Sebagian orangtua suka menenangkan anaknya yang rewel atau mengamuk dengan memberi gawai. Cara ini memang cepat dan efektif, tetapi tidak melatih anak mengelola emosinya hingga sulit mengontrol emosinya saat dewasa.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Semakin banyak orangtua memberikan anak balitanya gawai agar mereka tenang, tidak merengek apalagi mengamuk, dan orangtua bisa melakukan pekerjaan lain. Meski cara ini sangat efektif menenangkan anak, khususnya anak umur 3-5 tahun, pemberian gawai kepada mereka membuat anak sulit mengenali dan mengelola emosinya hingga dewasa.
Anak-anak balita memegang gawai, fokus menatap layar gawai, dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar menjadi pemandangan yang makin umum dijumpai. Di pusat perbelanjaan, perumahan kelas menengah, perkampungan padat, hingga perdesaan. Bahkan saat berkumpul bersama anak-anak sebaya, fokus mereka tetap tertuju pada gawai yang dipegang.
Meski sebagian orangtua menerapkan aturan ketat dalam penggunaan gawai untuk anaknya, makin banyak orangtua memilih memberikan gawai untuk anaknya agar tenang. Gawai umumnya diberikan agar anak tenang saat orangtua melakukan pekerjaan lain, termasuk ngobrol atau bergosip, dalam perjalanan, atau saat berada di tempat umum.
Namun banyak orangtua tidak sadar strategi membuat anak tenang dengan memberi gawai itu bisa berdampak balik pada anak. Studi Jenny Radesky, dokter tumbuh kembang anak di Rumah Sakit Anak CS Mott, Universitas Michigan, Amerika Serikat, dan rekan menunjukkan pemberian gawai pada anak prasekolah berumur 3-5 tahun meningkatkan disregulasi emosi yang bisa meningkatkan perilaku buruk anak di masa depan.
"Menggunakan gawai untuk menenangkan anak sementara waktu sepertinya terlihat tidak berbahaya, bisa mengurangi stres di rumah tangga. Namun, tindakan ini memiliki konsekuensi jangka panjang. Pemakaian gawai menggantikan peluang anak untuk mengembangkan metode regulasi diri," kata Radesky kepada Sciencedaily, 12 Desember 2022.
Tanda-tanda peningkatan emosi anak akibat pemberian gawai yang terlalu dini, berdasarkan studi terhadap 422 orangtua dan 422 anak umur 3 tahun-5 tahun antara Agustus 2018 hingga Januari 2020, itu meliputi antara lain perubahan suasana hati secara tiba-tiba, perubahan antara rasa sedih dan gembira yang sangat cepat, dan meningkatnya perilaku impulsif.
Menggunakan gawai untuk menenangkan anak sementara waktu sepertinya terlihat tidak berbahaya, bisa mengurangi stres di rumah tangga. Namun, pemakaian gawai menggantikan peluang anak untuk mengembangkan metode regulasi diri.
Selain itu, studi yang dipublikasikan di jurnal JAMA Pediatrics itu menemukan penggunaan gawai pada anak prasekolah itu berdampak lebih besar pada anak laki-laki dan anak yang sudah memiliki perilaku hiperaktif, impulsif, dan temperamen yang kuat. Penggunaan gawai pada kelompok ini mereka bereaksi lebih kuat terhadap perasaan mereka, seperti marah, frustasi, dan sedih yang lebih dalam.
"Pemberian gawai untuk menenangkan anak akan berdampak lebih kuat pada anak-anak yang sebelumnya sudah memiliki masalah dalam mengelola emosi mereka," tambahnya.
Periode prasekolah hingga masa taman kanak-kanak adalah fase perkembangan anak saat mereka cenderung menunjukkan perilaku sulit seperti mudah mengamuk, membangkang, dan emosi yang intens atau kuat. Situasi itu diduga semakin mendorong anak untuk menggunakan gawai sebagai strategi berhubungan dengan orangtuanya.
Sebaliknya, orangtua juga merasa lega dengan memberikan gawai kepada anak balitanya karena cara ini cepat dan efektif membuat anak tenang dan mengurangi perilaku negatifnya. Akibatnya, anak maupun orangtua sama-sama menggunakan gawai sebagai alat negosiasi untuk mengatur perilaku anak. Konsekuensinya, anak dan orangtua sama-sama tidak terlatih menggunakan strategi lain untuk mengatasi perilaku negatif anak.
"Dalam kondisi khusus, sebetulnya tidak masalah orangtua sesekali memberikan gawai untuk anak balitanya, seperti dalam perjalanan atau ketika beban kerja menumpuk. Namun, orangtua tetap harus realistis dan tidak menjadikan gawai sebagai alat utama untuk menenangkan anak," katanya.
Psikolog anak dan keluarga yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) Wilayah Jakarta Anna Surti Ariani, Jumat (30/12/2022) mengatakan sebaiknya memang gawai memnag tidak digunakan untuk menenangkan anak-anak balita. Di masa balita, khususnya antara 2 tahun-5 tahun, anak memulai proses berlajar meregulasi emosi.
