Tak Kenal Lelah, Pelajar Terus Menyuarakan Keberagaman dan Toleransi
Pelajar Indonesia terpanggil untuk menguatkan sikap toleransi pada keberagaman. Keberpihakan pada pluralisme terus disuarakan pelajar dengan berkolaborasi dan berjejaring.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Siswa SMA Al-Izhar Pondok Labu dan SMA Kolese Kanisius Jakarta, sejak tahun 2017 lewat Ragamuda terus menyuarakan keberagaman dan toleransi. Kebersamaan para pelajar dari dua institusi pendidikan berlatar belakang agama berbeda ini kian kokoh menunjukkan: keberagaman bukan beban tetapi keuntungan bagi identitas Indonesia di mata dunia.
Keragaman Indonesia yang justru memberi keuntungan pada munculnya banyak pemikiran, ide, dan gagasan dengan tetap saling menghargai dan toleransi itu semakin dikokohkan lewat diskusi bersama dari para pelajar SMA. Hal ini tidak lagi hanya didengungkan dari Jakarta, tetapi meluas ke Bogor, Papua, Padang, Bali, Yogyakarta, dan Maluku Utara melalui diskusi Ciptakarsa alias Cinta Perbedaan Karsa Persatuan Indonesia yang digelar secara daring dan luring yang berpusat di SMA Al-Izhar Pondok Labu, di Jakarta, Selasa (13/12/2022). Dalam kesempatan itu, para siswa saling bertukar pikiran tentang pandangan mereka mengenai arti keberagaman, politik identitas, kelompok mayoritas–minoritas, jender, serta sikap untuk mampu mengatakan tidak pada radikalisme dan intoleransi.
Ketua OSIS SMA Al-Izhar Pondok Labu Neema Amila Suwanda mengatakan webinar Ciptakarsa sebagai acara lanjutan Ragamuda yang diadakan pada Agustus lalu. “Di kedua kedua acara ini terdapat komponen penting bagi penerus bangsa yakni toleransi terhadap kergaaman karena masyarakat butuh hidup harmonis dan damai,” kata Neema.
Menurut Neema, para pelajar darI SMA Al-Izhar dan SMA Kolese Kanisius sebagai perwakilan siswa-siswi Indonesia merasa terpanggil untuk terus menyuarakan dan menunjukkan aksi nyata pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari. “Kami di Sekolah Al-Izhar sudah terbiasa menjalani pendidikan yang penuh toleransi. Kami ingin terus membangun kesadaran pada keberagaman dan toleransi di kalangan para pelajar Indonesia,” kata Neema.
Gerakan Ragamuda dari kata ragam dan muda yang menggambarkan generasi muda yang berasal dari bergama latar belakang ini untuk menjawab kondisi sosial di masyarakat di Jakarta pada 2017 yang sempat “terpecah”. Politik identitas dalam pemilihan kepala daerah membuat warga DKI Jakarta menjadi sulit untuk menerima perbedaan pilihan politik dan merobek praktik tolearnasi yang selama ini ada. Gerakan Ragamuda secara aktif mengkampanyekan #PLURALisME.
Perbincangan para siswa dari berbagai daerah ini, dari sekolah Islam, Kristen, Katolik, serta umum ini, berlangsung dalam suasana penuh persaudaraan. Semua saling menghargai pendapat dan buah pikiran yang beragam dengan semangat toleransi.
Ketika ditanya bagaimana jika justru guru di sekolah yang “memprovokasi” para siswa dengan paham radikalisme dan menonjolkan sebagai mayoritas, Bennaya Jonathan dari Dewan Presidium SMA Kolese Kanisius Jakarta memberi sebuah analogi atas pemikiran radikalisme yang faktanya juga mulai menyasar ke kalangan muda. “Kayak pandemi Covid-19, kan banyak virus. Namun kita pakai masker untuk bisa menyaring virus sehingga ada penghalang. Ketika kita punya fondasi Pancasila dan literasi, upaya provokasi dan radikalisme ada penyaringnya," kata dia.
Maka, lanjut Bennaya, penting bagi para pelajar untuk membaca dan mengonfirmasi yang disampaikan guru atau pihak lain. Juga melakukan pengecekan fakta supaya generasi mdua tidak terpengaruh politik identitas.
