Atasi Kurang Gizi dengan Memanfaatkan Lahan Mandiri
Protein hewani sangat diperlukan dua hari sekali untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Selama ini, sering kali ibu hanya fokus pada pertumbuhan tinggi anak saja.
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari separuh penduduk Indonesia tidak mampu makan makanan bergizi. Pemanfaatan lahan mandiri dapat menjadi alternatif untuk memenuhi gizi lengkap bagi masyarakat.
Masalah kekurangan gizi bukanlah masalah baru di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi, permasalahan ini belum menemui penyelesaian pasti.
Selain program pemerintah dengan memberikan bantuan telur dan susu kepada anak-anak kurang gizi, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat untuk bisa memanfaatkan lahan secara produktif.
Hal itu disampaikan Guru Besar purnabakti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang juga anggota Kelompok Kerja Ahli Pangan Badan Pangan Nasional, Endang L Achadi, Sabtu (10/12/2022). Sumber pangan yang mengandung gizi lengkap dapat didapatkan dengan mudah dan ada di sekitar masyarakat.
”Kebutuhan pangan selain ada di pasar yang disediakan pemerintah, masyarakat juga bisa mendapatkannya di sekitar lingkungan. Misalnya, masyarakat yang tinggal di sekitar sungai dapat memancing ikan untuk memenuhi protein hewani,” kata Endang.
Protein hewani sangat diperlukan dua hari sekali untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Menurut dia, selama ini yang dia temui, ibu hanya fokus pada pertumbuhan tinggi anak saja.
Dia menambahkan, penyediaan sayur, buah, dan protein bisa dilakukan dengan menanam di pekarangan warga. Sedangkan masyarakat yang tinggal di perkotaan bisa memanfaatkan media tanam menggunakan pot secara mandiri. Jenis sayur-mayur tidak harus bayam dan kangkung, misalnya, tetapi juga bisa daun kelor yang bisa dimanfaatkan.
”Pemenuhan gizi di rumah tangga memang tidak boleh dianggap remeh. Tidak bisa makan nasi dan lauk saja, harus ada buah dan sayur. Kita kaya dengan sumber daya alam, tapi sangat disayangkan pemenuhan gizi masyarakat masih sulit,” ucapnya.
Menurut dia, sumber pangan bergizi dan juga murah bisa didapatkan dengan mudah, tapi keinginan atau keingintahuan untuk mendapatkannya yang semakin luntur di masyarakat. Apalagi, dampak pemanasan global juga memengaruhi produksi pangan.
Tim jurnalisme data harian Kompas menghitung biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang atau sehat sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasarkan standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut.
Baca juga: Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi
Pola pikir
Senada dengan Endang, Dokter Ahli Gizi Masyarakat Tan Shot Yen menilai, masalah kurangnya gizi masyarakat Indonesia dipengaruhi juga dengan pola pikir masyarakat. Menurut dia, perlu digencarkan literasi dan edukasi pangan agar hal yang dilakukan pemerintah bisa berjalan optimal.
”Setiap jengkal Tanah Air kita kaya, apalagi lautnya melimpah ikan. Sayangnya, petani dan nelayan melaut atau panen untuk dijual. Kebanyakan uang digunakan membeli makanan perkotaan, seperti makanan kemasan dan cepat saji. Semua berawal dari masalah literasi dan edukasi yang sangat kurang,” kata Tan.
Dia menambahkan, saat ini semakin banyak bayi mengonsumsi susu formula agar dianggap bergengsi. Padahal, ASI eksklusif lebih sehat untuk bayi. Selain itu, ibu tidak makan sesuai dengan kebutuhan.
”Sedihnya, saat ini di posyandu malah gencar (promosi) konsumsi formula. Seharusnya lebih digalakkan untuk pemenuhan makanan bergizi yang sumbernya mudah didapatkan. Pendidikan gizi di sekolah juga sudah tidak pernah ada,” kata Tan. Dengan edukasi, program yang dibuat pemerintah akan lebih tepat sasaran dan maksimal.
Kearifan pangan lokal tidak boleh sebatas jargon. Tan menilai saat ini anak lebih menghargai aneka makanan negeri orang, bahkan lebih fasih menyebut pizza dan kimchi atau onigiri. Padahal, kita punya lemper, karedok, kapurung, lepet, otak-otak, dan masih banyak makanan yang lebih sehat.
Baca juga: Makin Kaya, Makin Rendah Konsumsi Karbohidrat
Mengenai temuan fenomena kurangnya pemenuhan gizi masyarakat Indonesia, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi belum memberikan tanggapan.
Namun, dilihat dari laman Kementerian Kesehatan, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, pemerintah menargetkan kasus stunting turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk mengejar target tersebut, Kemenkes melakukan intervensi dengan pendekatan gizi spesifik.
”Pendekatan gizi spesifik ini akan mendampingi pendekatan gizi sensitif. Pendekatan gizi spesifik ini berkaitan dengan evaluasi dan pendekatan masalah gizi pada sasaran intervensi yang diberikan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan, bayi, anak, remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, dan ibu melahirkan,” ujar Dante dalam acara Forum Nasional Stunting 2022 di Jakarta, Selasa (6/12/2022), dikutip dari laman Kementerian Kesehatan.
Intervensi spesifik tersebut meliputi masa sebelum lahir dan setelah lahir. Intervensi spesifik sebelum lahir dilakukan pada remaja putri dan ibu hamil serta setelah lahir itu meliputi anak balita dan baduta (anak balita di bawah dua tahun) baik yang mempunyai gizi buruk maupun yang tidak mempunyai gizi buruk.
Ada 11 program intervensi spesifik sebelum lahir meliputi remaja putri konsumsi tablet tambah darah dan skrining anemia pada siswa kelas VII dan X. Selain itu, perlu dilakukan pula pemeriksaan kehamilan dengan dokter, termasuk pemeriksaan USG. Kemudian, ibu hamil disarankan mengonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan dan ibu hamil kekurangan energi kronis atau KEK mendapat tambahan asupan gizi protein hewani.