"Kalau pada usia ini proses tersebut banyak diganggu gawai, maka pemerolehan regulasi diri anak akan menjadi lebih lambat lagi. Semakin awal anak diberikan gawai, semakin lambat pula anak belajar meregulasi dirinya," katanya.
Solusi alternatif
Untuk menghindari penggunaan gawai sebagai alat utama menenangkan anak, Radesky mengusulkan sejumlah cara alternatif. Salah satunya melalui pendekatan atau teknik sensorik dengan menyalurkan energi mereka melalui gerakan tubuh.
Setiap anak memiliki profil unik, termasuk jenis rangsangan sensorik apa yang bisa menenangkan mereka. Ada anak yang tenang saat bermain ayunan, dipeluk, melompat di atas trampolin, atau meremas clay alias malam.
Ada juga yang tenang ketika mendengar musik, membaca buku, atau melihat benda-benda tertentu. Karena itu, saat anak terlihat gelisah, ngambek atau tidak tenang, arahkan energinya melalui gerakan tubuh yang mereka sukai.
Cara lainnya adalah dengan menyebutkan emosi tertentu dan apa yang seharusnya dilakukan dengan emosi tersebut. Ketika orangtua melabeli anaknya dengan sesuatu hal yang mereka pikirkan, itu akan membantu menghubungkan orangtua dan anak dengan bahasa yang bisa menggambarkan perasaan mereka.
Teknik menyebutkan emosi tertentu, seperti marah, sedih, atau gembira, ini sejatinya juga membuat anak merasa dipahami. Semakin orangtua tenang, maka orangtua bisa menunjukkan kepada anak bahwa emosi yang dialami anak adalah wajar serta bisa dikelola dengan baiki.
Cara lain untuk menenangkan anak adalah dengan menggunakan warna. Ketika anak-anak masih kecil, mereka masih kesulitan memikirkan konsep yang abstrak dan rumit, seperti tentang emosi. Karena itu, penggunaan warna tertentu untuk mendeskripsikan emosi anak akan membantu anak memahami emosi apa yang mereka rasakan.
Sebagai contoh, warna biru bisa digunakan untuk menunjukkan perasaan bosan, hijau untuk kondisi tenang, kuning untuk menjelaskan cemas atau gelisah, dan merah untuk menunjukkan rasa marah. Saat anak merasakan sesuatu, anak dapat diminta untuk menunjukkan warna yang bisa menggambarkan apa yang sedang otak, tubuh, dan hati mereka rasakan.
Metode lain untuk mengalihkan penggunaan gawai untuk menenangkan anak adalah dengan menawarkan tindakan lain. Anak-anak biasa menunjukkan perilaku negatif saat mereka kesal. Itu adalah insting normal untuk menunjukkan bahwa mereka ingin berhenti dari keadaan itu.
Namun, cara anak mengkomunikasikan emosinya itu perlu dilatih dan menggantikannya dengan perilaku yang lebih aman dan memecahkan masalah.
Perilaku alternatif untuk mengomunikasikan emosi itu antara lain, jika anak suka memukul saat kesal maka katakan memukul itu menyakiti orang.
Saat mereka ingin mengekspresikan amarahnya, alihkan kebiasaan itu dengan tindakan memukul bantal. Orangtua juga bisa mengomunikasikan dengan jelas agar anak melakukan sesuatu, misal jika anak ingin mendapat perhatian orangtua, sentuh lengan orangtua dan bilang "Permisi, Ma/Pa".
Selain berbagai teknik untuk mengalihkan pemberian gawai agar anak tenang, orangtua bisa mengatur waktu yang jelas kapan dan di mana anak boleh menggunakan gawai. Pengaturan waktu yang jelas itu akan membuat anak mengatur ekspektasi mereka dalam penggunaan gawai serta menghindarkan anak dari penggunaan gawai tanpa batas.
Saat anak-anak tenang, orangtua juga memiliki kesempatan untuk mengajari anaknya keterampilan mengatur emosi. Radesky mencontohkan, orangtua dapat berbicara dengan anak melalui perumpamaan seperti perasaan boneka favorit anaknya. Setelah itu, bantu anak agar bisa menangani emosinya dan berusaha menenangkan diri.
Semua solusi itu membantu anak memahami diri mereka dengan lebih baik dan merasa mampu mengelola perasaan mereka. Tentu upaya itu perlu dilakukan berulang-ulang.
Orangtua juga tidak bereaksi berlebihan terhadap emosi anak, tetap tenang menghadapi anak, serta membantu anak melatih keterampilan mereka mengelola emosinya.
Pemberian gawai untuk membuat anak berumur 3-5 tahun tenang hanya mengalihkan perhatian mereka dari apa yang mereka rasakan, tidak mengajarkan anak keterampilan mengelola emosi.
Anak-anak yang tak memiliki keterampilan mengelola emosi saat kanak-kanak cenderung berusaha lebih keras saat menghadapi stres ketika sudah sekolah, bertemu teman sebaya, atau saat bertambah tua. Karena itu, dampak gawai untuk menenangkan anak balita itu nyata hingga mereka dewasa.