Membangun Kembali Pertahanan Terbaik untuk Anak
Imunisasi merupakan upaya yang paling efektif untuk melindungi anak dari berbagai penyakit, seperti difteri, campak, rubela, dan polio. Pertahanan kesehatan terbaik itu pun harus kembali diperkuat bagi seluruh anak.
Sebelum pandemi terjadi, kasus penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi sudah jarang ditemui. Sejumlah negara bahkan sudah mencapai keberhasilan dalam mengeliminasi berbagai penyakit-penyakit tersebut, seperti polio, campak, dan rubela, selama lebih dari satu dekade.
Wilayah Eropa setidaknya sudah 20 tahun menyandang status bebas polio. Amerika juga telah berhasil mengeliminasi polio, campak, dan rubela sejak 2015. Indonesia pun sudah sejak 2014 dinyatakan bebas dari polio.
Program Perluasan Imunisasi yang mulai diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1974 telah menunjukkan hasil yang baik. Dari berbagai upaya yang dilakukan pada 2014 tercatat cakupan vaksinasi global secara keseluruhan telah mencapai 85 persen untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Targetnya, cakupan vaksinasi bisa menembus lebih dari 90 persen untuk memastikan pertahanan yang optimal bagi seluruh anak.
Baca juga: Waspadai Potensi Penyebaran Wabah
Akan tetapi, cakupan yang seharusnya masih perlu ditingkatkan tersebut justru berbalik arah akibat pandemi Covid-19. WHO memperkirakan pada 2020, Covid-19 telah menyebabkan delapan sampai sembilan juta dosis vaksin rutin untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tidak diberikan pada anak-anak.
Laporan dalam jurnal The Lancet pada 14 Juli 2021 menunjukkan, sejumlah wilayah di Afrika dan Asia mengalami penurunan cakupan imunisasi yang paling besar. Negara-negara berpenghasilan tinggi di kawasan lain pun dilaporkan mengalami penurunan cakupan pada awal pandemi.
Tingkat imunisasi global telah mencapai titik terendah sejak 2008. Penurunan cakupan vaksinasi paling besar terjadi pada April, Mei, dan Juni 2020. Direktur Departemen Imunisasi, Vaksin, dan Biologi WHO Kate O’Brien menyampaikan, cakupan yang rendah ini menjadi kekhawatiran bersama. ”Kita berbicara tentang puluhan juta nyawa anak yang dipertaruhkan,” katanya.
Cakupan imunisasi yang menurun di sejumlah negara telah berdampak pada munculnya wabah terkait PD3I. Hal ini menjadi ancaman nyata di tingkat global. Dikutip dari laman Nature, pada 2019 dilaporkan lebih dari 200.000 kematian terjadi akibat campak. Itu meningkat hampir 50 persen dari 2016.
Pada periode April-Oktober 2022 dilaporkan sebanyak 750 anak di Zimbabwe meninggal karena wabah campak. Virus polio juga dilaporkan muncul kembali di Amerika Serikat.
Tingkat imunisasi global telah mencapai titik terendah sejak 2008. Penurunan cakupan vaksinasi paling besar terjadi pada April, Mei, dan Juni 2020.
Kondisi tersebut juga menjadi persoalan yang dihadapi di Indonesia. Kementerian Kesehatan melaporkan, lebih dari 1,7 juta anak di Indonesia tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada 2019-2021. Dampaknya telah menyebabkan kejadian luar biasa PD3I di sejumlah wilayah.
Baca juga: Imunisasi Dasar di Bawah Target, Bahaya Penyakit Menular Mengintai
Pada pertengahan 2022 dilaporkan terjadi KLB difteri di Kalimantan Barat, KLB campak di Aceh, dan KLB difteri, campak, dan rubela di Sulawesi Selatan. Selain itu, KLB polio pun dilaporkan terjadi di Aceh pada akhir 2022.
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu, adanya kasus polio yang dilaporkan di Aceh patut menjadi peringatan bagi wilayah lain dengan cakupan vaksinasi polio yang lebih rendah. Cakupan imunisasi polio suntik (IPV) di Aceh sebesar 6,2 persen. Cakupan yang lebih rendah tercatat di Papua (3,3 persen), Kalimantan Timur (4,1 persen), Kalimantan Tengah (4,6 persen), dan Nusa Tenggara Barat (5,9 persen) (Kompas, 1/12/2022).
