Sekolah Inklusi, Menyemai Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas
Anak-anak dengan disabilitas masih jauh tertinggal akses pendidikannya. Karena itu, pendidikan inklusif di sekolah reguler jadi harapan tersedianya akses pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus, Arnezka Faira (tengah), berdiskusi dengan temannya di SMAN 66 Jakarta, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (2/11/2022). Semua sekolah negeri di DKI Jakarta diwajibkan untuk menerima anak berkebutuhan khusus. Merujuk pada Pasal 8 Ayat a Peraturan Gubernur Nomor 32 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru DKI Jakarta, anak berkebutuhan khusus dan disabilitas bisa mendaftar di sekolah reguler melalui jalur afirmasi.
Belum semua penyandang disabilitas usia anak menikmati layanan pendidikan formal di sekolah luar biasa ataupun sekolah inklusi. Padahal, pendidikan inklusi di sekolah-sekolah reguler menjadi harapan untuk dapat memperluas akses pendidikan yang bermutu bagi anak-anak yang menyandang disabilitas.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2021, baru 12,26 persen dari total penyandang disabilitas usia 5-19 tahun yang berjumlahnya hampir 2,2 juta orang menikmati layanan pendidikan formal.
Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember menjadi pengingat bahwa penyandang disabilitas memiliki kesetaraan seperti warga lainnya. Dalam pendidikan, akses pendidikan bagi semua juga menjadi hak mereka yang harus dipenuhi pemerintah dan masyarakat untuk memberdayakan mereka dengan mendukung layanan pendidikan inklusif yang bermutu.
Sekolah inklusi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah Mesya Azzahra (10), siswa kelas II di SD Negeri Sudimara Timur 2, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, menyelamatkannya dari kesulitan bersekolah. Mesya memiliki masalah penglihatan. Awalnya sang ibu, Hariati (36), ingin memasukkan Mesya ke SLB. Namun, rencana itu batal karena membutuhkan biaya besar.
”Pertama kali mendaftar di sekolah negeri lain, tetapi saat dijelaskan kondisi Mesya, sekolah tersebut menolak karena bukan sebagai sekolah inklusi. Mau ke SLB swasta, biayanya mahal,” ujar Hariati yang setiap hari mendampingi anaknya ke sekolah, Jumat (2/12/2022).
Baca juga: Pendidikan Inklusif Menjadi Kebutuhan Daerah dan Penyandang Disabilitas
Baru di semester ganjil tahun ajaran 2021/2022, Mesya didaftarkan ke sekolah inklusi yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama dengan siswa reguler. Setelah lebih dari satu tahun belajar di sekolah inklusi, Mesya mengalami kemajuan, terutama dalam membaca serta bergaul dengan temannya.
”Setelah bertemu dengan temannya yang lain, Mesya mulai tumbuh rasa percaya diri. Keinginan belajar juga semakin tinggi. Tak hanya di sekolah, tetapi di rumah dia juga mulai mau diajari,” kata Hariati.

Kelegaan bagi orangtua seperti Hariati yang tetap dapat memasukkan anaknya ke sekolah reguler sebagai sekolah inklusi bisa dipahami. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2020/2021, jumlah SLB milik pemerintah 595 sekolah (26,44 persen), sedangkan swasta 1.655 sekolah (73,56 persen).
Meski lebih sedikit, SLB negeri memiliki daya tampung cukup besar, yakni 42 persen, sedangkan swasta yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipat hanya sekitar 57,8 persen dari total 144.621 siswa disabilitas. Ada tantangan juga di SLB jumlah anak putus sekolah yang tinggi, baik di negeri maupun swasta.
Menjadi siswa di sekolah inklusi di SMAN 66 Jakarta membuat Nabiilatunnajaah yang mengalami gangguan penglihatan kategori low vision tetap bisa membuatnya belajar seperti siswa reguler lainnya. Dia harus mendekatkan matanya dengan obyek yang akan dilihat dengan jarak 2 sentimeter.
Untuk mencatat materi pelajaran, ia menggunakan alat khusus berupa riglet dan stylus serta buku dengan kertas yang lebih tebal. Riglet diletakkan pada kertas, kemudian stylus digunakan menusuk kertas untuk membentuk huruf Braille.
