Memahami Keberagaman Mengukuhkan Identitas Kebangsaan
Identitas kebangsaan di Indonesia melekat pada Tanah Air dengan semangat Sumpah Pemuda. Identitas itu terbentuk dari daerah-daerah, baik secara geografis maupun kultural.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara yang memiliki budaya, suku, agama, bahasa, karakter, serta watak yang beragam, penguatan identitas kebangsaan menjadi entitas penting dalam upaya persatuan dan kesatuan. Sikap warga negara terhadap keberagaman merupakan media untuk membentuk identitas kebangsaan.
Hal ini lantaran pembentukan identitas diri seseorang melalui pengalaman dan interaksi sosialnya masing-masing. Buku yang bertajuk Aku Ini Orang Indonesia berusaha mencari titik temu dari konstruksi sosial setiap individu dalam membentuk identitas kebangsaan. Hal tersebut dapat dikembangkan melalui forum-forum interaksi antarindividu atau kelompok.
Nani Nurrachman dari Konsorsium Psikokultural Indonesia dalam peluncuran buku Aku Ini Orang Indonesia secara daring di Jakarta, Sabtu (26/11/2022), menyebutkan, buku tersebut merupakan hasil penelitian kualitatif tentang wawasan kebangsaan. Interaksinya tidak hanya terjadi pada peneliti dan responden, tetapi juga antarpeneliti untuk saling menguatkan wawasan kebangsaan masing-masing.
”Identitas kebangsaan di Indonesia bersifat cair dan memiliki corak yang berbeda antara beberapa tokoh nasional, aktivis, dan generasi muda. Meskipun begitu, fokus identitas kebangsaannya tetap sama. Titik temu keberagaman di Indonesia adalah kesadaran tentang kebersamaan di masa lalu sebagai bangsa,” ujar Nani yang juga penyunting buku Aku Ini Orang Indonesia.
Setiap orang itu berbeda-beda, perbedaan itu merupakan keberagaman. Kesadaran akan keberagaman hanya dapat dipahami melalui interaksi dengan budaya atau kultur lainnya.
Hasil penelitian menemukan terdapat kesepahaman realitas sosial yang diwujudkan dengan perilaku humanis dalam kehidupan sehari-hari individu di Indonesia. Karena berangkat dari realitas sosial, buku ini dapat menjadi pintu gerbang pembahasan narasi kebangsaan, keberagaman, toleransi, dan hal lainnya. Selain itu, kata Nani, dapat juga dijadikan referensi pengembangan dalam pembangunan masyarakat Indonesia melalui kegiatan sehari-hari.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana Indra Yohanes Kiling mengutarakan, penggunaan perspektif dari berbagai generasi yang ada membuat buku ini dapat menjelaskan secara komprehensif hal-hal terkait identitas kebangsaan. Mayoritas penulisnya juga memiliki layar belakang psikologi dan pengalaman menulis penelitian terkait identitas.
”Isi buku bercerita tentang kaitan konstruksi identitas kebangsaan dari berbagai generasi dan etnisitas. Fokusnya pada peran latar belakang budaya dan interaksi sosial yang beragam dalam pembentukan identitas kebangsaan,” ucap Indra yang juga co-founder salah satu komunitas penelitian di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Indra, perlu pemikiran terbuka untuk mengenal budaya etnis lain. Bab 2 halaman 11 buku Aku Ini Orang Indonesia menyebutkan, jarak sosial mereduksi pembentukan identitas kebangsaan. Semakin jauh persepsi seseorang tentang jarak dengan orang berbeda etnis, akan semakin lemah pula seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia.
Ketentuan tidak baku (stigma) tentang karakter fisik etnis tiap provinsi sudah ada di Indonesia. Indra mencontohkan perbedaan bentuk fisik orang Indonesia bagian timur dengan Indonesia bagian barat.
”Stigma pada masyarakat Indonesia timur seperti kulit lebih gelap dan rambut bergelombang. Jadi sudah ada template, misalnya ada yang tidak sesuai maka akan dianggap bukan masyarakat Indonesia timur,” katanya.
Kebudayaan
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat, menuturkan, identitas kebangsaan di Indonesia melekat pada Tanah Air dengan semangat Sumpah Pemuda. Identitas itu terbentuk dari daerah-daerah, baik secara geografis maupun kultural. Setiap individu akan memahami identitas kebangsaan berpijak dari kebudayaan atau kearifan lokal masing-masing.
”Sebelum memahami konstruksi kebangsaan, perlu pemahaman tentang etnisitas terlebih dahulu. Dalam proses memahami akan timbul kesadaran bahwa masyarakat Indonesia tidak tahu banyak tentang bangsa Indonesia,” ujarnya.
Secara umum, masyarakat Indonesia terbuai dengan keseragaman. Masyarakat akan lebih nyaman berinteraksi dengan orang lain yang seragam dan sepaham dengannya. Ketika ada yang berbeda, akan dilabeli aneh. Pemahaman seperti ini, menurut Ai, memandang perbedaan sebagai sesuatu yang mengancam.
”Padahal, faktanya, setiap orang itu berbeda-beda, perbedaan itu merupakan keberagaman. Kesadaran akan keberagaman hanya dapat dipahami melalui interaksi dengan budaya atau kultur lainnya,” tambahnya.
Di sisi lain, keberagaman juga merupakan suatu dilema dan berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan inovatif untuk mengelola keberagaman. Untuk mengembangkan peradaban, kata Ai, Indonesia perlu lebih serius menguatkan identitas kebangsaan dalam setiap individu atau kelompok yang ada.