Pemulihan
Pelaksanaan imunisasi rutin pada anak mulai meningkat setelah situasi pandemi Covid-19 membaik. Hal ini menjadi upaya pemulihan seluruh negara untuk memperkuat benteng perlindungan pada anak-anak dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Sayangnya, upaya tersebut masih menghadapi sejumlah kendala. Cakupan imunisasi, bahkan di negara berpenghasilan tinggi, belum merata. Kepercayaan masyarakat akan manfaat vaksinasi menjadi kendala utama yang dihadapi.
Pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kian memperberat kendala dalam pemulihan imunisasi rutin anak. Orangtua kembali memundurkan langkahnya dalam pemberian imunisasi pada anak.
Direktur Yale Institute for Global Health di New Haven, AS, Saad Omer mengatakan, kepercayaan masyarakat akan vaksinasi menurun, terutama pada vaksinasi yang dikembangkan dengan teknologi m-RNA. Hal tersebut juga terkait dengan adanya efek samping yang muncul dari anak-anak yang mendapatkan vaksin Covid-19.
Meski kasusnya jarang serta ringan dan bisa sembuh dengan sendirinya, keamanan pada vaksinasi tersebut sangat berdampak pada kepercayaan orangtua akan vaksinasi. ”Ketika orang dewasa kurang percaya diri dengan vaksinasi, kemungkinan mereka juga akan ragu untuk mengimunisasi anak-anak mereka,” tuturnya.
Transparan
Oleh sebab itu, Saad menuturkan, transparansi akan informasi mengenai vaksinasi sangat penting. Petugas kesehatan perlu secara transparan menjelaskan mengenai vaksinasi yang diberikan, termasuk dengan efek samping dan manfaat dari vaksinasi.
Upaya tersebut perlu dilakukan secara masif dan sistematis. Pasalnya, edukasi dan kampanye mengenai pentingnya imunisasi untuk perlindungan anak harus lebih kuat melawan gerakan antivaksin.
Gerakan antivaksin ini juga menjadi persoalan yang dihadapi di Indonesia. Pada 2017, KLB difteri dilaporkan terjadi di masyarakat. Itu disebabkan sekitar 60 persen dari pasien difteri tersebut tidak pernah diimunisasi setidaknya dalam satu tahun terakhir.
Baca juga: Cakupan Imunisasi Rendah, Puncak Gunung Es Masalah Kesehatan
Antropolog di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Heidi Larson, mengatakan, ketidakpercayaan akan vaksinasi telah menyebar secara global. Agenda antivaksin semakin luas tersebar melalui jejaring media sosial. ”TikTok menjadi salah satu platform yang paling berbahaya yang pernah saya lihat,” ucap dia.
Penolakan akan vaksin ini dipengaruhi oleh variabel yang kompleks, baik terkait faktor politik, agama, sosial, dan budaya. Karena itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa secara umum, melainkan harus secara personal sesuai dengan kondisi personal di setiap wilayah.
Kate O’Brien menyampaikan, kolaborasi semua pihak perlu dilakukan dengan menekankan peran dari pemimpin daerah. Peran pemimpin daerah menjadi penting untuk menangani persoalan yang terjadi di wilayahnya secara efektif.
WHO pun telah menyusun Agenda Imunisasi 2030 dengan tujuan mencapai 90 persen cakupan global untuk perlindungan anak dengan vaksinasi. Itu sekaligus untuk mempercepat pengenalan imunisasi baru di negara-negara berpenghasilan rendah.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun telah mengeluarkan rekomendasi terkait dengan potensi penyebaran wabah dari berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Ketua IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, potensi KLB bisa terjadi dengan rendahnya cakupan imunisasi sejak masa pandemi serta belum tercapainya target bulan imunisasi nasional (BIAN) di beberapa daerah di Indonesia.
Terkait dengan keraguan akan imunisasi, ia menyatakan, masyarakat diminta segera mengonsultasikan hal tersebut kepada tenaga kesehatan. Informasi mengenai imunisasi pun harus didapatkan dari sumber tepercaya.
Baca juga: Kampanye dan Edukasi Perlu Lebih Digencarkan
Seluruh pihak kini tidak lagi cukup melakukan intervensi yang biasa-biasa saja. Urgensi untuk memulihkan status imunisasi rutin pada anak semakin besar. Celah kekebalan imunisasi yang melebar selama pandemi harus segera ditutup kembali. Pertahanan akan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi perlu diperkuat kembali untuk melindungi setiap anak di seluruh dunia.