”Sewaktu belajar di kelas, kadang metode setiap guru berbeda. Ada guru yang meminta untuk dibacakan secara lisan, ada juga yang melalui pesan suara Whatsapp. Untung guru kebetulan ada satu orang yang mengerti huruf Braille, sangat membantu,” kata Nabiila yang berencana kuliah di bidang pendidikan.

Anak berkebutuhan khusus, Nabiilatunnajaah (kiri), mengajari teman sekelasnya untuk menggunakan Braille Note miliknya di SMAN 66 Jakarta, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (02/11/2022).
Siswa berkebutuhan khusus lainnya, Arnezka Faira Soerianto, sejak kecil sudah kehilangan rongga atas mulut, operasi bagian hidung, dan pengecilan pada bagian otaknya. Dia pun sulit untuk berbicara dan mendengar sehingga berkomunikasi dengan melihat gerakan bibir lawan bicaranya kemudian diiringi anggukan kepala yang menandakan iya atau tidak. Namun, proses komunikasi sering dilakukan dengan saling mengetik di gawai atau menulis di kertas.
Meski memiliki keterbatasan berkomunikasi, Arnezka tidak berkecil hati berada di antara teman-temannya. Pada saat di kelas, teman-teman Arnezka selalu dirotasi tempat duduknya sehingga siswa yang duduk di sebelah Arnezka selalu berganti.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Berhak Akses Pendidikan dan Pekerjaan
Guru pendamping
Keberadaan guru pendamping khusus (GPK) di sekolah inklusi cukup penting untuk membantu ABK mendapat pembelajaran khusus di ruang khusus. Namun, kelas khusus ini tidak sama di setiap sekolah. Di SD Negeri Sudimara Timur 2, GPK Pebri Eka Krismayana (23), menuturkan, kelas khusus bagi siswa ABK hanya dilaksanakan pada hari Selasa dan Jumat dalam satu minggu. Kelas khusus ini terbagi dalam sesi pagi pukul 08.00-09.00 dan sesi siang pukul 09.00-10.00
Sebanyak 13 siswa ABK di sekolah tersebut memiliki berbagai kekhususan, seperti tunagrahita, terlambat bicara atau speech delay, tunanetra, autisma, dan kebutuhan khusus lainnya. Menurut Pebri, setiap siswa ABK akan diajarkan dengan pendekatan berbeda-beda sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Seusai kelas khusus tersebut, para siswa ABK akan kembali ke kelas reguler masing-masing. Di kelas reguler terdapat siswa berjumlah lebih dari 30 orang dan akan ada satu atau dua siswa ABK.
”Hal yang selalu ditanamkan kepada siswa reguler bahwa tidak ada perbedaan pada diri mereka dengan siswa ABK. Jadi, mereka (siswa ABK) tetap mengikuti kelas reguler dengan pelajaran yang sama pula,” kata Pebri yang juga menjadi GPK di dua SD lainnya yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi pada 2021 oleh Pemerintah Kota Tangerang.

Anak-anak saat jam pulang sekolah di SDN Paninggilan 1, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Jumat (2/12/2022).
Kepala SMAN 66 Jakarta Deni Boy menuturkan, sejak menjadi sekolah inklusi pada 2006, semua guru di sekolah tersebut mendapatkan pelatihan dari Kemendikbudristek agar mereka memahami pelayanan serta metode mendidik ABK. Kurikulum Merdeka juga dilengkapi silabus pendidikan inklusi yang dapat diterapkan setiap sekolah sesuai kebutuhan.
”Setiap guru yang mengajar akan beraktivitas seperti biasa dan mendatangi langsung siswa difabel yang mengalami kesulitan,” ujarnya. Pendekatan yang dilakukan juga berbeda-beda bergantung pada jenis difabel siswa, misalnya penyandang tunanetra dibimbing memakai huruf Braille atau secara lisan. Untuk jenis difabel lainnya menyesuaikan kebutuhan siswa.
