Transisi Energi agar Berjalan Transparan dan Partisipatif
Biaya untuk memulai transisi energi tidak murah. Suntikan dana lewat skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau JETP perlu dilakukan dengan transparan dan partisipatif agar dapat berjalan baik.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya untuk memulai transisi energi di sektor pembangkit listrik yang selama ini bergantung pada energi fosil tidak murah. Sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia menyambut baik suntikan dana untuk transisi energi yang didapat dari momentum Konferensi Tingkat Tinggi G20. Meski demikian, mereka meminta skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau JETP berjalan transparan dan partisipatif.
Managing Director 350.org Asia Sisilia Nurmala Dewi menjelaskan, JETP adalah kesepakatan yang melibatkan banyak negara untuk mendukung negara berkembang segera berhenti menggunakan energi fosil menjadi energi terbarukan. Oleh karena itu, sistem pendanaan JETP ini berpotensi baik jika keinginan tersebut mengarah pada transisi energi.
”Pembiayaan JETP ini bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas pekerja dan membangun infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dalam memiliki dan menjalankan energi terbarukan. Apalagi, saat ini sudah tumbuh inisiatif energi terbarukan di masyarakat sehingga sangat baik jika pemerintah bisa menyediakan infrastruktur tersebut,” kata Sisilia saat webinar ”Penanganan Krisis Iklim Pasca-KTT G20”, Kamis (17/11/2022).
Pendanaan skema JETP diperoleh melalui kerja sama pembiayaan publik dan swasta senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun serta Mekanisme Transisi Energi (ETM) senilai 500 juta dollar AS atau Rp 7,7 triliun.
Untuk JETP, Indonesia mendapat dana dari Amerika Serikat dan Jepang. Adapun kerja sama lewat ETM dilakukan dengan dukungan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Islam (IsDB), dan Bank Dunia (World Bank).
Sisilia menekankan, potensi baik itu bergantung pada implementasi pemerintah, terutama dalam transparansi pembiayaan yang digunakan ataupun dalam pelibatan masyarakat sipil yang terdampak. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk memulai transisi energi tersebut.
Indonesia merupakan negara eksportir batubara terbesar di dunia. Dalam skema ETM, pendanaan diperuntukkan, salah satunya, menghentikan operasionalisasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Itu sebabnya pemerintah akan menargetkan menghentikan operasionalisasi 5,2 gigawatt (GW) PLTU.
Target pemerintah saat ini masih belum ambisius dalam upaya transisi energi. Seharusnya pemerintah bisa berkomitmen dalam upaya menghentikan PLTU sepenuhnya pada 2040.
PLTU Cirebon-1 dipilih sebagai proyek pensiun dini pertama yang menggunakan skema ETM karena merupakan pembangkit listrik yang umurnya cukup tua dan memiliki struktur finansial yang tepat untuk mendapat pendanaan ulang. Usaha ini diyakini bisa mengurangi emisi karbon sampai 30 juta ton, setara dengan meniadakan 800.000 mobil dari jalan raya.
”Target pemerintah saat ini masih belum ambisius dalam upaya transisi energi. Seharusnya pemerintah bisa berkomitmen dalam upaya menghentikan PLTU sepenuhnya pada 2040,” kata Sisilia.
Sementara itu, Suriadi Darmoko, Finance Campaigner 350 Indonesia, mengatakan, saat ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak mencerminkan niat dalam melakukan transisi energi. Salah satunya, royalti nol persen hilirisasi pertambangan batubara yang diberikan kepada perusahaan.
”Hilirisasi ini tidak memutus penggunaan batubara, tetapi malah meningkatkan konsumsi batubara. Kebergantungan terhadap energi fosil malah semakin tinggi,” katanya.
Hal serupa diungkapkan Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya. Tata menyoroti ambigunya regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam mendorong transisi energi. Oleh karena itu, pendanaan tersebut seharusnya melarang tegas semua PLTU baru dan memberikan disinsentif di sektor batubara.
Perumusan skema JETP jangan dijadikan sebagai pembenaran untuk tetap bergantung pada pembangkit berbahan batubara, melainkan dengan cara yang lebih ”hijau”. Sementara itu, Program Manajer dan Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo khawatir pendanaan melalui skema kerja sama internasional bisa berujung pada semakin beratnya beban utang Indonesia. Skema pendanaan yang lebih berat pada pinjaman komersial bisa membebani negara berkembang dalam melakukan transisi energi. (Kompas, 16/11/2022)