Kurikulum Perfilman Banyumas Raya dibutuhkan untuk para pembina ekstrakurikuler. Kurikulum ini diharapkan bisa jadi panduan untuk memperkuat kualitas film pelajar di wilayah Banyumas Raya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Festival Film Purbalingga melalui Dana Indonesiana Event Strategis menggelar lokakarya ”Kurikulum Perfilman Banyumas Raya dan Hasil Pemetaan Festival Film Purbalingga”. Diharapkan kurikulum perfilman ini bisa jadi panduan bagi para guru pembina ekstrakurikuler SMA sederajat di wilayah Banyumas Raya.
”Ini untuk memperkuat film pelajar dan memberdayakan guru-guru pengampu ekstrakurikuler,” kata Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Purbalingga Bowo Leksono, di Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023).
Bowo, yang juga menjadi salah satu narasumber penyusunan kurikulum perfilman ini, menyampaikan, penyusunan kurikulum butuh waktu sekitar 2 bulan. ”Kami ingin anak-anak itu benar-benar serius ketika menggarap karya film,” ujarnya.
Dia menjelaskan, penggarapan karya film diharapkan benar-benar direncanakan dan sesuai aturan. ”Mungkin tidak seperti profesional, tapi setidaknya output-nya nanti juga serius. Kami ingin bilang bahwa karya yang dihasilkan biar tidak murahan,” kata Bowo, yang juga Ketua Cinema Lovers Community.
Dalam kurikulum yang telah disiapkan, disebutkan bahwa profil lulusan peserta pelatihan produksi film pelajar mempunyai sikap pengetahuan dan keterampilan dalam membuat film dokumenter pendek dan film fiksi pendek. Hal itu dilakukan dengan mengangkat ide serta tema-tema budaya lokal Banyumas dalam setiap karya.
Dalam struktur kurikulum yang disusun oleh Sri Wastiwi Setyawati dan Stephanus Andre Triadiputra dari ISI Surakarta, pada bagian produksi film dokumenter pendek, terdapat 10 materi pokok pelatihan. Materi itu adalah Local Genius, Pengantar Dokumenter, Pengembangan Ide Cerita Film Dokumenter Pendek, Riset, Naskah Film, Tata Kelola dan Produksi Film Dokumenter Pendek, Editing, Refleksi, Pengarsipan, dan Distribusi.
Adapun pada bagian produksi film fiksi pendek, terdapat 16 materi pokok pelatihan. Materi itu adalah Local Genius, Pengantar Film Fiksi Pendek, Ide Cerita Film, Riset Tema dan Ide Cerita, Skenario, Bedah Skenario, Manajemen Produksi, Tata Kamera, Tata Cahaya, Tata Suara, Tata Artistik, Penyutradaraan, Editing, Refleksi, Pengarsipan, serta Distribusi.
Direktur Festival Film Purbalingga Nanki Nirmanto menyebutkan, setelah kurikulum disiapkan, ke depan disiapkan sejumlah agenda, seperti pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran dan modul pembelajaran perfilman. ”Dengan tersusunnya kurikulum perfilman, kami juga akan berusaha mengadakan berbagai pelatihan,” ujarnya.
Pelatihan tersebut, di antaranya, berupa pelatihan manajerial produksi film untuk komunitas film pelajar dan pembina komunitas film pelajar. ”Ini agar ke depan secara mandiri mereka bisa memproduksi film di lingkungan sekolah,” ujar Nanki.
Desiana, guru Bahasa Inggirs dan juga pembina ekstrakurikuler sinematografi di SMAN 1 Kejobong, Purbalingga, mengapresiasi lahirnya kurikulum tersebut. Hal itu bisa membuat materi yang diberikan saat ekstrakurikuler makin terarah.
Festival Film Purbalingga menumbuhkan secara organik kebudayaan film yang sesungguhnya dulu kita tidak punya menjadi milik warga, hidup dan dihidupi.
”Ini sangat membantu. Seperti saya sendiri, di sekolah itu tidak ada orang yang expert di bidang perfilman. Biasanya pembinanya berasal dari guru-guru umum, seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, yang punya kemampuan di bidang editing, misalnya, tapi bukan ahlinya,” kata Desiana.
Desiana menyampaikan, selama ini dirinya masih mencari-cari materi sinematografi di internet saja dan juga belajar dari sekolah lain. Di sekolahnya, ada sekitar 25 murid yang mengikuti ekstrakurikuler sinematografi. Kegiatan ini digelar setiap Rabu, pukul 14.30 sampai 16.30.
Kurator Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kusen Alipah Hadi menyebutkan, negara malu karena banyak pemajuan-pemajuan kebudayaan di Indonesia ini hadir tanpa keterlibatan negara. Oleh karena itu, Dana Indonesiana hadir atau melamar Festival Film Indonesia selama 3 tahun untuk mendukung program-program perfilman.
”Festival Film Purbalingga menumbuhkan secara organik kebudayaan film yang sesungguhnya dulu kita tidak punya menjadi milik warga, hidup dan dihidupi. Kalau negara tidak ikut-ikutan, tentu saja nanti yang akan diuntungkan terbesar adalah sektor industri,” kata Kusen.