Di SMAN 66 Jakarta, dari jumlah total siswa 855 orang, ada 5 ABK. Ada satu anak penyandang tunanetra, satu lambat belajar atau slow learner, satu tunadaksa, satu tunarungu, dan satu tunawicara. Di sekolah ini terlihat fasilitas pendukung untuk ABK masih minim. Fasilitas pendukung yang tersedia seperti blok taktil (guiding block), buku-buku dengan huruf Braille, dan alat elektronik pendukung. Sebagian besar fasilitas tersebut disediakan sendiri oleh ABK.
Nabiila, misalnya, membawa tongkat untuk memandu jalan serta buku dan alat khusus untuk menulis huruf Braille. Sementara Arnezka juga membawa tablet dan gawai pribadi untuk menunjang proses pembelajarannya. Bagi mereka, ketidaktersediaan fasilitas bukan hambatan untuk menuntut ilmu.

Suasana kelas 9 di sekolah inklusi SMP Negeri 259 Jakarta Timur, Senin (3/12/2018).
”Fasilitas pendukungnya belum tersedia. Meski demikian, sekolah tetap mampu menampung dan mendidik mereka. Hal-hal yang dibutuhkan ABK juga akan dibantu dan dibimbing oleh gurunya masing-masing,” ujar Deni.
Sementara Wakil Sekolah Bidang Kurikulum SMP Negeri 28 Kota Tangerang Udin Saputra mengatakan, sekolahnya sudah menyiapkan fasilitas pendukung untuk menerima ABK. Fasilitas jalur pemandu juga telah dibangun di sekolah. Ada juga kelas khusus yang digunakan tiga hari seminggu seusai para ABK mengikuti kegiatan belajar-mengajar di kelas reguler.
”Pada tahun ajaran 2022/2023, ada sembilan siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini. Disediakan juga satu guru pendamping khusus untuk siswa tersebut,” kata Udin.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pendidikan khusus sangat erat dengan filosofi Merdeka Belajar. ”Tidak mungkin kita mencapai merdeka belajar tanpa sekolah inklusif,” ungkapnya.
Sekolah inklusi bisa menjadi salah satu alternatif ruang belajar selain SLB. Namun, persiapan sistem dan kebijakan pendukungnya kurang.
Saat ini tim di Kemendikbudristek mengkaji berbagai masukan dari masyarakat untuk merumuskan intervensi kebijakan agar bisa meningkatkan peran strategis SLB dan pendidikan khusus. Terkait peningkatan kompetensi guru, idealnya semua guru memiliki pengetahuan dasar mengenai pendidikan inklusif. ”Di dalam transformasi pendidikan profesi guru kita, komponen pendidikan khusus harus menjadi salah satu pilar yang utama,” ujar Nadiem.
Masih bermasalah
Secara terpisah, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengatakan, sekolah inklusi ini kerap ditunjuk dinas pendidikan daerah karena ada stigma anak difabel semestinya ada di sekolah khusus seperti SLB. Di sekolah inklusi juga kerap muncul masalah karena ketidaksiapan gurunya.
Menurut Edi, semestinya ada desain atas model sekolah inklusi, tetapi belum banyak yang mengkaji model sekolah inklusi yang potensial diterapkan. ”Sekolah inklusi bisa menjadi salah satu alternatif ruang belajar selain SLB. Namun, persiapan sistem dan kebijakan pendukungnya kurang,” tuturnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F23%2F54429ff0-3456-4d4e-8c44-933fb137658f_jpeg.jpg)
Murid penderita low vision mengikuti ujian nasional mata pelajaran Matematika dengan soal yang dibacakan oleh pengajar mereka di sekolah inklusi Madrasah Aliyah Negeri Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (5/4/2016). Keberadaan sekolah inklusi memungkinkan pelajar difabel mendapatkan kesempatan setara dengan murid lainnya dalam mengikuti ujian nasional dan meraih kelulusan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Conference on Special Education in South East Asia Region, di Bali, pada Juni lalu, menegaskan, penyandang disabilitas harus mendapatkan hak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara inklusif dan khusus.
Layanan sekolah inklusif masih menghadapi tantangan dalam lingkungan sekolah seperti ada penolakan dari sebagian orangtua atau masyarakat, pelecehan terhadap penyandang disabilitas, dan terbatasnya GPK yang berkompeten. Kendala lain adalah kemampuan mengadaptasi kurikulum dan pembelajaran masih rendah, serta ketersediaan media pembelajaran belum maksimal.