Untuk memulainya, anak-anak dapat memilah sampah menjadi dua jenis, organik dan anorganik. Seiring berjalannya waktu, mereka akan terus berkembang untuk memilah sampah secara lebih spesifik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengelolaan sampah masih menjadi masalah di Indonesia yang belum terselesaikan. Peningkatan kesadaran untuk memilah sampah sejak dini dinilai mampu mengurangi jumlah sampah yang menumpuk di negeri ini. Dengan memilah, sekitar 90-95 persen sampah akan selesai ditingkat rumah tangga.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2021 volume sampah di Indonesia sebanyak 68,5 juta ton, kemudian naik hingga 70 juta ton pada 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 40,9 persen di antaranya merupakan sampah rumah tangga.
Co-Founder Antheia Project, organisasi nirlaba yang bergerak pada edukasi masyarakat tentang lingkungan berkelanjutan, Ruhani Nitiyudo, mengatakan, edukasi memilah sampah penting dilakukan untuk semua usia, khususnya anak-anak selaku generasi penerus bangsa. Langkah yang terlihat kecil ini, apabila dilakukan bersama-sama dan berkelanjutan dapat berdampak besar.
”Sebagai permulaan, anak-anak dapat memilah sampah menjadi dua jenis, organik dan anorganik. Seiring berjalannya waktu akan terus berkembang untuk memilah sampah sesuai dengan peruntukannya,” ujarnya dalam kegiatan Antheia Beach Clean Up Vol. 4 #SayNoToStyrofoam di Permukiman Muara Baru, DKI Jakarta, Sabtu (3/12/2022).
Sampah organik dapat berupa sayur, buah, sisa-sisa makanan, sedangkan sampah anorganik berupa barang-barang buatan pabrik, plastik, dan lainnya. Selanjutnya, anak-anak juga diajak mulai memilah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti baterai, obat-obatan, bahan kimia, serta bekas kosmetik. Limbah B3 ini, nantinya, dapat dikelola ataupun daur ulang oleh industri-industri.
Co-Founder dan Chief Operating Officer Garda Pangan, komunitas yang bergerak dalam bidang koordinasi makanan surplus dan berpotensi terbuang, Dedhy Bharoto Trunoyudho, mengutarakan, sampah rumah tangga berupa sisa-sisa makanan dapat dijadikan kompos yang berguna sebagai pupuk atau penyubur tanah. Sisa makanan menempati urutan pertama yang mendominasi volume sampah di Indonesia pada 2021, yakni 39,9 persen atau setara dengan 27,3 ton.
Ketika setiap rumah tangga menerapkannya, sekitar 90-95 persen volume sampah itu akan terselesaikan. Sekitar 5-10 persen sisanya dapat didaur ulang sebagai bahan baku atau produk baru.
”Sampah yang berserakan di lingkungan, dipilah sesuai kategori masing-masing. Untuk sisa makanan dapat dijadikan kompos. Pengomposan sisa-sisa makanan dapat mengurangi jumlah sampah yang ada dengan cukup signifikan,” ucapnya.
Secara terpisah, menurut Direktur Penanganan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK Novrizal Tahar, pemilahan sampah merupakan bagian dari gaya hidup minim sampah yang perlu diterapkan masyarakat. Ia menyarankan, untuk memulai memilah sampah dapat dilakukan dengan membedakan sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik).
”Sampah basah yang bercampur dengan sampah kering membuat sampah kering tidak dapat didaur ulang atau diolah kembali. Oleh karena itu, pemilahan sampah perlu dijadikan kesadaran kolektif,” katanya.
Adapun gaya hidup minim sampah itu adalah mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai, membawa kantong belanja sendiri, menghabiskan makanan, memilah sampah rumah tangga, dan pengomposan sampah organik. ”Ketika setiap rumah tangga menerapkannya, (maka) sekitar 90-95 persen volume sampah itu akan terselesaikan. Sekitar 5-10 persen sisanya dapat didaur ulang sebagai bahan baku atau produk baru,” ungkapnya.
Pengelolaan sampah pada dasarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Menurut UU tersebut, pengolahan sampah menjadi kewajiban setiap rumah tangga. Dalam hal ini, penerapannya tergantung pada setiap pribadi masyarakat. Jika peduli pada keberlanjutan lingkungan, maka kegiatan pemilahan tetap bisa dilakukan (Kompas.id, 21/02/2021).