Kesempatan Kerja di Sektor Formal bagi Disabilitas Semakin Terbuka
Meski kesempatan kerja bagi disabilitas kian terbuka, masih banyak pekerjaan rumah terkait keberadaan karyawan disabilitas di sektor formal.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di sektor formal semakin terbuka. Namun, kesempatan ini perlu didukung dengan pengembangan kemampuan serta keterbukaan perusahaan dalam penerimaan karyawan dengan disabilitas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, hingga Februari 2022 dari 17 juta difabel usia produktif baru 7,6 juta orang yang bekerja di sektor formal maupun non-formal. Data pada 2021, hanya 5.825 penyandang disabilitas yang bekerja dengan rincian 1.271 orang di BUMN dan 4.554 orang di perusahaan swasta.
Disability Inclusion Officer di Unicef Indonesia I Made Wikandanda yang juga penyandang tunanetra mengatakan, kesempatan bekerja di sektor formal bagi penyandang disabilitas saat ini semakin terbuka. Terbukti dengan keberadaannya di Unicef. Pekerjaan yang dikerjakan oleh orang normal bisa juga dikerjakan olehnya.
”Banyak teman saya penyandang disabilitas yang bekerja di pemerintahan sampai programmer juga ada dan diterima. Hal itu menandakan kami (disabilitas) juga bisa setara,” tutur Wikandanda pada diskusi umum bertajuk ”Ruang Dialog Lintas Pengalaman Edisi Hak Asasi Manusia-Hak Akses Pekerjaan” yang dilaksanakan Indika Foundation melalui toleransi.id di Jakarta pada Sabtu (17/12/2022).
Dia menambahkan, kunci dari keberhasilan kariernya adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, mengubah pandangan kekurangan dari seorang disabilitas menjadi sebuah kelebihan yang terlihat unik. Menurut dia, hal unik itulah yang kemudian dilihat oleh perusahaan sebagai nilai tambah.
Namun, dia menilai masih banyak pekerjaan rumah mengenai keberadaan karyawan disabilitas di sektor formal. Faktor yang mendukung hal itu ialah pelatihan dan pengembangan penyandang disabilitas serta kesadaran dari perusahaan di Indonesia masih kurang.
”Maka, seringnya kita lihat disabilitas berjuang sendiri untuk meraih mimpinya. Perlu adanya kolaborasi lintas sektor agar disabilitas juga bisa lebih banyak bekerja di sektor formal sesuai dengan bidangnya,” kata Wikandada, lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang.
Perlu adanya kolaborasi lintas sektor agar disabilitas juga bisa lebih banyak bekerja di sektor formal sesuai dengan bidangnya.
Kebijakan perlindungan bagi pekerja disabilitas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun UU itu masih menggunakan istilah ”penyandang cacat”, istilah ini tidak lagi digunakan sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Orang dengan Disabilitas atau Convention on the Rights People with Disabilities (CRPD) yang disahkan melalui UU Nomor 19/2011.
Lebih lanjut, hak pekerja dengan disabilitas diatur secara terperinci dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 11 UU No 8/2016, yakni mereka berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, BUMN, atau swasta tanpa diskriminasi.
Dalam UU tersebut disebutkan juga hak memperoleh upah yang sama dengan pekerja non-disabilitas; memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; mendapatkan program kembali bekerja; penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat.
Kemudian, dalam UU itu juga diatur hak memperoleh kesempatan mengembangkan jejaring karier serta hak normatif yang melekat di dalamnya; dan, memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.
Cita-cita
Dosen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Mohammad Arif Taboer, menilai, semakin banyaknya penerimaan penyandang disabilitas merupakan sebuah kabar baik. Hal ini juga bisa didukung dengan menanamkan keterampilan serta pengetahuan mengenai jenjang karier sejak di sekolah.
”Tujuan sekolah inklusi sebenarnya bagus, tetapi tujuan ke depannya agar ABK (anak berkebutuhan khusus) dan disabilitas lainnya bisa mandiri serta dianggap setara. Di masa depan, saya berharap dunia tanpa disabilitas sudah tidak ada, dan itu mungkin terjadi jika pendidikan dan pola pikir masyarakat kita sudah berubah,” katanya.