Deretan Gempa Dangkal dan Merusak di Pulau Jawa yang Terlupakan
Data menunjukkan, gempa dangkal yang jauh lebih besar dari gempa Cianjur baru-baru ini bisa terjadi di kota-kota yang lebih padat penduduknya di Pulau Jawa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F23%2Ff01acdb2-d05c-40bc-8436-f65351c0b442_jpg.jpg)
Kondisi di Jalan Cisarua, Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang rusak parah akibat gempa, Rabu (23/11/2022). Kerusakan jalan akibat gempa bumi yang terjadi pada Senin (21/11/2022) membuat akses jalan ini terputus. Selain menimbulkan korban, longsor, dan kerusakan infrastruktur bangunan, gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur juga berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan.
Gempa M 5,6 bersumber dangkal di Cianjur, Jawa Barat, menunjukkan bahaya gempa bumi dari sumber kerak dangkal di Pulau Jawa yang padat penduduk. Catatan sejak masa kolonial menunjukkan, gempa bumi dari sumber dangkal pernah merusak sejumlah kota lain di Jawa, di antaranya Cianjur pada 1879, Cirebon tahun 1847, dan Wonosobo tahun 1924.
Gempa Cianjur baru-baru ini juga menunjukkan, gempa dangkal berkekuatan relatif kecil bisa menimbulkan kerusakan dahsyat. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Senin (28/11/2022), jumlah korban jiwa telah mencapai 323 orang, sementara sembilan orang belum ditemukan.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan gempa Cianjur menjadi sangat merusak, antara lain hiposenter gempa yang sangat dangkal, episenter gempa di dekat permukiman, lokasi permukiman yang berada di zona tanah lunak yang dapat memicu efek tapak (local site effect), dan lokasi permukiman di perbukitan yang dapat memicu efek topografi (topographic effect).
Namun, yang paling penting adalah kondisi bangunan tidak memenuhi standar aman gempa. Sekalipun gempa yang bersumber dari zona sesar Cimandiri dengan mekanisme sesar geser mengiri ini memicu guncangan di tanah yang cukup kuat, hingga maksimal VII MMI, jika bangunannya sesuai standar aman gempa kemungkinan masih akan bertahan. Struktur bangunan yang didesain aman gempa umumnya bisa bertahan hingga guncangan IX MMI.
Baca juga: Zona Gempa Cianjur dan Rumah Tahan Gempa
Belajar dari gempa di Cianjur ini, kita perlu mengantisipasi ancaman gempa dari kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang bersumber dari sesar di daratan. Walaupun kekuatan gempa umumnya relatif kecil, gempa dengan karakter ini bisa sangat berbahaya, terutama jika terjadi di kawasan padat penduduk seperti di Pulau Jawa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F23%2F9e4c52dd-a923-4e50-b4c3-85965f8d693c_jpg.jpg)
Santri di pesantren Al Mubarok di Jalan Cisarua, Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengumpulkan barang-barang yang bisa diselamatkan dari kerusakan akibat gempa, Rabu (23/11/2022). Selain menimbulkan korban, longsor, dan kerusakan infrastruktur bangunan, gempa berkekuatan M 5,6 di Cianjur juga berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan.
”Gempa Nusantara, berisi database 7.380 pengamatan makroseismik untuk 1.200 gempa historis di Indonesia dari tahun 1546 hingga 1950” yang ditulis Stacey S. Martin, Phil . Cummins, dan Aron J Meltzner di Bulletin of the Seismological Society of America pada Oktober 2022 menunjukkan, banyak gempa bumi merusak telah terjadi di Jawa sejak abad ke-17.
”Setidaknya sembilan gempa bumi sejak tahun 1865 telah menyebabkan guncangan yang begitu parah sehingga hampir pasti merupakan peristiwa yang dangkal,” tulis Profesor Cummins, ahli gempa dari Australian National University dan tim (The Conversation, 2022).
Salah satu gempa paling merusak bersumber di darat terjadi di dekat Kota Wonosobo, Jawa Tengah, pada 1924. Gempa ini memicu tanah longsor yang menewaskan hampir 900 orang. Cummins dan tim juga mendokumentasikan guncangan yang sangat hebat yang disebabkan oleh gempa bumi 25 Oktober 1875 di dekat Kuningan, Jawa Barat. Seorang saksi mata menggambarkan dirinya terlempar dari kursi dan melihat sekawanan sapi terlempar.
