Pengembangan dan eksplorasi untuk proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia dikhawatirkan mengancam lingkungan dan kesehatan warga. Butuh kajian dalam pengembangan energi tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pengembangan dan eksplorasi untuk proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di sejumlah wilayah di Indonesia terhadap lingkungan dan kesehatan dinilai perlu dievaluasi secara mendalam. Hal ini bertujuan untuk menjamin keselamatan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar lokasi pengembangan energi baru terbarukan itu.
Hal tersebut terangkum dalam laporan tapak tambang panas bumi yang disusun oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan diluncurkan dalam diskusi publik secara daring, di Jakarta, Rabu (9/11/2022). Laporan ini menyoroti tentang aktivitas pengembangan panas bumi atau geothermal yang dinilai merusak lingkungan sekaligus mengancam kesehatan masyarakat di sekitar lokasi.
Kepala Divisi Simpul Jatam Ki Bagus Hadikusuma mengemukakan, segala hal yang dipromosikan pemerintah dalam energi hijau, khususnya panas bumi merupakan agenda bisnis. Tidak jarang agenda ini berhadapan langsung dengan keselamatan warga sekitar lokasi. ”Saat ini, wilayah kerja panas bumi di seluruh Indonesia mencapai 3,9 juta hektar. Sebagian besar wilayah kerja panas bumi yang dioperasikan berada di kawasan yang jadi tulang punggung ruang hidup warga,” ujarnya.
Saat ini, wilayah kerja panas bumi di seluruh Indonesia mencapai 3,9 juta hektar. Sebagian besar wilayah kerja panas bumi yang dioperasikan berada di kawasan yang jadi tulang punggung ruang hidup warga.
Salah satu contoh nyata ancaman ini ditunjukkan dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Merapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di sekitar lokasi kerap mengalami gejala sesak napas dan keracunan karena diduga menghirup kebocoran gas hidrogen sulfida dari aktivitas PLTP.
Kebocoran gas ini tercatat sudah terjadi sebanyak empat kali selama hampir 2 tahun terakhir. Peristiwa pertama terjadi pada 25 Januari 2021 dengan jumlah korban meninggal sebanyak lima orang. Tahun ini, keracunan gas sudah terjadi sebanyak tiga kali dengan kejadian terakhir pada September hingga membuat puluhan warga dilarikan ke rumah sakit.
Bagus menyayangkan kondisi ini tidak dianggap serius oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah masih terus mempromosikan PLTP sebagai salah satu energi bersih di berbagai agenda global termasuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G20 di Bali.
Selain itu, pemerintah terus memberi kemudahan untuk mengeksplorasi panas bumi dengan berbagai regulasi yang dikeluarkan. Regulasi tersebut meliputi antara lain Undang Undang Nomor (UU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU 11/2022 tentang Cipta Kerja, dan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2016-2050.
Salah satu ketentuan dalam UU 21/2014 menyatakan industri panas bumi bukan lagi masuk kategori pertambangan dan bisa masuk atau beroperasi di kawasan lindung serta konservasi. Sementara dalam RUEN, pemerintah memberikan insentif mulai dari kemudahan perizinan hingga pengurangan pajak untuk kegiatan industri panas Bumi.
Banyak aspek
Bagus menegaskan, pemenuhan energi bersih dan rendah karbon seharusnya tidak dilihat dari satu aspek yakni terkait sumber energinya. Namun, energi bersih juga harus dilihat dari berbagai aspek mulai dari cara ekstraksinya, pengolahan, penggunaan lahan, keterlibatan warga atau demokratis, risiko bencana, hingga kecelakaan.
“Sudah saatnya pemerintah dan pelaku bisnis industri panas bumi segera berhenti serta melakukan evaluasi demi menjamin keselamatan rakyat di tapak maupun seluruh kepulauan di Indonesia,” ucapnya.
Peneliti dari Sekolah Ekonomi Demokrasi Hendro Sangkoyo menyatakan, panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan memang memiliki emisi karbon yang rendah. Namun, sumber energi ini tetap bermasalah bila aktivitas pertambangan dilakukan dengan cara membongkar wilayah esensial dan merugikan masyarakat sekitar.
“Masyarakat kerap disalahkan karena menghambat kemajuan industri pertambangan panas Bumi. Padahal, bila dari pandangan masyarakat kampung, industrilah yang mengganggu karena mereka tidak pernah memberikan izin,” katanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga November 2021, total kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 73.736 megawatt (MW). Berdasarkan jenisnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih dominan dengan 36.976 MW atau sebesar 50 persen.
Setelah itu, ada pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) dengan 12,4 persen, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 8,5 persen, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 8,4 persen, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) 5 persen, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 2,2 persen, PLT energi terbarukan lainnya 2 persen, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 0,2 persen.
Direktur Operasi PT PLN Gas dan Geothermal Yudistian Yunis mengemukakan, saat ini total ada tujuh PLTP terpasang dan dimiliki serta dioperasikan PLN dan Indonesia Power, anak usaha PLN, dengan total kapasitas 577,5 MW. PLN juga masih mengembangkan sejumlah wilayah kerja panas bumi lainnya yang tersebar di Indonesia.
Menurut Yudistian, peran swasta juga dibutuhkan pemerintah dalam mengembangkan PLTP. Bagaimana pun, ini juga padat modal dan biaya. Jadi biaya di depan sangat tinggi sehingga swasta punya andil besar. Tinggal bagaimana pemerintah nanti memberi semacam stimulasi atau fasilitasi, sehingga daya tarik proyek panas bumi ini tetap ada bagi mereka," katanya (Kompas.id, 28 Januari 2022).