Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Ditargetkan Berlaku 2023
Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berdampak berlebih dapat memicu berbagai penyakit tidak menular. Penerapan cukai MBDK merupakan salah satu upaya untuk mengendalikannya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK pada 2023. Walakin, penerapannya masih perlu dikaji mendalam dan menyosialisasikannya kepada masyarakat secara menyeluruh.
Perwakilan Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Kementerian Keuangan, Oktomuel, mengatakan, pihaknya berharap tahun 2023 kebijakan cukai MBDK dapat diterapkan efektif. Ini sesuai dengan target penerimaan cukai yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.
”Proses (penerapan cukai MBDK) memang masih panjang. Hal-hal seperti perangkat peraturan, sistematika pemungutan, pendaftaran untuk pengusaha, dan lainnya masih perlu dipersiapkan,” ucapnya dalam diskusi publik yang diadakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta, Selasa (29/11/2022).
Penentuan tarif cukai dan dampak ekonomi ketika diterapkan, kata Oktomuel, juga perlu dipertimbangkan. Ia tidak menyebutkan secara spesifik tanggal atau bulan apa di tahun 2023 kebijakan cukai MBDK berlaku. Namun, Kementerian Keuangan tetap optimistis kebijakan tersebut dapat berlaku tahun 2023.
Penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dapat menurunkan konsumsi minuman berpemanis rata-rata 17,5 persen.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Nursidik Istiawan menambahkan, tambahan pemasukan negara dari cukai MBDK dapat dialokasikan untuk sektor ekonomi yang terdampak akibat kebijakan dan penanganan kesehatan. Pada dasarnya, kebijakan ini lahir juga untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat akibat konsumsi gula yang berlebih.
Analis Kebijakan di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Doni Arianto mengatakan, konsumsi MBDK meningkat setiap tahunnya, terutama produk sari buah dan air teh kemasan. Selain itu, data terbaru Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021 menunjukkan, sedikitnya 19 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi MBDK setiap minggu dengan rata-rata 16 kemasan per bulan.
”Konsumsi MBDK ini berdampak panjang, baik dari segi fisik maupun psikis, yang dapat memicu berbagai penyakit tidak menular (PTM),” ucapnya. Menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME), penyakit tidak menular menjadi penyebab tertinggi kematian dini di Indonesia dengan peningkatan drastis dari tahun 2009-2019, khususnya stroke, jantung koroner, hipertensi, dan diabetes melitus.
Sebanyak 10 penyakit yang menghabiskan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbesar merupakan penyakit tidak menular. Penyakit katastropik tersebut setidaknya menguras 21 persen anggaran pelayanan kesehatan atau setara Rp 20,27 triliun pada 2019 dan Rp 17,05 triliun pada 2020.
Oleh karena itu, penerapan kebijakan cukai MBDK dapat berdampak positif. Penerapannya dapat mengurangi konsumsi MBDK, mencegah obesitas, dan mengurangi beban biaya pelayanan kesehatan. ”Selain itu, dapat menjadi sumber baru pembiayaan kesehatan dan program kesehatan lainnya,” tambah Doni.
Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman mengatakan, belum ada sosialisasi ataupun diskusi dari pemerintah terkait penerapan cukai MBDK. Pemerintah seharusnya berkoordinasi dengan seluruh sektor usaha yang berkaitan dengan MBDK.
Rencana penerapan cukai MBDK ini disambut baik oleh sejumlah elemen masyarakat, antara lain, Forum Warga Kota Jakarta, Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia), serta Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI). Selain itu, ada juga Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).
Hasil penelitian CISDI menunjukkan, penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dapat menurunkan konsumsi minuman berpemanis rata-rata 17,5 persen. Permintaan produk MBDK pada rumah tangga miskin dan perdesaan juga diperkirakan akan berkurang jauh ketika harga naik.
”Rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menganjurkan besaran cukai minimal 20 persen untuk menurunkan konsumsi MBDK di masyarakat dan mencegah dampak buruk akibat penyakit tidak menular,” ujar peneliti CISDI, Agus Widarjono.
Selain rekomendasi WHO, tarif pengenaan cukai juga dapat dilakukan secara spesifik berdasarkan volume yang dibagi dalam tiga skenario usulan Kementerian Keuangan. Dalam salah satu skenario diketahui bahwa penerapan cukai MBDK berpotensi menambah pemasukan negara hingga Rp 3,6 triliun dalam setahun.