Setidaknya sembilan gempa bumi sejak tahun 1865 telah menyebabkan guncangan yang begitu parah sehingga hampir pasti merupakan peristiwa yang dangkal.
Berikutnya Cianjur. Di lokasi yang dilanda gempa pekan lalu ini juga telah mengalami setidaknya satu gempa bumi yang merusak pada 28 Maret 1879. Kejadian tersebut menyebabkan beberapa bangunan hancur dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Kerusakan di wilayah Pecinan Kabupaten Cianjur akibat gempa bumi pada 28 Maret 1879. Sumber: the Southeast Asian and Carribean Images Collection of KITLV
Cirebon juga mengalami gempa bumi yang merusak pada 16 November 1847 yang diperkirakan telah menyebabkan pergeseran sungai setinggi 5 meter, menunjukkan kekuatan atau magnitudo sebesar 7 atau lebih besar. Gempa dahsyat di Cirebon ini dikonfirmasi oleh laporan Mudrik Rahmawan Daryono dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan tim di IOP Conference Serius: Earth and Environmental Science (2021).
Baca juga: Bukan Gempa yang Membunuh
Menurut Mudrik, gempa di Cirebon ini dipicu oleh Sesar Baribis yang sekaligus membuktikan bahwa jalur patahan yang memanjang hingga sebelah selatan Jakarta ini memang aktif. Sebelumnya, keberadaan Sesar Baribis telah diverifikasi sejumlah penelitian lain, termasuk penelitian Simandjuntak dan Barber (1996), tetapi keaktifannya saat itu diperdebatkan.
Wilayah Jakarta
Pemetaan geologis menggunakan data refleksi seismik, Koulali dan tim (2017) menemukan, Sesar Baribis, berjarak sekitar 25 kilometer selatan Jakarta ini memang aktif dengan laju geser sekitar 5 milimeter per tahun. Berikutnya, laporan terbaru Sri Widiyantoro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan tim di Scientific Reports (2022) membuktikan bagian barat jalur gempa ini dalam kondisi terkunci. Hal ini menyebabkan Jakarta bagian selatan dinilai rentan dilanda gempa bumi di masa depan ketika energi regangan yang terakumulasi ini akhirnya dilepaskan.
Data historis menunjukkan, Jakarta dan sekitarnya pernah dilanda gempa kuat dan merusak di masa lalu. Penelitian Nguyen dan tim (2015) menemukan bahwa gempa bumi yang merusak Jakarta pada 22 Januari 1780 bersumber dari Sesar Baribis dengan kekuatan M 7-8, yang kemudian diikuti oleh gempa kedua antara M 7-7,7 pada 10 Oktober 1834. Gempa bersumber di darat dengan kekuatan sebesar itu bisa dipastikan menimbulkan efek guncangan yang kuat.
Selain Sesar Baribis dan Cimandiri, daerah Jawa Barat juga memiliki Sesar Lembang di pinggiran Bandung, kota terbesar keempat di Indonesia dengan populasi 8,8 juta orang—bandingkan kepadatan Cianjur yang dihuni 170.000 orang. Meski catatan sejarah tentang Sesar Lembang terbatas, bukti geologi aktivitas gempa bumi prasejarah telah dipetakan cukup rinci oleh Mudrik Daryono dan tim. Sesar ini diperkirakan mampu menghasilkan gempa berkekuatan 6,5-7,0 setiap 170-670 tahun.

Dari Jawa Timur
Tak hanya di bagian barat pulau ini, jalur sesar yang aktif juga ada di Jawa bagian timur. Pada Kamis (11/10/2018), gempa bermagnitudo 6 pernah melanda Kabupaten Situbondo dan Sumenep, Jawa Timur. BMKG mengidentifikasi gempa ini memiliki mekanisme sesar naik (thrust fault) dengan kemiringan bidang sesar ke arah selatan, bersumber dari sesar naik Flores.
Sesar naik Flores memiliki kemenerusan dengan Sesar Kendeng yang juga aktif. Dalam buku Sumber Gempa Nasional 2017, Sesar Kendeng disebutkan memanjang mengarah barat timur Jawa Tengah hingga bagian barat Jatim. Di bagian barat Sesar Kendeng menyambung ke sistem Sesar Semarang dan kemudian Sesar Baribis.
Peneliti gempa dari Universitas Gadjah Mada, Gayatri Indah Marliyani, dalam disertasinya tentang jalur sesar di Pulau Jawa, menunjukkan adanya gempa berulang berkekuatan M 6-7 di beberapa lokasi di Jawa. Kekuatan sebesar itu berpotensi menimbulkan kerusakan besar seperti di Yogyakarta tahun 2006.
