Upaya Indonesia Belum Cukup untuk Menahan Kenaikan Suhu
Ancaman dampak perubahan iklim sungguh nyata. Upaya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tercapai target ”net zero” pada 2050 mesti dilakukan. Jika semakin terlambat, risiko bencana akan kian besar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim kian parah, mulai dari banjir, kekeringan, hingga suhu panas ekstrem yang belum pernah terjadi. Perumusan kebijakan terkait dengan isu lingkungan dan perubahan iklim dalam mengurangi emisi gas rumah kaca atau GRK untuk mencapai target net zero pada 2050 mesti melibatkan semua pihak
Kebijakan itu juga harus sejalan dengan Kesepakatan Paris, yakni menahan laju panas bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Jika semakin terlambat dalam mengurangi emisi GRK, risiko dan dampak bencana iklim itu akan semakin besar
Hal ini disampaikan Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat Peluncuran Laporan dan Diskusi: Climate Action Tracker (CAT)-Indonesia Assessment 2022 melalui virtual, Selasa (6/12/2022).
Indonesia telah memperbarui target emisi dalam dokumen Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) pada September 2022. Target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) itu naik dari 29 persen menjadi 31,9 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Namun, berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT) yang bekerja sama dengan IESR menyatakan, kebijakan perubahan iklim Indonesia highly insufficient (sangat tidak memadai). ”Meskipun sudah ada target pengurangan emisi di dalam NDC, tetapi dalam penilaian CAT dan menurut kami juga kebijakan perubahan iklim Indonesia belum mendukung pencapaian target dalam Kesepakatan Paris,” ujar Fabby.
Climate Action Tracker (CAT), sebuah lembaga independen yang memantau pencapaian target NDC, mengelompokkan 120-an negara dalam empat ”zona”: hitam (critically insufficient), merah (highly insufficient), jingga (insufficient), kuning (almost sufficient), dan hijau (sufficient) (Kompas, 27/10/2021).
Menurut Fabby, jika semakin terlambat dalam upaya memangkas emisi GRK, risiko bencana iklim akan semakin besar, seperti bencana banjir, puting beliung, dan lainnya yang telah terjadi pada 2022 ini. Selain itu, biaya yang ditanggung untuk mengatasi krisis iklim juga akan semakin banyak ke depannya.
Shahnaz Firdaus, peneliti iklim dan energi IESR, menjelaskan, target penghentian (phase out) pembangunan dan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara pada 2050 itu belum cukup mendukung dalam menahan peningkatan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat celsius. PLTU itu menjadi salah satu sumber terbesar emisi karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lain.
”Penghentian operasional PLTU berbahan bakar batubara penting bagi dekarbonisasi Indonesia, karena saat ini kapasitas batubara masih menyumbang 61 persen dari listrik nasional dan diprediksi akan terus meningkat. Sementara itu, energi terbarukan masih menyumbang 11,5 persen dari bauran energi,” kata Shahnaz.
Pada kesempatan yang sama, Perencana Ahli Madya Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Erik Armundito mengatakan, pemerintah telah memiliki Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA). Aplikasi ini bertujuan untuk memantau kegiatan penanganan perubahan iklim di Indonesia.
Dari hasil pelaporan yang dilakukan kementerian dan lembaga dari 34 provinsi pada 2010–2020, tercatat 20.209 aksi pembangunan rendah karbon (PRK) yang sudah dilaporkan melalui AKSARA. ”Sebanyak 37.397 aksi penurunan karbon yang telah dilakukan pada tahun 2021. Bappenas akan terus mengajak para peneliti dan akademisi untuk mencapai target-target menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujar Erik.