Target Perjanjian Paris Memperburuk Ketidakadilan Iklim bagi Negara Kepulauan
Mencairnya es Antartika yang semakin cepat bisa meningkatkan muka air laut setinggi 58 meter dan negara-negara kepulauan menjadi daerah yang paling terancam.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika dunia berfokus untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 atau maksimal 2 derajat celsius di atas suhu rata-rata praindustri, peningkatan muka air laut dari lapisan es yang mencair telah mengancam kelangsungan hidup negara kepulauan dan pesisir di seluruh dunia. Mencairnya Es Antartika yang semakin cepat bisa meningkatkan muka air laut setinggi 58 meter.
Penelitian terbaru dari para peneliti University of Massachusetts Amherst, yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Earth’s Future pada 9 Desember 2022, menunjukkan, bahkan target suhu yang paling optimistis pun dapat menyebabkan bencana kenaikan permukaan laut. Hal tersebut saat ini telah memengaruhi kehidupan masyarakat di negara-negara kepulauan.
Sementara kenaikan suhu memiliki banyak efek buruk pada ekosistem global, ekonomi, dan kesejahteraan manusia, tim peneliti interdisipliner di University of Massachusetts ini menekankan bahwa menekan kenaikan suhu saja bukanlah dasar yang cukup untuk kebijakan iklim. Tim berfokus pada lapisan Es Antartika, yang menyimpan air tawar terbesar di dunia, cukup untuk meningkatkan muka air laut setinggi 58 meter. Padahal, lapisan es ini sekarang mencair dengan semakin cepat.
Karakteristik fisika lapisan es itu sendiri diketahui berkontribusi pada pencairannya, yang akan berlanjut selama ribuan tahun, bahkan jika emisi karbon global pada akhirnya bisa dikendalikan. Karena es yang mencair dapat memperlambat kenaikan suhu di atmosfer, dapat dibayangkan bahwa lapisan es yang mencair bisa membantu mempertahankan apa yang umumnya dianggap sebagai tingkat pemanasan ”aman” sekitar 1,5 derajat. Namun, pada ambang suhu itu, kenaikan permukaan laut tetap tak akan terhenti dan akan sampai pada titik yang menghancurkan.
Para peneliti juga menemukan, semua lelehan air Antartika itu tidak akan menyebabkan kenaikan permukaan laut dalam jumlah yang sama di mana pun di dunia. Beberapa daerah di Laut Karibia serta Samudra Hindia dan Pasifik akan mengalami kenaikan permukaan laut yang tidak proporsional dari es Antartika, yaitu mencapai 33 persen lebih tinggi dari rata-rata global.
Kesenjangan antara suhu dan permukaan laut ini memiliki dampak langsung di banyak tempat di seluruh dunia dan terutama untuk Aliansi Negara Pulau Kecil (AOSIS), sebuah organisasi yang terdiri dari 39 negara pulau dan pesisir di seluruh dunia. Penulis makalah menunjukkan bahwa, meskipun negara-negara AOSIS hanya mengeluarkan sebagian kecil dari gas rumah kaca antropogenik di planet ini, mereka menanggung beban kenaikan air terbesar.
”Suhu bukan satu-satunya cara untuk melacak perubahan iklim global,” kata Shaina Sadai, penulis utama makalah tersebut.
Akan tetapi, pembatasan suhu menjadi metrik ikonik dalam Perjanjian Paris. ”Mengetahui bahwa pencairan Antartika dapat menunda kenaikan suhu sekaligus menaikkan permukaan laut, saya bertanya-tanya apa artinya bagi keadilan iklim. Namun, ilmu iklim saja tidak dapat menjawab pertanyaan tentang keadilan itu,” tuturnya.
Enter Regine Spector, profesor ilmu politik di University of Massachusetts Amherst yang menjadi penulis senior makalah, mengatakan, negara-negara yang kuat secara politik memengaruhi negosiasi iklim global dan melanjutkan pola sejarah eksploitasi kolonial yang dialami oleh negara-negara AOSIS. ”Berfokus pada suhu melewatkan konsekuensi nyata lain dari perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, yang dirasakan di seluruh dunia saat ini,” kata Spector.
Tim menunjukkan bahwa pendekatan penelitian interdisipliner, yang berpusat pada pengalaman negara-negara AOSIS, dapat digunakan untuk lebih memahami dampak keadilan iklim dari negosiasi internasional dan hubungan antara sains, kebijakan, dan kekuatan politik. ”Kita perlu mendengarkan suara orang-orang yang menjadi garda terdepan perubahan iklim,” ujar Sadai dan Spector.