Pemerintah Diminta Terbuka dan Adopsi Sebanyak Mungkin Rekomendasi
Masukan dan rekomendasi dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB, November mendatang, terkait situasi perempuan Indonesia diharapkan mendapat perhatian Pemerintah Indonesia.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Peninjauan Berkala Universal Siklus IV Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atas kondisi hak asasi manusia perempuan di Indonesia pada 9 November 2022, Pemerintah Indonesia diminta bersikap terbuka atas proses peninjauan tersebut. Selain itu, Pemerintah Indonesia diharapkan mengadopsi sebanyak mungkin rekomendasi yang disampaikan berbagai negara anggota PBB kepada Indonesia.
”Delegasi Pemerintah Indonesia agar mengadopsi sebanyak mungkin rekomendasi yang disampaikan berbagai negara anggota PBB kepada Indonesia dan mengambil langkah efektif dalam pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi tersebut,” ujar Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat dalam siaran pers, Jumat (4/11/2022).
Rainy bersama Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan Alimatul Qibtiyah juga meminta kepada organisasi masyarakat sipil agar turut memantau proses Sidang Siklus 4 UPR dan mengawal hasilnya. Begitu juga dengan media massa agar turut memberitakan proses Sidang Siklus 4 UPR sebagai bagian dari pengawalan dan pendidikan publik.
Menurut Rainy, melalui Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) Siklus IV Dewan HAM PBB atas Kondisi HAM Khususnya HAM Perempuan di Indonesia, kinerja Pemerintah Indonesia terkait pelaksanaan pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia akan dilaporkan dan ditinjau kembali.
Tahun ini merupakan laporan Pemerintah Indonesia yang keempat kalinya setelah laporan pada tahun 2008, 2012, dan 2017. Selain laporan dari Pemerintah Indonesia, peninjauan UPR juga didasarkan kompilasi laporan oleh PBB, laporan dari organisasi masyarakat sipil, organisasi regional, dan laporan dari lembaga nasional HAM.
Adapun Komnas Perempuan secara independen telah mengirimkan laporan UPR terkait capaian kemajuan ataupun tantangan pemenuhan hak-hak perempuan, khususnya terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Laporan tersebut sebagaimana direkomendasikan Komite UPR kepada Pemerintah Indonesia pada UPR Siklus Ke-3 tahun 2017.
Dalam Sidang UPR Siklus Ke-3 tersebut, Pemerintah Indonesia mengadopsi total 167 rekomendasi dari 225 rekomendasi yang disampaikan 110 delegasi negara. Dari rekomendasi tersebut, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 64 rekomendasi yang secara langsung menyoroti isu-isu perempuan.
Misalnya, rekomendasi agar Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT dan Optional Protocol CEDAW; menghapus kekerasan seksual dengan memperkuat legislasi dan menghukum seluruh tindak kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, menghentikan impunitas, mengurangi pelecehan seksual, termasuk di tempat kerja; serta menghapus praktik berbahaya seperti pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP), pernikahan anak dan pemaksaan perkawinan kepada anak, serta menaikkan usia pernikahan menjadi 18 tahun.
Selain itu, ada rekomendasi agar Indonesia memastikan implementasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk melindungi perempuan dan kelompok rentan, memberdayakan perempuan korban, dan memutus impunitas pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Rekomendasi juga berupa perlindungan pekerja migran dengan instrumen hukum yang mengikat, melindungi pekerja migran dari tindak perdagangan orang, mengefektifkan satgas antiperdagangan orang sampai ke berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam catatan Komnas Perempuan, Pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti beberapa rekomendasi, di antaranya menaikkan umur menikah bagi anak perempuan menjadi 19 tahun serta mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran.
”Meski demikian, aturan pelaksana kedua UU ini masih belum sepenuhnya tersedia. Sementara itu, sejumlah tindak lanjut rekomendasi perlu ditinjau ulang untuk memastikan kemajuan yang lebih berarti,” kata Rainy.
Isu penting
Rainy menyebutkan, setidaknya ada 18 isu kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah yang penting mendapatkan perhatian, antara lain kekerasan seksual, penyiksaan berbasis jender, praktik-praktik berbahaya (pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan), praktik berbahaya atas nama tradisi, tes keperawanan, akses pada keadilan, perempuan pekerja migran, tantangan perlindungan hukum dan kerentanan berlapis di masa pandemi Covid-19, serta hak kesehatan reproduksi dan seksual kelompok rentan.
Andy menegaskan, Komnas Perempuan menyambut gembira disahkannya UU TPKS dan berharap segera diimplementasikan, termasuk hadirnya aturan turunan. ”Terkait UU TPKS, yang menjadi rekomendasi kunci dari Komnas Perempuan adalah harmonisasi UU TPKS dengan revisi dengan KUHP, karena di dalam itu UU masih memuat peraturan yang merupakan bagian dari tindak pidana,” katanya.
Dalam KUHP diharapkan peraturan pemerkosaan diatur lebih luas definisinya maupun upaya untuk memastikan tidak tumpang tindih dengan percabulan dan persetubuhan, pelecehan seksual yang diatur dalam UU TPKS. Alimatul menambahkan, dalam merespons rekomendasi dari beberapa negara, diharapkan tidak dicatat, tetapi benar-benar diadopsi pemerintah.