Sebagian Besar Eropa Memanas Dua Kali Lebih Cepat dari Rata-rata Planet Ini
Pemanasan selama musim panas di Eropa jauh lebih cepat daripada rata-rata global.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanasan selama musim panas di Eropa jauh lebih cepat daripada rata-rata global. Sebagai konsekuensi dari emisi gas rumah kaca ini, iklim di seluruh Eropa juga menjadi lebih kering, terutama di bagian selatan, yang menyebabkan gelombang panas yang lebih buruk dan peningkatan risiko kebakaran. Situasi ini dilaporkan dalam studi baru oleh para peneliti di Universitas Stockholm, yang diterbitkan dalam Journal of Geophysical Research: Atmospheres edisi November 2022.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemanasan di atas daratan terjadi secara signifikan lebih cepat daripada di atas lautan. Pemanasan di daratan rata-rata mencapai 1,6 derajat dan di atas lautan 0,9 derajat dibandingkan dengan tahun 1850-an. Ini berarti upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca global agar suhu bumi tetap berada di bawah pemanasan 1,5 derajat di darat telah gagal.
Kini, studi baru menunjukkan bahwa untuk menghindari pemanasan 2 derajat di sebagian besar Eropa selama setengah tahun musim panas (April-September) juga telah terlampaui. Pengukuran mengungkapkan bahwa pemanasan selama bulan-bulan musim panas di sebagian besar Eropa selama 4 dekade terakhir telah melampaui 2 derajat.
”Perubahan iklim serius karena menyebabkan, antara lain, gelombang panas yang lebih sering di Eropa. Ini pada gilirannya meningkatkan risiko kebakaran, seperti kebakaran dahsyat di Eropa selatan pada musim panas 2022,” kata Paul Glantz, peneliti di Departemen Ilmu Lingkungan, Universitas Stockholm, dan penulis utama studi ini, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/11/2022).
Pemanasan yang terjadi di Eropa diperkuat oleh tanah yang lebih kering dan penurunan penguapan. Selain itu, cakupan awan yang lebih sedikit di sebagian besar Eropa, mungkin karena lebih sedikit uap air di udara.
”Apa yang kami lihat di Eropa selatan sejalan dengan prediksi IPCC, yaitu meningkatnya dampak manusia terhadap efek rumah kaca akan menyebabkan daerah kering di Bumi menjadi semakin kering,” kata Paul Glantz.
Studi ini juga mencakup bagian tentang perkiraan dampak partikel aerosol terhadap kenaikan suhu. Menurut Glantz, pemanasan cepat di Eropa Tengah dan Eropa Timur merupakan konsekuensi dari emisi gas rumah kaca berumur panjang, seperti karbon dioksida.
Akan tetapi, karena emisi partikel aerosol yang berumur pendek, misalnya dari pembangkit listrik tenaga batubara, telah menurun drastis selama 4 dekade terakhir, efek gabungannya telah menyebabkan peningkatan suhu ekstrem lebih dari 2 derajat.
Perubahan iklim serius karena menyebabkan, antara lain, gelombang panas yang lebih sering di Eropa. Ini pada gilirannya meningkatkan risiko kebakaran.
Partikel aerosol di udara, sebelum mulai berkurang pada awal 1980-an di Eropa, telah menutupi pemanasan yang disebabkan oleh gas rumah kaca dengan rata-rata lebih dari 1 derajat selama setengah tahun musim panas. Saat aerosol di atmosfer menurun, suhu masih meningkat dengan cepat.
”Emisi karbon dioksida manusia masih menjadi ancaman terbesar karena memengaruhi iklim selama ratusan hingga ribuan tahun,” kata Paul Glantz.
Temuan ini memberikan peringatan tentang tren pemanasan masa depan di daerah yang emisi aerosolnya saat ini masih tinggi, seperti di India dan China.
PLTU batubara
Seperti diketahui, pembakaran fosil menyebabkan pelepasan partikel aerosol dan gas rumah kaca. Meskipun sumbernya umum, pengaruhnya terhadap iklim berbeda.
Gas rumah kaca sebagian besar tidak terpengaruh oleh radiasi matahari, sementara mereka menyerap radiasi infra merah secara efisien, yang menyebabkan emisi ulang ke permukaan bumi. Bumi menyerap baik radiasi matahari maupun radiasi infra merah, yang secara khusus menyebabkan pemanasan di bagian bawah atmosfer.
Gas rumah kaca umumnya berumur panjang di atmosfer dan ini terutama berlaku untuk karbon dioksida di mana emisi manusia mempengaruhi iklim selama ratusan hingga ribuan tahun. Ini juga berarti bahwa gas rumah kaca tersebar merata di seluruh planet.
Pembangkit listrik batubara di bumi mengeluarkan lebih dari 12 Gt karbon dioksida setiap tahun, hampir sepertiga dari total emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, pembangkit listrik tenaga batubara merupakan sumber pemanasan global terbesar.
Pembangkit listrik batubara juga memancarkan sulfur dioksida yang membentuk aerosol di atmosfer. Pembangkit listrik batubara masing-masing telah menurun dan meningkat secara substansial di Eropa dan Asia Timur, selama 4 dekade terakhir.
Berbeda dengan gas rumah kaca, partikel aerosol memengaruhi radiasi matahari yang masuk, yaitu menyebarkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa sehingga menyebabkan efek pendinginan. Emisi manusia dari aerosol dapat meningkatkan efek pendinginan ini.
Partikel aerosol manusia di udara memiliki masa hidup sekitar satu minggu, yang berarti mereka terutama mendinginkan iklim secara lokal atau regional dan dalam jangka pendek.
Menurut Perjanjian Paris, semua pihak harus berkomitmen untuk secara drastis mengurangi emisi gas rumah kaca mereka, tetapi juga penting untuk mengurangi konsentrasi partikel aerosol karena, selain pengaruhnya terhadap iklim, partikel aerosol di udara yang tercemar menyebabkan sekitar 8 juta kematian dini setiap tahun di seluruh dunia.
Menulis di jurnal Nature pada 22 November 2022, Laura Wilcox dari University of Reading dan National Center for Atmospheric Science mengatakan bahwa dampak regional yang disebabkan oleh polusi aerosol harus dipertimbangkan dalam rencana masa depan untuk mengatasi perubahan iklim.
Wilcox mengatakan, aerosolo biasanya diperlakukan sebagai penyeimbang sederhana untuk gas rumah kaca, tetapi ada banyak kasus perubahan iklim regional di mana perubahan aerosol menjadi penyebab utamanya. ”Emisi aerosol cenderung berubah dengan cepat selama beberapa dekade mendatang. Jadi, dengan tidak sepenuhnya memperhitungkan efek aerosol, kita mungkin meremehkan tingkat dan besarnya perubahan di wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan aerosol,” tuturnya.