Ajakan Bersabar ketika Kesabaran Guru Honorer Mulai Habis
Penuntasan rekrutmen 1 juta guru PPPK masih terkendala. Kemendikbudristek diminta mencari terobosan agar bisa mengajukan formasi dan mengalihkan penggajian oleh pemerintah pusat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Rekrutmen 1 juta guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK sejak tahun 2021 hingga 2022 membuat ratusan ribu guru honorer menangis. Pengaduan demi pengaduan ke berbagai instansi di daerah, kementerian terkait, hingga wakil rakyat ataupun demonstrasi belum juga mampu membuat penantian panjang para guru honorer berhenti.
Sejumlah guru telah lulus nilai minimal atau passing grade sejak 2021 tetapi belum mendapat formasi hingga 2022. Puluhan ribu guru yang sudah lulus dan mendapat formasi di tahun 2021 pun nyatanya belum dituntaskan oleh pemerintah daerah hingga pengujung tahun ini.
Saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (10/11/2022), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengakui bahwa proses rekrutmen guru tidak sempurna, ada banyak tantangan. Penyelesaiannya rumit karena melibatkan berbagai pihak dan setiap langkah yang dilakukan terkait satu sama lain.
”Program guru PPPK ini yang paling mengambil waktu Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan serta tim Kemdikbudristek dari pagi, siang, hingga malam. Harapan besar saya adalah bersabar dan optimistis. Sebab, dengan segala kegaduhan yang ada dan proses yang terjadi, saya mengerti banyak yang kecewa di luar sana. Tapi, kenyataannya hampir 600.000 guru honorer PPPK akan menerima formasi dan mayoritas dari itu akan menerima gajinya. Yang belum terima gaji proporsinya kecil,” tutur Nadiem.
Permintaan untuk bersabar itu, padahal kuota yang disediakan masih cukup besar, membuat para guru tak lagi bisa diam. Mereka memperjuangkan kesempatan untuk menjadi bagian dari 1 juta guru PPPK. Mereka rela mencari pinjaman demi bersama-sama dari berbagai daerah datang ke Jakarta memperjuangkan nasib. Salah satunya, mengadu ke Komisi X DPR, Rabu (9/11/2022).
Ketua Forum Guru Prioritas Pertama Negeri dan Swasta (FGPPNS) Hasna mempertanyakan mengapa guru honorer, terutama yang sudah lulus nilai minimal, sulit diangkat. ”Enggak susah untuk mengangkat guru karena kuotanya besar dan memang dibutuhkan. Tolonglah pemerintah beri kemudahan supaya negara juga lebih mudah ke depannya menata guru. Supaya guru juga ada pengembangan. Guru harus bermartabat dengan status yang jelas sebagai guru PPPK,” kata Hasna, guru di Sumatera Selatan.
Fauziah Ulhaq dari FGPPNS yang mengajar di Jawa Barat mempertanyakan tanggung jawab penggajian untuk guru PPPK. Para guru sudah beraudiensi ke pemerintah daerah, tetapi hanya mendapatkan jawaban saling lempar tanggung jawab.
”Kami jadi bingung. Jangan saling lempar tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah karena kami hanya mau memperjuangkan hak. Kebijakan pengangkatan sekarang dengan ada prioritas kedua, ketiga, dan umum justru melukai kami para guru yang seharusnya menjadi prioritas pertama. Banyak hal yang tidak adil dalam rekrutmen PPPK ini,” kata Fauziah. Ia tidak mendapat notifikasi untuk mendapatkan tempat mengajar tahun 2022 ini karena Jawa Barat mengajukan formasi yang lebih kecil daripada jumlah guru lulus passing grade.
Itu yang harus kita bantu sama-sama dan bergotong royong bahwa prioritas nomor satu adalah pendidikan. Di pendidikan, prioritas nomor satu adalah guru honorer yang belum menerima nafkah yang layak.
Sementara itu, Sekretaris Kelompok Kerja Guru Bahasa Inggris SD di DKI Jakarta Tanti mengatakan, nasib guru Bahasa Inggris yang mengajar di SD juga tidak jelas karena tidak ada formasi. Sesuai Kurikulum 2013, di DKI Jakarta belajar Bahasa Inggris di SD bisa dilakukan sebagai bagian dari muatan lokal. Bahkan, dengan Kurikulum Merdeka, Bahasa Inggris di jenjang SD bisa menjadi mata pelajaran pilihan sesuai kesiapan sekolah.
”Guru-guru mata pelajaran Bahasa Inggris ini banyak juga yang sudah lolos seleksi. Tapi, formasi guru Bahasa Inggris di SD tidak ada. Kami tidak tahu ke mana lagi harus mengadu,” kata Tanti.
Komisi X DPR pun meminta agar ada peta proses/tahapan yang jelas dalam penuntasan rekrutmen 1 juta guru PPPK. Bahkan, Kemendikbudristek diminta melakukan nota kesepahaman (MOU) dengan pemda terkait penyelesaian seleksi guru PPPK dan mempertimbangkan untuk mengkaji dan merumuskan skema pembayaran gaji guru PPPK secara langsung dari pusat dan tidak lewat pemda.
Desakan sentralisasi
Nadiem mengakui sempat frustrasi saat turun ke daerah. ”Suka bingung, padahal kami sudah menjelaskan berkali-kali bahwa anggaran sudah disediakan pemerintah pusat. Kami akan terus berjuang dan sosialisasi ke daerah untuk memastikan dan meyakinkan guru PPPK ini harusnya prioritas nomor satu,” kata Nadiem.
Menurut Nadiem, anggaran untuk penggajian guru PPPK yang ditransfer ke dana alokasi umum (DAU) daerah sudah ada pagunya. Namun, banyak pemda yang belum sadar jika anggaran untuk gaji guru yang di-earmark tidak dikeluarkan, anggaran daerah akan berkurang tiap tahun.
”Pas dicek, anggaran itu tidak diprioritaskan untuk guru honorer yang jadi PPPK. Realitasnya untuk yang lain. Itu yang harus kita bantu sama-sama dan bergotong royong bahwa prioritas nomor satu adalah pendidikan. Di pendidikan, prioritas nomor satu adalah guru honorer yang belum menerima nafkah yang layak,” kata Nadiem.
Terkait permintaan dan desakan sentralisasi pengangkatan PPPK dan transfer gaji dari pemerintah pusat, Nadiem mengatakan, hal tersebut akan menjadi wacana yang didiskusikan bersama Kementerian PAN dan RB serta Kementerian Keuangan.
”Coba nanti kita llihat apa solusi yang akan dihasilkan bersama Kementerian PAN dan RB serta Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan masalah pengajuan formasi. Saya enggak bisa menjamin akan terjadi atau tidak, tapi yang sudah pasti akan kami coba angkat wacana pada K/L lain yang terkait,” ujar Nadiem.