Kaum muda kini cenderung menunda menikah. Hal ini seiring tumbuhnya kesadaran di kalangan mereka tentang pentingnya kesiapan finansial dan karier sebelum menikah.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam lima tahun terakhir, usia rata-rata pernikahan cenderung mundur. Fenomena itu terjadi disebabkan antara lain pergeseran gaya hidup modern hingga trauma yang ditimbulkan dari sebuah relasi antarpribadi.
Ossie Alvionita (29), karyawati sebuah perusahaan tambang di Jakarta, misalnya, betah melajang karena fokus pada karier dan menikmati bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. ”Kalau sudah menikah, bisa terpaksa berhenti bekerja. Jadi dinikmati dulu bekerja dan mencari uang,” ujarnya, di Jakarta, Sabtu (24/12/2022).
Selain faktor karier, dia berulang kali gagal dalam menjalin relasi percintaan sehingga membuatnya lebih selektif memilih pasangan. Dengan demikian, ketika menikah nanti, dia ingin bersama dengan orang yang tepat.
Hal senada diungkapkan Andika Ruly (27), fotografer di salah satu rumah produksi di Jakarta. Selain kegagalan dalam hubungan, biaya pernikahan yang mahal menjadi pertimbangannya.
”Maunya menikah dengan calon istri nanti yang sederhana, tetapi tidak bisa semua tergantung kita. Ada keluarga juga yang diundang,” kata Andika. Dia menilai, kehidupan setelah menikah akan berat dengan berbagai macam kebutuhan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, Indonesia masih jauh dari fenomena resesi seks. Namun, rata-rata usia pernikahan mengalami kemunduran.
”Kami mencatat, lima tahun lalu angka rata-rata menikah pada perempuan di usia 20 tahun. Saat ini mundur di 22 tahun,” kata Hasto, dihubungi Sabtu. Meski begitu, usia pertama kali berhubungan intim maju dari umur 17 tahun kini menjadi usia 15 tahun.
Meskipun belum ada batasan formalnya, menikah terlalu tua dapat dimaknai sebagai menikah di usia yang lebih dari usia ideal menikah.
Dari sisi kesehatan reproduksi, menikah terlalu tua memiliki usia reproduksi terbatas atau pendek. Usia reproduksi yang pendek atau terbatas dapat berpengaruh pada jumlah anak yang dilahirkan misalnya seharusnya bisa memiliki dua anak dengan jarak cukup, menjadi hanya bisa satu anak.
”Secara alamiah, siklus pada tubuh (terutama perempuan) memiliki fase terbaik untuk dapat melakukan atau menjalani proses reproduksi yang sehat,” kata Hasto.
Sebelum berusia 21 tahun sebaiknya tidak terjadi kehamilan karena secara medis alat reproduksi perempuan belum cukup matang untuk melakukan fungsinya. Kehamilan yang terlalu tua terjadi di atas usia 35 tahun.
Di atas usia 35 tahun disebut fase stopping (berhenti hamil atau tidak hamil lagi) karena secara medis kemampuan alat reproduksi menjalankan fungsinya menurun. Menikah di usia terlalu muda dan terlalu tua berisiko komplikasi medis dan perdarahan, preeklampsia, ketuban pecah dini (KPD), bayi lahir prematur, hingga kematian ibu.
Mapan
Hasil Survei Kesiapan Hidup Berkeluarga pada Remaja Akhir di Indonesia (BKKBN, 2021) dengan responden remaja usia 20 sampai 24 tahun dan belum menikah 7.322 orang di 34 Provinsi menunjukkan 49 persen responden menyatakan usia menikah ideal bagi laki-laki di atas 25 tahun, dan 43 persen menyatakan 25 tahun, hanya 8 persen yang menyatakan di bawah umur 25 tahun.
Sementara untuk usia menikah ideal perempuan 85 persen menyatakan di usia 21 tahun sampai 24 tahun, 11 persen di atas 24 tahun, dan hanya 4 persen yang menyatakan di bawah usia 21 tahun.
Ketika ditanya terkait rencana usia menikah dirinya, 28 persen memilih di usia di atas 25 tahun, 34 persen memilih di usia 25 tahun, dan 38 persen memilih kurang dari 25 tahun.
Alasan ingin menikah di usia tersebut adalah pendidikan sudah selesai (61,3 persen), siap secara mental dan finansial (60,1 persen), karier mapan (56,7 persen), kesempatan untuk mudah hamil dan memiliki anak sehat (26 persen), dan ibadah (2,3 persen).
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti mengutarakan, dari data itu dapat disimpulkan bahwa anak muda enggan menikah buru-buru karena mereka memilih menyelesaikan pendidikan terlebih dulu.
Menariknya, anak muda sudah menyadari pentingnya memiliki kesiapan sebelum menikah, di antaranya kesiapan mental dan finansial serta memiliki karier yang mapan.
Usia menikah yang cenderung mundur dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan. Faktor individu dimaksud seperti hasil survei kesiapan berkeluarga, bahwa anak muda enggan menikah buru-buru karena memilih menyelesaikan pendidikan terlebih dulu dan menyadari pentingnya memiliki kesiapan sebelum menikah, di antaranya kesiapan mental dan finansial serta memiliki karier mapan.
Dari aspek lingkungan, tuntutan keluarga dan lingkungan untuk segera menikah pun menurun. Sebab, keluarga dan lingkungan makin realistis terhadap beban hidup setelah menikah yang cukup berat. Paparan informasi terkait dampak menikah di usia anak, aspek perundang-undangan, bisa memengaruhi perubahan tersebut.
Panutan
Psikolog Remaja dan Anak Muda Lulusan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Rianti Widiastuti, mengatakan, faktor media sosial dan derasnya arus informasi juga memengaruhi mundurnya usia rata-rata menikah pada anak muda di Indonesia.
”Di media sosial sering ditemui informasi mengenai sulitnya kehidupan setelah menikah. Itu menjadi pengaruh utama juga,” kata Rianti. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, sampai perselingkuhan juga mewarnai media sosial memengaruhi keputusan anak muda dalam berumah tangga.
Tidak adanya figur contoh kehidupan setelah menikah yang baik juga menambah pertimbangan anak muda untuk menikah sehingga banyak anak muda lebih fokus pada karier dan keuangannya ”Jadi terkesan menikah menakutkan. Padahal tergantung sudut pandang. Informasi yang didapatkan sangat memengaruhi, terlebih jika jauh dari orangtua,” ujar Rianti.
Dia menambahkan, ada faktor trauma dalam setiap orang misalnya pernah diselingkuhi atau gagal dalam sebuah hubungan. Situasi itu membuat banyak anak muda cenderung lebih selektif memilih pasangan.
”Semua kembali lagi ke individu. Namun, sebaiknya yang sudah dewasa secara individu, mental, bisa berpikir untuk serius. JIka ragu, jangan sungkan untuk bercerita ke sahabat, keluarga, bahkan profesional dalam merencanakan pernikahan,” kata Rianti.