanan. Dua layanan tersedia di Sumatera, lima layanan di Jawa, dan satu layanan di Bali.
Selain itu, tantangan lainnya ialah peran Komite Transplantasi Nasional (KTN) yang masih kurang. Apabila peran komite ini bisa dioptimalkan sebagai perantara antara donor dan penerima transplantasi, terapi transplantasi ginjal bisa lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Itu terutama untuk mencegah adanya donor ginjal yang ilegal. Masyarakat pun tidak perlu melakukan transplantasi di luar negeri. Kualitas sumber daya di Indonesia sudah amat baik dalam melakukan transplantasi ginjal.
Staf Departemen Medik Urologi RS Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Nur Rasyid menambahkan, perkembangan terbaru dari terapi transplantasi ginjal sudah bisa dilakukan di Indonesia. Metode pemeriksaan untuk persiapan operasi dan obat imunosupresan terbaru sudah diterapkan. Obat ini diberikan untuk mengurangi risiko rejeksi atau penolakan dari transplantasi yang dilakukan.
Nur yang juga Ketua Siloam Hospital ASRI Urology Center menyampaikan, transplantasi ginjal dilakukan secara komprehensif yang didukung oleh tim dokter spesialis multidimensi. Tatalaksananya harus dilakukan secara baik, mulai dari persiapan, operasi, hingga monitoring pascaoperasi. Hal tersebut berlaku baik bagi resipien atau penerima transplantasi maupun donor.
Persiapan yang dilakukan meliputi pemeriksaan golongan darah, pemeriksaan fungsi ginjal dan penyakit diabetes melitus bagi donor, serta tidak membutuhkan transfusi darah bagi penerima ginjal.
Setelah dinyatakan layak, transplantasi pun bisa dilakukan. Saat ini, teknik baru yang dilakukan untuk transplantasi melalui retroperitoneal atau laparoskopi langsung di lokasi ginjal. Pada teknik ini, komplikasi bagi donor lebih rendah.
Pada prosesnya, pelaksanaan transplantasi pada donor dengan pembuluh darah arteri ginjal lebih dari satu (MRA) menghadapi kendala. Namun, dengan kemampuan operasi yang sudah berkembang, kondisi tersebut bisa diatasi dan memberikan keberhasilan yang sama baiknya dengan donor dengan pembuluh darah arteri tunggal.
”Transplantasi ginjal masih harus dikembangkan di Indonesia. Fasilitas pun harus terus ditingkatkan. Di RSCM saja, saat ini masa tunggu untuk transplantasi ginjal hingga satu tahun. Jika fungsi KTN bisa dioptimalkan, pelaksanaan transplantasi ginjal bisa meningkat 10-15 kali lipat,” tutur Nur.