Hingga kini, pembayaran ganti rugi atau restitusi oleh pelaku kekerasan seksual kepada korban banyak mengalami tantangan. Akibatnya, banyak korban tidak mendapatkan haknya atas restitusi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
DOKUMENTASI LPSK
Suasana saat penyerahan restitusi kepada keluarga korban kekerasan seksual di Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, yang diserahkan oleh Kejaksaan Negeri Bangka Selatan.
JAKARTA, KOMPAS — Korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi atau pembayaran ganti rugi dari pelaku atas kerugian materiil dan imateriil yang dideritanya. Untuk itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berkolaborasi dengan kepolisian dan kejaksaan memastikan agar setiap perkara kekerasan seksual disertai tuntutan restitusi yang dibebankan kepada pelaku atau terdakwa.
”Bersama Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga membangun kesepahaman tentang aspek hukum restitusi,” ujar Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Minggu (6/11/2022).
Anton menyebutkan, berdasarkan data LPSK sepanjang Januari-September 2022, terdapat 13 korban kekerasan seksual yang menerima restitusi dari pelaku/terdakwa kasus kekerasan seksual.
Pembayaran restitusi tersebut juga merupakan wujud hadirnya peradilan yang sensitif kepada korban, sekaligus wujud reformasi peradilan yang selama ini hanya berorientasi pada penghukuman pelaku.
Pekan lalu, Jumat (4/11/2022), LPSK menyaksikan penyerahan restitusi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bangka Selatan, Bangka Belitung, terhadap tiga anak korban kekerasan seksual. Restitusi diserahkan oleh Kepala Kejari Bangka Selatan Mayasari kepada korban yang diwakili orangtuanya.
Restitusi yang diterima senilai Rp 29.380.000 untuk tiga anak korban, masing-masing M sebesar Rp. 5.620.000, NO sebesar Rp. 10.070.000, dan A sebesar Rp. 13.690.000. Restitusi ini diterima berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sungailiat tanggal 15 September 2022. ”Restitusi yang dibayarkan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban merupakan hak korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual di Indonesia,” ujar Antonius.
”Pembayaran restitusi tersebut juga merupakan wujud hadirnya peradilan yang sensitif kepada korban, sekaligus wujud reformasi peradilan yang selama ini hanya berorientasi pada penghukuman pelaku,” kata Antonius menegaskan.
Antonius mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung dan Kejari Bangka Selatan. Ia berharap LPSK dapat terus bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya, khususnya dalam melindungi dan memenuhi hak saksi dan korban tindak pidana.
Untuk meningkatkan keberhasilan restitusi, Antonius pun mengajak aparat penegak hukum untuk bersama-sama menyosialisasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Harapannya, muncul pemahaman yang sama tentang pengajuan restitusi pascaputusan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, aparat penegak hukum juga perlu mengoptimalkan penerapan pidana kurungan pengganti restitusi (pidana subsider) dan sita aset pelaku sebagai jaminan pembayaran restitusi.
”Kami berharap ada pertemuan khusus antara LPSK, penyidik, dan penuntut umum untuk mendiskusikan restitusi bagi korban sebelum berkas suatu perkara dinyatakan lengkap atau P-21,” tutur Antonius.
DOKUMENTASI PRIBADI
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo dan Jaksa Muda bidang Pidana Umum (Jampidum) Fadil Jumhana.
Kepala Kejati Bangka Belitung Daroe Tri Sadono mengapresiasi langkah Kejari Bangka Selatan yang mengajukan penuntutan terhadap terdakwa Muhammad Zakiy Rabbani bin Junaidi pidana penjara 18 tahun, denda, dan pembayaran resitusi sebesar Rp 29.480.000.
Pembayaran restitusi kepada korban kekerasan seksual tersebut merupakan yang pertama terjadi di wilayah hukum Kepulauan Bangka Belitung. Karena itu, Kejati Bangka Belitung mendorong para kepala kejaksaan negeri untuk selalu menuntut pembayaran restitusi kepada para pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak dan tindak pidana lainya sebagaimana diatur dalam Perma No 1/2021. Tujuannya, agar memberikan efek maksimal kepada pelaku.
Meski demikian, pembayaran restitusi menghadapi tantangan. Menurut Antonius, tantangan terbesar yang dihadapi adalah tidak ada aturan eksplisit tentang restitusi disubsider dengan kurungan pengganti. Jaksa penuntut umum yang menerapkan restitusi disubsider dengan kurungan pengganti hanya berdasarkan inovasi dan keberanian untuk berlaku progresif demi korban.
SONYA HELLEN SINOMBOR
Laporan Kasus dan Korban Kekerasan terhadap Anak Periode Tahun 2019 hingga Februari 2022 berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
”Pidana kurungan pengganti restitusi menjadi buah simalakama karena pada umumnya lama pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan hakim sangat variatif, bahkan cenderung ringan, berkisar 1 sampai 3 bulan. Akibatnya, pelaku memilih tidak membayar restitusi,” tutur Antonius.
Ratna Batara Munti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia menegaskan, aparat penegak hukum sudah seharusnya melakukan penuntutan restitusi. Sebab, restitusi merupakan hak korban. ”Sebelum ada UU TPKS, juga sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi implementasinya masih jauh,” kata Ratna menegaskan.