Dokumen kolonial juga menunjukkan, pada 26 November 1852, gempa merusak berpusat di Grati, Pasuruan, Jatim. Gempa ini dirasakan sampai di Surabaya yang berjarak 60 km dari Grati. Catatan Visser SW (1922) merekam setidaknya 21 kali gempa cukup kuat di Jawa pada kurun 1699-1920. Pusat gempa, antara lain, Cirebon, Rembang, Banyumas, Ambarawa, Yogyakarta, Kuningan, Cianjur, Sukabumi, Majalengka, Madiun, dan Salatiga.
Mengurangi risiko
Deretan bukti sejarah dan bukti geologi ini menunjukkan bahwa gempa bumi adalah fakta kehidupan di Jawa. Data juga menunjukkan, gempa dangkal yang jauh lebih besar dari gempa Cianjur baru-baru ini bisa terjadi di kota-kota yang lebih padat penduduknya di Pulau Jawa.
Gempa belum bisa diprediksi kapan terjadinya, tetapi dari data sejarah ini, hanya soal waktu kota-kota padat penduduk di Jawa akan kembali mengalaminya. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi risikonya?

Petugas mengecek rumah warga yang rusak berat oleh gempa bumi dan menyebabkan satu penghuninya bernama Munadi (99) meninggal dunia di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur, senin (12/4/2021). Dua hari pascagempa, warga mulai merobohkan rumah mereka yang rusak dan menyelamatkan kayu-kayu yang bisa digunakan kembali. Pembangunan tenda juga dilakukan oleh instansi terkait untuk menampung warga yang rumahnya rusak.
Untuk mengurangi risiko bencana idealnya memang dimulai dari penataan ruang. Jalur sesar aktif yang sudah dipetakan seharusnya dihindari. Laporan kajian tim Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen), 2019, menyebutkan, Amerika Serikat sejak 1977 menetapkan jarak aman dari jalur sesar utama sejauh 150 meter dan 60 meter dari cabang sesar.
Di Taiwan, jika jalur sesar tersebut memiliki sejarah kegempaan dengan magnitudo lebih dari 7, jarak amannya adalah 100 meter untuk kanan-kiri sesar. Apabila terdapat sejarah kegempaan dengan magnitudo lebih dari 6, digunakan jarak aman 50 meter. Untuk sesar yang memiliki sejarah kegempaan dengan magnitudo kurang dari 6, jarak aman yang digunakan adalah 30 meter.
Baca juga: Gempa Lagi, Rusak Lagi
Sementara itu, Selandia Baru menetapkan jarak aman untuk setiap sisi Sesar Wellington sejauh 50-90 meter dan di dalamnya sudah ada ketidakpastian jarak sebesar 20 meter untuk setiap sisi sesar. Di China, jarak aman yang digunakan bervariasi sesuai dengan kelas konstruksi, yaitu 100 meter, 200 meter, dan 400 meter.
Mengosongkan zona sesar dari bangunan di Indonesia pasti bukan perkara mudah. Mengacu peta Sumber Gempa Nasional 2017, tim peneliti Pusgen telah menghitung, ada 4 juta penduduk dan 2.892 bangunan sekolah berada dalam zona bahaya radius 1 kilometer dari jalur sesar di seluruh Indonesia.
Jika pun tidak bisa mengosongkan bangunan yang sudah ada, minimal bangunan baru tidak lagi diizinkan dibangun di jalur-jalur sesar yang telah dipetakan. Hal ini menuntut inisiatif pemerintah daerah untuk mengintegrasikan tata ruang wilayah dengan peta sumber gempa.

Patahan yang terdapat di Pulau Jawa. Sumber: Pusgen, 2017
Selain tata ruang, memperkuat bangunan agar tahan gempa mutlak dilakukan. Tak hanya menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahan gempa untuk bangunan tinggi, hal ini juga harus dijalankan untuk bangunan hunian rakyat. Sedangkan untuk bangunan eksisting, yang telanjur berada di zona merah dan belum memenuhi standar gempa harus ada upaya penguatan atau retrofitting.
Dalam hal ini, kita bisa mencontoh Pemerintah Jepang yang memberikan subsidi kepada masyarakatnya agar memperkuat bangunan mereka sesuai standar aman gempa. Pemerintah harus menganggap penguatan bangunan rakyat ini sebagai investasi untuk mengurangi kerugian dan potensi kematian jika gempa kembali berulang.