Dosis Obat dan Status Gizi Tentukan Keparahan Intoksikasi Etilen Glikol
Beberapa faktor memengaruhi tingkat keparahan gangguan ginjal akut atipikal progresif yang diduga dipicu cemaran pada obat sirop. Selain besaran dosis, aktivitas enzim dan faktor penyakit lain turut menentukan.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Intoksikasi cemaran etilen glikol dan dietilen glikol yang diduga memicu gangguan ginjal akut atipikal progresif pada anak memiliki tingkat keparahan beragam. Tingkat keparahan pada pasien tergantung pada besaran dosis yang dikonsumsi, status nutrisi, aktivitas enzim dalam tubuh, dan faktor seperti penyakit lain.
Farmakolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati, ketika dihubungi pada Jumat (4/11/2022) di Jakarta, menuturkan, terdapat beberapa hal yang memengaruhi keparahan akibat cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada anak-anak. Kandungan EG dan DEG yang melebihi ambang batas dalam beberapa obat sirop diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut atipikal progresif.
Zullies menjelaskan, keparahan akibat sirop yang tercemar EG dan DEG dipengaruhi oleh banyaknya dosis yang masuk ke tubuh. Anak yang mengonsumsi zat ini dalam jumlah besar memiliki potensi keparahan lebih tinggi daripada mereka yang mengonsumsi dalam jumlah sedikit.
”Sebenarnya obat sirop yang mengandung senyawa ini mudah dan cepat keluar dari tubuh melalui urine dan feses. Namun, yang berdampak besar itu apabila sekali minum dengan jumlah dan dosis yang besar,” ujarnya.
Ketika EG masuk ke dalam tubuh, proses alaminya akan diurai menjadi senyawa lain yang lebih beracun, yaitu asam glikolat, glioksilat, dan oksalat. Zullies memaparkan, proses metabolisme ini dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase. Senyawa beracun hasil metabolisme ini akan makin tinggi ketika aktivitas enzimnya tinggi sehingga keparahannya meningkat. Baik EG dan DEG memiliki toksisitas relatif sama karena diurai oleh enzim yang sama.
”Hal ini relevan dengan obat yang dipesan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemarin, antidotum Fomepizole. Fungsi antidotum Fomepizole adalah menawar racun EG dengan cara menghambat perkembangan enzim ini sehingga senyawa beracunnya berkurang,” paparnya.
Selain itu, faktor lain, seperti adanya penyakit jenis lain yang diderita anak, menambah keparahan gangguan ginjal akut, khususnya apabila anak tidak sehat dan terinfeksi obat jenis lain juga.
Hasil dari berbagai pemeriksaan ini mengerucut pada adanya zat cemaran EG dan DEG berlebihan yang merusak ginjal.
Malanutrisi
Malanutrisi bisa menjadi penyebab keparahan intoksikasi cemaran EG. Menurut Zullies, secara umum malanutrisi menurunkan imunitas yang bisa berdampak terhadap ketahanan tubuh seseorang menghadapi zat beracun. Lebih lanjut, kekurangan vitamin B1 (tiamin) dan B6 (piridoksin) juga memperparah dampak intoksikasi EG. Tiamin dan piridoksin mampu mengubah asam glikolat dan oksalat yang terkandung dalam EG menjadi glisin atau asam amino yang baik bagi tubuh.
”Banyak studi farmakologi yang telah menunjukkan bahwa kedua vitamin ini mampu mendetoksi zat beracun cemaran EG,” kata Zullies. B1 dan B6 bisa ditemukan pada daging sapi, tuna, salmon, telur, hingga kacang-kacangan.
Data Kementerian Kesehatan pada 3 November 2022 menyebutkan, gagal ginjal akut atipikal progresif yang menyerang anak sudah menyebar di 28 provinsi dengan total kasus 323 orang. Dari jumlah ini, 34 kasus dalam perawatan, 99 kasus dinyatakan sembuh, dan 190 kasus meninggal. Angka kematian ini naik dari 173 kasus dari sehari sebelumnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kunjungannya ke Redaksi Kompas,Jakarta, Jumat (4/11/2022), menuturkan, tim kontrol studi dibentuk untuk menyelidiki penyebab pasti dari kasus gangguan ginjal akut pada anak. Dugaan kuat pada kasus tersebut ialah akibat dari keracunan EG dan DEG dari obat sirop. Namun, ada kasus lain yang ditemukan tanpa riwayat minum obat sirop atau ada kasus minum obat yang sama tetapi tidak mengalami gangguan ginjal akut.
”Perlu dilakukan penyelidikan atau penelitian secara sistematik untuk menemukan penyebab pasti. Kita harapkan dalam dua sampai empat minggu ke depan ini sudah bisa selesai,” katanya.
Akan tetapi, Budi menyampaikan, risiko terbesar saat ini dari kasus gangguan ginjal akut pada anak ini dinilai tetap disebabkan oleh konsumsi obat-obatan yang tercemar EG dan DEG. ”Apakah 100 persen karena obat? Mungkin tidak. Namun, kemungkinan itu sangat kecil. Karena, buktinya, ketika kita stop (konsumsi obat), itu (kasus) langsung turun drastis,” ucapnya.
Sementara itu, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril Mansyur dalam konferensi pers secara daring, Jumat, menyatakan, pemerintah telah menginvestigasi penyebab gagal ginjal akut pada anak ini. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pelacakan surveilans; pemeriksaan laboratorium untuk melihat patogen, seperti virus, bakteri, dan parasit; pemeriksaan darah; pemeriksaan urine; serta biopsi ginjal.
”Hasil dari berbagai pemeriksaan ini mengerucut pada adanya zat cemaran EG dan DEG berlebihan yang merusak ginjal. Maka dari itu, pemerintah mendatangkan 146 vial antidotum Fomepizole yang didistribusikan ke 17 rumah sakit rujukan gangguan ginjal akut anak,” kata Syahril.
Sebelumnya, ia menuturkan bahwa obat ini akan didistribusikan sesuai proporsi. Artinya, pembagian vial akan disesuaikan dengan jumlah kasus. Selain itu juga mengutamakan rumah sakit dengan kasus yang masih dirawat.
Zullies menjelaskan, intoksikasi yang disebabkan cemaran EG dan DEG akan memengaruhi sistem saraf pusat terlebih dahulu. Gejalanya, anak menjadi lesu, kejang, kehilangan kesadaran, mual, dan muntah. Setelah itu, dampaknya akan menyasar sistem kardiovaskular dan menyebabkan pH darah turun. Gejalanya meliputi jantung berdebar dan napas terengah-engah karena oksigen tidak lancar.
”Dampak intoksikasi menyebar ke seluruh tubuh, bahkan ginjal merupakan organ terakhir yang terdampak. Beberapa literatur menunjukkan gejala awal tidak selalu terlihat. Jika cepat, gejalanya akan muncul 6-7 jam saat terintoksikasi. Namun, gejala ini juga bisa baru terlihat pada 24 jam kemudian,” pungkasnya.