Perlindungan perempuan pekerja dari berbagai praktik kekerasan dan pelecehan di tempat kerja terus disuarakan. Ratifikasi Konvensi ILO 190 diharapkan akan meningkatkan perlindungan pada perempuan pekerja.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para perempuan buruh, perempuan pekerja di bidang kesehatan, serta perempuan aktivis lainnya menggelar aksi peringatan Hari Perempuan di kawasan Monas, Jakarta Pusat, 8 Maret 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di dunia kerja berkelindan erat dan tidak bisa dipisahkan dari diskriminasi berbasis jender. Bahkan, dunia kerja menyimpan berbagai aspek diskriminasi dan kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dalam banyak bentuk, saling berkait, dan dampaknya berantai.
Temuan dan analisis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan, diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan berbasis jender terhadap perempuan di dunia kerja merupakan pelanggaran hak konstitusional dan hak asasi manusia (HAM) perempuan. Pelanggaran tersebut masih terus terjadi, terlebih di masa pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, ratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organisation) Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja atau KILO 190 mendesak dilakukan agar perlindungan ketenagakerjaan dan HAM perempuan menguat sehingga mendorong kualitas hidup perempuan Indonesia.
”Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di dunia kerja berkelindan erat dan tidak bisa dipisahkan dari diskriminasi berbasis jender,” ujar Rainy Hutabarat, komisioner Komnas Perempuan, pada Peluncuran Hasil Kajian ”Urgensi Ratifikasi KILO 190: Menciptakan Dunia Kerja yang Bebas dari Kekerasan Berbasis Gender sebagai Penerapan Bisnis dan HAM”, Selasa (22/11/2022), di Jakarta.
Laporan yang dirangkum dalam buku berjudul Bekerja dengan Taruhan Nyawa; Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan di Dunia Kerja itu disampaikan Rainy bersama Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan Tiasri Wiandani.
Kegiatan yang dibuka Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin itu juga mendengarkan tanggapan dari Luluk Nur Hamidah (anggota Dewan Perwakilan Rakyat), Yully Prasetianingsih (Kabag Penelaah Hukum dan Konvensi Internasional Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan), dan Ajeng Pangesti (Asosiasi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja).
Lapisan diskriminasi
Rainy menegaskan, walaupun kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja tidak selalu berbasis jender, ada dimensi relasi kuasa lainnya yang dihadapi perempuan di dunia kerja. Kajian Komnas Perempuan menemukan, terdapat lapis-lapis diskriminasi-kekerasan berbasis jender yang bertumpuk dengan diskriminasi karena identitas lain.
Lapisan diskriminasi tersebut mulai dari ketimpangan kelas, sentimen etnis, agama, orientasi seksual, ableisme (disabilitas), hingga diskriminasi berbasis kewarganegaraan, khususnya konteks migrasi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Perempuan buruh mengikuti peringatan Hari Buruh Internasional di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (14/5/2022). Perempuan buruh saat ini masih menghadapi ancaman kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Kehadiran regulasi yang mengatur pencegahan dan penghapusan kekerasan menjadi kunci dalam melindungi perempuan pekerja.
Rainy memaparkan, diskriminasi dan kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dalam dunia kerja membawa dampak fisik, psikis, hingga ekonomi.
”Kendati demikian, persoalan kekerasan dan pelecehan berbasis jender di dunia kerja masih dikecualikan dari skema perlindungan ketenagakerjaan dan perlindungan HAM perempuan. Akibatnya, perempuan pekerja korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja menghadapi eksklusi berlapis,” ujar Tiasri.
Karena itu, Tiasri mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa ratifikasi KILO 190 mendesak dilakukan. Alasan itu antara lain kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang masif dan minim penanggulangan efektif serta kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang berdampak pada penurunan produktivitas.
Ratifikasi KILO 190 sangat penting agar ada jaminan hukum yang komprehensif untuk mencegah dan menangani kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Konvensi tersebut juga selaras dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada DPR dan kementerian/lembaga terkait agar menyediakan kebijakan perlindungan yang komprehensif dengan meratifikasi konvensi internasional dan menjalankannya dengan efektif.
Luluk Nur Hamidah menegaskan, ratifikasi KILO 190 mendesak karena sangat penting untuk melindungi perempuan pekerja yang rentan mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. ”Ini penting dan mendesak, tidak bisa ditunda lagi,” katanya.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Aspirasi hak perempuan juga lantang disuarakan saat peringatan Hari Buruh Internasional 2019.
Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di dunia kerja berkelindan erat dan tidak bisa dipisahkan dari diskriminasi berbasis jender.
Sementara itu, Yully Prasetianingsih menuturkan, saat memberikan perlindungan bagi pekerja, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah. Salah satunya, mendorong perusahaan mengatur syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama (nondiskriminasi) serta mencegah kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
Selain itu, mendorong pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja pada tingkat perusahaan.
Adapun Ajeng Pangesti menyambut baik kajian Komnas Perempuan dan menilai ratifikasi KILO 190 sangat mendesak karena konvensi tersebut memberikan pengakuan sebagai pekerja di semua jenis pekerjaan.