Mengenal ”Stiff-Person Syndrome”, Kekakuan pada Otot akibat Autoimun
Rasa kaku pada otot batang tubuh patut dicurigai sebagai gejala penyakit ”stiff-person syndrome”. Meski merupakan penyakit langka, penyakit ini tetap harus diwaspadai. Tata laksana dini bisa meningkatkan kualitas hidup.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Baru-baru ini dunia dikejutkan dengan pernyataan yang disampaikan Celine Dion (54) lewat video di media sosialnya mengenai penyakit stiff-person syndrome yang dideritanya. Akibat penyakit itu, penyanyi legendaris tersebut akhirnya menunda sejumlah pertunjukan yang seharusnya dimulai pada 2023.
Stiff-person syndrome merupakan penyakit langka yang ditemukan pada satu atau dua orang dari 1 juta populasi penduduk. Merujuk data Pusat Informasi Penyakit Langka dan Genetik (GARD), penyakit ini lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Staf Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Dyah Tunjungsari, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/12/2022), mengatakan, penyakit stiff-person syndrome merupakan kelainan saraf yang terjadi pada sistem saraf pusat. Penyakit ini memiliki gejala klinis utama berupa kekakuan pada otot, terutama otot yang berada di batang tubuh (torso) dan kekakuan di area otot di sekitar batang tubuh, seperti otot panggul, paha, dan lengan atas.
”Pada dasarnya, penyakit ini merupakan kelainan autoimun di mana tubuh salah mengenali sinyal dan menganggap bahwa saraf merupakan benda asing yang harus diserang. Jadi, antibodi yang terbentuk akhirnya menyerang saraf,” tuturnya.
Dyah menjelaskan, penyebab penyakit autoimun ini hingga sekarang belum diketahui pasti. Namun, penyakit stiff-person syndrome bisa dipicu suatu kondisi keganasan yang terjadi pada pasien, seperti kanker ataupun gangguan autoimun lain. Untuk itu, penyakit yang menyebabkan kekakuan pada otot ini bisa menjadi efek samping dari penyakit utama yang dialami pasien.
Gejala
Gejala kekakuan pada otot yang terjadi pada pasien stiff-person syndrome umumnya terjadi secara bertahap. Pada kondisi yang lebih buruk, biasanya kekakuan yang terjadi akan disertai rasa nyeri berlebihan.
Pada kondisi tertentu, gejala tersebut bisa menyebabkan gangguan pada anggota gerak tubuh sehingga pasien menjadi kesulitan berjalan. Pasien pun akan memiliki kepekaan yang lebih besar akibat rangsangan pada saraf, seperti suara yang bising, sentuhan, serta tekanan emosional. Rangsangan tersebut juga bisa memicu terjadinya kekakuan atau kejang pada otot.
Pada dasarnya, penyakit ini merupakan kelainan autoimun di mana tubuh salah mengenali sinyal dan menganggap bahwa saraf merupakan benda asing yang harus diserang. Jadi, antibodi yang terbentuk akhirnya menyerang saraf. (Dyah Tunjungsari)
Profesor Neurologi di Mayo Clinic, Andrew McKeon, dalam Washington Post,menyebutkan, stiff-person syndrome akan memengaruhi saraf pada sumsum tulang belakang dan neuron di otak yang mengatur gerak. Ketika sistem saraf terangsang, sinyal yang dikirim ke otot pun akan melonjak sehingga akhirnya dapat menyebabkan kekakuan atau kejang pada otot.
”Seluruh tubuh dari seseorang dengan stiff-person syndrome dapat mengalami kejang saat terkejut atau dalam situasi lain. Itu juga dapat membuat pasien berisiko jatuh dan cedera,” katanya.
Asisten profesor dari Universitas Yale, Kunal Desai, menyampaikan, kekakuan otot pada batang tubuh dan kaki bisa terjadi secara konstan dan amat menyakitkan. Pasien pun bisa merasa sangat tidak nyaman.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Celine Dion dalam videonya. Ia mengungkapkan, gejala yang dialaminya sampai memengaruhi kehidupan sehari-harinya. Terkadang ia kesulitan dalam berjalan, bahkan tidak memungkinkan untuk menggunakan pita suaranya untuk bernyanyi seperti biasa.
Gejala yang muncul pada pasien, menurut Dyah, tidak terjadi secara mendadak. Akan tetapi, jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat, gejala akan berkembang secara progresif hingga akhirnya memburuk. Risiko terburuk seseorang bisa mengalami kecacatan.
Oleh sebab itu, deteksi dini penting bagi penderita stiff-person syndrome. Tata laksana tepat sejak dini dapat menekan risiko disabilitas. Meski tidak bisa 100 persen hidup seperti orang tanpa stiff-person syndrome karena risiko kekambuhan masih bisa terjadi, pasien tetap bisa beraktivitas.
Sejumlah pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendiagnosis stiff-person syndrome. Pemeriksaan penunjang seperti wawancara serta pemeriksaan fisik umum dan neurologis dapat dilakukan terlebih dahulu. Apabila ada kecurigaan pada fungsi otot dan saraf, pemeriksaan laboratorium akan dilakukan melalui tes darah yang mengukur kadar antibodi GAD (asam glutamat dekarboksilase).
Kekakuan otot juga bisa ditemukan pada pasien stroke, radang otak, ataupun kelainan otot lainnya. Namun, secara spesifik, pasien stiff-person syndrome memiliki kadar antibodi GAD yang sangat tinggi. Setelah itu, pemeriksaan lanjutan akan dilakukan untuk menentukan jenis stiff-person syndrome yang dialami pasien.
Sayangnya, pemeriksaan untuk deteksi stiff-person syndrome cukup mahal dan belum ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Kesadaran masyarakat akan penyakit ini juga minim. Akibatnya, sebagian besar pasien sudah dalam kondisi yang berat.
Dyah mengatakan, mengacu pada data RSCM, setidaknya kurang dari 10 kasus ditemukan dalam lima tahun terakhir. Sebagian besar sudah dalam kondisi yang buruk. Bahkan, pada kasus yang dicurigai sebagai stiff-person syndrome tidak segera diperiksa lebih lanjut karena kendala biaya.
Terapi
Penyakit stiff-person syndrome tidak bisa disembuhkan. Tetapi, penyakit ini bisa dikontrol melalui sejumlah terapi. Tata laksana yang diberikan ditujukan untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan.
Dyah mengatakan, terapi imunomodulator bisa diberikan untuk pasien dengan menggunakan IVIG (intravenous immunoglobulin) untuk menumpulkan respons imun tubuh.
Selain itu, pengobatan untuk penyakit lain yang diderita oleh pasien juga tetap harus diberikan. Sebab, umumnya pasien stiff-person syndrome juga memiliki kondisi keganasan lain.
”Itu sebabnya tata laksana pada pasien stiff-person syndrome berkolaborasi dengan pakar lain. Untuk mengelola stres yang dapat memicu kekambuhan, misalnya, perlu bekerja sama dengan psikiater. Diharapkan, kekambuhan bisa dicegah,” kata Dyah.