Komang Indraprasta, pelajar SMA dari Bali juga meyakini keberagaman bukan beban bagi Indonesia, tapi justru keberuntungan. “Membuat kita saling menghargai dan membuat hidup berwarna dengan berbagai perbedaan, namun dengan tujuan sama,” kata Komang.
Segala perbedaan dan keberagaman yang negara kita miliki tidak boleh menjadi sumber konflik dan perpecahan, baik dalam skala internal terkecil maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepala Sekolah SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu Muh Ridwan menyambut baik para pemuda yang berkreasi dan berkarya lewat Ciptakarsa. Di masa kini, transformasi digital sudah masuk dalam kehidupan sehari-hari generasi muda yang menghadirkan tantangan berbeda dari generasi sebelumnya.
“Tiap siswa dari ujung Papua sampai Aceh, harus tetap tangguh dan memiliki welas asih dan cinta Tanah Air. Kita bisa mengambil porsi terbaik untuk menguatkan NKRI. Apalagi tahun 2023 tahun politik. Isu-isu kebangsaan akan dihadapi karena para pelajar ini sebagai pemilih pemula di tahun 2024. Kami berharap supaya para pelajar ini berpikir dengan jernih dan merdeka,” kata Ridwan.
Pendidikan toleransi
Secara terpisah, di webinar internasional bertema “Membangun Budaya yang Menghormati Keberagaman dan HAM melalui Pendidikan Toleransi” yang digelar Kementerian Hukum dan HAM dengan Institut Leimena, pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, mengatakan keberagaman yang dimiliki Indonesia menimbulkan polemik dan problematika yang tidak dapat dicegah. Itulah sebabnya, pendidikan toleransi menjadi penting diterapkan oleh sekolah atau lembaga pendidikan agar setiap insan memiliki prinsip menghargai perbedaan dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.
“Permasalahan yang muncul kini semakin kompleks, antara lain meningkatnya kasus radikalisasi, perseteruan, kekerasan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain atau intoleransi. Salah satu upaya untuk dapat meminimalisir polemik yang diakibatkan keberagaman adalah dengan meningkatkan toleransi,” kata Yasonna .
Yasonna menegaskan sekolah dan lembaga pendidikan harus dapat menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung nilai dan sikap toleransi. Pendidikan toleransi sejatinya dipraktikkan dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dalam pendidikan. “Segala perbedaan dan keberagaman yang negara kita miliki tidak boleh menjadi sumber konflik dan perpecahan, baik dalam skala internal terkecil maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dan Senior Fellow Institut Leimena, Siti Ruhaini Dzuhayatin memaparkan hasil penelitian bersama Kalijaga Institute For Justice untuk SMP dan SMA di daerah Solo Raya. Riset itu untuk menggali faktor yang mengubah daerah yang awalnya sangat terbuka, namun dalam kurun sekitar 25 tahun menjadi hotspot tindakan kekerasan dan ekstremisme. Penelitian itu menemukan sejumlah alasan di antaranya kurangnya kurikulum tentang kebudayaan dan aspek-aspek kebudayaan substantif. Sekolah menjadi sangat instruktif dan proses pembelajaran bersifat instrumental.
“Selain itu, muatan dari kurikulum kita sangat padat sekali dengan pengetahuan tapi secara afeksi sangat kurang sekali,” kata Ruhaini.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, mengatakan dukungan terhadap keragaman dan HAM secara eksplisit tertera dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang masih berlaku sampai saat ini. “Sayangnya, tidak banyak pemangku kepentingan dunia pendidikan mengetahui kehadiran pasal yang sangat krusial untuk pendidikan keragaman dan HAM,” kata Henny.
Dia mencontohkan situasi di Sumatera Barat di mana terdapat peraturan daerah (perda) yang mewajibkan penggunaan jilbab sebagai seragam di sekolah negeri. Henny mempertanyakan seberapa jauh pemerintah daerah memahami spirit UU Sisdiknas terutama untuk mendukung keragaman Indonesia.
Guru Besar Emeritus Kebijakan Pendidikan Internasional Universitas Vanderbilt, Stephen Heyneman, mengatakan pendidikan toleransi bisa dikembangkan lewat kurikulum maupun praktik/pengalaman di sekolah. Kurikulum artinya secara aktif dan sengaja mendorong kehidupan toleransi dan empati. Sedangkan, praktik berarti guru memberikan teladan kepada murid bagaimana harus bersikap terhadap orang yang berbeda.